Membuka Catatan Lama di Awal 2025: Solusi Konflik Ekonomi VS Lingkungan di Sektor Kelapa Sawit

Diah Y. Suradiredja

Oleh: Diah Y. Suradiredja (Pemerhati Kebijakan Kehutanan dan Perkebunan)

Di penghujung Tahun 2024, kerusuhan di Elite Warga Negara Indonesia yang berkembang di ruang publik ada pada pernyataan Presiden Prabowo Subianto tentang Kelapa Sawit.  Setidaknya, Presiden menyatakan  tiga hal tentang komoditas kelapa sawit, yaitu (1) bahwa kelapa sawit adalah aset nasional dan pemerintah harus meningkatkan serta memperluas perkebunan kelapa sawit di Indonesia.  “Jangan takut dengan deforestasi,” karena kelapa sawit berasal dari pohon yang memiliki daun yang dapat menyerap karbon dioksida; (2) bahwa negara-negara Eropa yang berencana membatasi impor kelapa sawit dari Indonesia, akan menghadapi kekacauan dalam industri mereka sendiri, seperti industri cokelat, deterjen, dan kosmetik. Ia menyatakan bahwa Indonesia akan baik-baik saja meskipun ada pembatasan tersebut; dan (3) Prabowo meminta pasukan keamanan, termasuk TNI dan Polri, untuk membantu pemerintah daerah menjaga perkebunan kelapa sawit di seluruh negeri. Ia percaya bahwa komoditas kelapa sawit Indonesia sedang menjadi target aktif oleh negara-negara asing.

Respons dari dunia usaha, khususnya industri sawit, terhadap pernyataan Presiden  sangat beragam. Beberapa pihak mendukung pandangan Prabowo bahwa kelapa sawit adalah aset nasional yang penting untuk ekonomi Indonesia. Mereka berargumen bahwa kelapa sawit tidak hanya menjadi sumber devisa yang signifikan, tetapi juga berkontribusi pada sektor biodiesel dan industri makanan. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mendukung pernyataan Prabowo mengenai perluasan perkebunan kelapa sawit. GAPKI melihat kelapa sawit sebagai komoditas strategis yang penting bagi perekonomian Indonesia dan berkomitmen untuk mendukung pertumbuhan industri kelapa sawit di dalam negeri.

GAPKI juga menekankan pentingnya memperluas pasar kelapa sawit Indonesia ke pasar non-tradisional, seperti Afrika, untuk mengurangi ketergantungan pada pasar tradisional. Mereka percaya bahwa dengan memperkuat kerja sama internasional dan meningkatkan akses pasar, industri kelapa sawit Indonesia dapat terus berkembang dan memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional. Saat ini, total ekspor produk kelapa sawit Indonesia ke Afrika mencapai 4,2 juta ton pada tahun 2023, dengan 94.000 ton dikirim ke Nigeria. Mengingat kebutuhan minyak sawit yang terus meningkat di Nigeria dan letaknya yang strategis yang menghubungkan jalur perdagangan utama di Afrika, maka ekspor minyak sawit Indonesia ke Nigeria mempunyai potensi peningkatan yang besar di tahun 2025.

Bagaimana respons publik, terutama penggiat lingkungan? Respons dari para penggiat lingkungan terhadap pernyataan Presiden Prabowo mengenai perluasan kelapa sawit cukup keras. Mereka menilai bahwa pernyataan tersebut mengabaikan dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat lokal.

Greenpeace Indonesia menyatakan bahwa pernyataan Prabowo yang tidak menyinggung isu lingkungan hidup dan krisis iklim menunjukkan kurangnya komitmen terhadap perlindungan lingkungan. Mereka khawatir bahwa perluasan perkebunan kelapa sawit akan memperburuk deforestasi, merusak ekosistem, dan mengancam keberlanjutan lingkungan.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) juga mengkritik keras pernyataan tersebut, mereka menyatakan bahwa kebijakan yang berfokus pada industri ekstraktif seperti kelapa sawit dapat merusak keseimbangan sosial dan ekologi. Mereka menekankan bahwa pendekatan ini tidak hanya merusak lingkungan tetapi juga melanggar hak asasi manusia dan merugikan masyarakat lokal.

Sawit Watch, sebuah organisasi lingkungan, menegaskan bahwa ekspansi perkebunan kelapa sawit dapat meningkatkan risiko deforestasi dan merusak ekosistem. Mereka menyarankan strategi intensifikasi, bukan ekstensifikasi, untuk meningkatkan produktivitas tanpa merusak lingkungan.  Secara keseluruhan, para penggiat lingkungan mendesak pemerintah untuk lebih memperhatikan isu-isu lingkungan dan mengadopsi kebijakan yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Ekonomi Versus Lingkungan

Sejak kurun 20 tahun ke belakang, pembangunan kelapa sawit di Indonesia, telah memunculkan dilema antara aspek ekonomi dan lingkungan. Pada tahun 2023, nilai ekspor produk kelapa sawit Indonesia mencapai USD 40 miliar, berkontribusi sekitar 14,2% terhadap total ekspor nonmigas, dan menyediakan lapangan pekerjaan bagi 2,4 juta pekebun dan 16 juta tenaga kerja. Selain itu, di beberapa penelitian, sektor perkebunan mendorong penyerapan tenaga kerja, pendapatan asli daerah (PAD), perluasan ekonomi, dan pembangunan.

Namun, pembangunan industri kelapa sawit juga menimbulkan sejumlah permasalahan serius yang merentang dari aspek lingkungan hingga sosial. Sebagian besar dari permasalahan ini muncul akibat praktik-praktik industri yang tidak berkelanjutan. Industri kelapa sawit sering kali dikaitkan dengan deforestasi, di mana hutan-hutan primer dibabat untuk memberikan ruang bagi perkebunan sawit. Praktik ini merusak ekosistem alami, menyebabkan kehilangan keanekaragaman hayati, dan mengancam habitat satwa liar. Pembangunan perkebunan kelapa sawit juga telah menciptakan konflik tanah dengan masyarakat lokal atau adat. Pemaksaan lahan dan pengusiran penduduk setempat sering kali melibatkan pelanggaran hak asasi manusia, menimbulkan ketidaksetaraan ekonomi dan ketidakpuasan sosial.

Hasil Penilitian CIFOR (2019), mencatat bahwa praktik pengadaan, penguasaan dan perluasan lahan untuk perkebunan kelapa sawit setidaknya berlangsung melalui lima ranah. Pertama, pengadaan lahan untuk perkebunan dilakukan melalui proses tata ruang dan perubahannya, yang di dalamnya termasuk proses pelepasan kawasan hutan dengan perizinan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kedua, melalui jalur regulasi dan mekanisme perizinan. Ketiga, lahan-lahan untuk perkebunan dikuasai melalui jalur masyarakat, terutama dengan memanfaatkan sistem patronase dengan elit lokal. Keempat, penguasaan lahan dilakukan melalui skema kemitraan dengan masyarakat lokal yang memang menjadi kewajiban investor dalam mengembangkan usahanya. Melalui skema kemitraan, investor memperluas perkebunan dengan memfasilitasi pembangunan kebun untuk masyarakat, yang berada di luar Izin Usaha Perkebunan mereka.  Praktik tersebut diduga dimanfaatkan untuk pengadaan lahan dengan harga murah (Kompas, 2016). Kelima, melalui jalur politik, terutama lobi-lobi politik dan bisnis.

Kebun sawit petani swadaya (ilustrasi)

Mendasari jalur-jalur perijinan di atas yang menimbulkan persoalan konflik lahan di lapangan, pada tahun 2018 dikeluarkan dua peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar untuk lebih mengefektifkan penyelesaian tenurial, termasuk perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan dan mempercepat pencapaian sasaran reforma agraria, yaitu pengentasan kemiskinan dan pemerataan ekonomi. Pertama, Instruksi Presiden No. 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit, yang dikeluarkan pada 19 September 2018. Inpres ini disasarkan untuk penyelesaian tumpang tindih perkebunan kelapa sawit di atas kawasan hutan melalui cara-cara yang lebih efektif. Setidaknya ada tiga kementerian teknis dan satu kementerian koordinator yang diberikan instruksi untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan penyelesaian tenurial perkebunan kelapa sawit. Kementerian LHK diinstruksikan untuk menunda pelepasan kawasan hutan, memverifikasi data perkebunan kelapa sawit yang telah dilepaskan melalui proses pelepasan atau tukar menukar, dan mengidentifikasi perkebunan kelapa sawit yang terindikasi berada dalam kawasan hutan. Berdasarkan hasil verifikasi dan evaluasi, salah satu opsi penyelesaian adalah dengan menetapkan langkah-langkah hukum atau tuntutan ganti rugi atas penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit.

Kedua, Peraturan Presiden No. 86/2108 tentang Reforma Agraria, yang diterbitkan pada 24 September 2018. Sementara Peraturan Presiden 88/2017 lebih diarahkan pada penyelesaian penguasaan tanah di kawasan hutan, Peraturan Presiden No. 86/2018 diterbitkan untuk mengatasi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah dalam rangka menciptakan keadilan agraria. Peraturan presiden ini lebih menegaskan pengaturan tanah-tanah yang telah ditetapkan sebagai objek redistribusi tanah, termasuk antara lain tanah yang berasal dari pelepasan kawasan dan/atau hasil perubahan batas kawasan yang telah diselesaikan penguasaannya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selain menetapkan batas maksimal 5 ha untuk lahan pertanian, dalam peraturan presiden tersebut juga ditetapkan tiga subjek reforma agraria yakni perseorangan, kelompok masyarakat dan badan hukum seperti yayasan, koperasi atau badan usaha milik desa. Subjek reforma agraria perseorangan antara lain petani gurem, petani penggarap, buruh tani dan buruh yang tidak memiliki tanah, guru honorer dan pegawai tidak tetap.

Melihat Catatan ke Belakang

Sejak Tahun 2016, revamping sudah mulai dilakukan Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian.  Melalui pendekatan multi pihak, dilakukan penguatan sawit berkelanjutan, termasuk mencari solusi persoalan dasar dari pengembangan komoditas sawit. Sebuah Tim Penguatan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) yang di kelola Yayasan KEHATI, telah menyusun Klasifikasi Perkebunan Kelapa Sawit dan usulan penyelesaiannya.  Teridentifikasi oleh Tim Penguatan ISPO, terdapat 3 (tiga) katagori Perkebunan Kelapa Sawit berdasarkan arealnya, yaitu (1) Perkebunan Kelapa Sawit di Areal Penggunaan Lain (APL); (2) Perkebunan Kelapa Sawit di Areal Eks Pelepasan Kawasan Hutan; dan (3) Perkebunan Kelapa Sawit di Kawasan Hutan.

Matrik di bawah ini memperlihatkan tipologi kebun yang berada di APL.  Ke-enam katagori ini datanya lengkap berada di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), di mana seharusnya legalitas kebun sawit di APL tercatat di kementerian ini.  Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No 833 Th 2019 tentang Luas Tutupan Perkebunan Kelapa Sawit Nasional, tercatat tutupan sawit mencapai  16.381.959 Ha.

No KATEGORISASI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI AREAL PENGGUNAAN LAIN USULAN PENYELESAIAN
1 Perkebunan kelapa sawit memiliki izin lengkap (Izin Lokasi, Izin Usaha Perkebunan, Hak Guna Usaha, dan telah beroperasi (telah melakukan penanaman); merupakan usaha perkebunan yang ideal, dan harus mendapatkan dukungan dalam usahanya, mendapat insentif dan akses pasar yang lebih luas.

 

2 Perkebunan kelapa sawit telah memiliki izin lengkap Izin Lokasi, Izin Usaha Perkebunan, Hak Guna Usaha, namun belum beroperasi (belum melakukan penanaman);

 

diperingatkan untuk segera melakukan usahanya, atau mengembalikan perizinan dan HGU yang dimiliki kepada pemerintah
3 Perkebunan kelapa sawit telah memiliki Izin Lokasi, IUP lebih dari 2 tahun, telah beroperasi, dan belum memiliki HGU; didorong untuk melakukan pengurusan HGU, dengan kemudahan yang diberikan oleh BPN;

 

4 Perkebunan Kelapa sawit telah memiliki Izin Lokasi, IUP lebih dari 2 tahun belum memiliki HGU, dan belum beroperasi; diberikan diperingatkan untuk melaksanakan usahanya dan mengurus perizinan dan melaksanakan usahanya, atau mengembalikan Izin yang telah diberikan kepada pemerintah

 

5 Perkebunan kelapa sawit telah memiliki Izin Lokasi lebih dari 3 tahun, Belum memiliki IUP, dan Belum beroperasi; segera ditarik kembali oleh instansi pemberi izin;

 

6 Perkebunan kelapa sawit tidak memiliki izin, namun telah beroperasi Bupati memiliki kewajiban untuk melakukan pendataan dan pendaftaran sesuai peraturan yang berlaku tentang Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB). Apabila luasan perkebunan lebih dari ketentuan dalam STDB, maka Bupati memberikan surat peringatan kepada pelaku usaha untuk mengajukan perizinan seperti ketentuan yang berlaku

 

Sumber: SPOSI – KEHATI, Tahun 1019

Kategori kedua diperlihatkan pada matriks di bawah.  Perkebunan kelapa sawit di areal eks pelepasan kawasan hutan, memiliki sejarah sendiri.  Melalui prosedur legal, angka luasan kawasan hutan yang telah berubah menjadi areal perkebunan kelapa sawit semakin meningkat. Tercatat, dari luas perkebunan kelapa sawit pada Tahun 2018 mencapai 14,03 juta ha (data dari Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian 2018a), sekitar 5.418.413 ha berasal dari kawasan hutan melalui proses pelepasan, yang diberikan kepada 518 unit perusahaan (data dari Direktorat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan, KLHK 2018a). Ini berarti luasan perkebunan kelapa sawit yang berasal dari kawasan hutan mencapai 38,6%.

Dari hasil penelitian CIFOR yang dituangkan dalam Working Paper Number 247 tentang Penyelesaian tenurial perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan untuk kepastian investasi dan keadilan, menuliskan bahwa meningkatnya investasi di sektor perkebunan kelapa sawit yang diiringi oleh semakin luasnya areal perkebunan tidak terlepas dari peranan kebijakan Pemerintah dalam mendorong perluasan. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 107 Tahun 1999, tentang Izin Usaha Perkebunan, mengatur peningkatan batas luasan Izin Usaha Perkebunan dari hanya 200 ha menjadi 1000 ha. Batasan luas lahan usaha budidaya perkebunan tersebut kemudian diubah melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 357/2002 menjadi maksimum 20.000 ha dalam satu provinsi atau 100.000 ha untuk seluruh Indonesia bagi satu perusahaan atau group perusahaan, yang disertai kewajiban membangun kerja sama kemitraan dengan perusahaan skala kecil dan menengah yang dinamakan PIR- Kredit Koperasi Primer untuk Anggotanya (PIR-KKPA). Batasan paling luas sampai 100.000 ha untuk setiap perusahaan kembali dipertegas melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 26/Permentan/Ot.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.

Peraturan ini menimbulkan kontroversi dan banyak menerima sorotan publik, karena luasnya lahan yang dapat dikuasai sebuah perusahaan, dianggap berpotensi hanya dijadikan sekedar cadangan lahan atau land bank, tidak untuk diusahakan bagi perkembangan perkebunan secara serius.  Dalam kurun waktu 20 tahun antara 1990 sampai 2024, perkebunan kelapa sawit berkembang dari sekitar 1,1 juta ha menjadi 7,8 juta ha, dan menjadi 16.381.959 juta ha saat ini.  Matriks di bawah, memperlihatkan kategori dan usulan penyelesaiannya.

No KATEGORISASI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI AREAL EKS PELEPASAN KAWASAN HUTAN USULAN PENYELESAIAN
1. Perkebunan Kelapa Sawit memiliki perizinan lengkap (Izin Lokasi, Izin Usaha Perkebunan, Izin Pelepasan Kawasan Hutan, Hak Guna Usaha), dan telah beroperasi;

 

didukung untuk melanjutkan usahanya
2. Perkebunan Kelapa Sawit memiliki perizinan lengkap (Izin Lokasi, Izin Usaha Perkebunan, Izin Pelepasan Kawasan Hutan, Hak Guna Usaha), namun belum beroperasi; diperingatkan untuk segera melakukan operasionalisasi usahanya, atau mengembalikan izin dan HGUnya kepada Negara dalam waktu ….tahun atau dibatalkan izin dan HGUnya;
3. Perkebunan Kelapa Sawit telah memiliki Izin Lokasi, Izin Usaha Perkebunan lebih dari 2 tahun, Izin Pelepasan Kawasan Hutan, sudah beroperasi, namun belum memiliki HGU.

 

diperingatkan untuk segera mengurus HGU, dengan kemudahan yang diberikan oleh Badan Pertanahan nasional
4. Perkebunan Kelapa Sawit telah memiliki Izin Lokasi, Izin Usaha Perkebunan lebih dari 2 tahun, Izin Pelepasan Kawasan Hutan, namun belum beroperasi dan belum memiliki HGU.

 

Penerbit izin segera membatalkan izin yang telah diberikan

Sumber: SPOSI – KEHATI, Tahun 1019

Kategori ketiga adalah Perkebunan Kelapa Sawit di Kawasan Hutan.  Kategori inipun memperlihatkan mekanisme yang cukup robust, ksrens proses perolehan perizinan perkebunan dan persetujuan usaha perkebunan kelapa sawit memiliki beberapa tahapan.  Tahapan pertama adalah investor harus mengajukan izin lokasi kepada pemerintah daerah setempat. Berdasarkan pengalaman investor, lamanya pengurusan izin lokasi paling lambat 3 tahun, dan keterlambatan proses umumnya disebabkan proses pelepasan lahannya yang bermasalah. Dengan berbekal izin lokasi, investor mulai melakukan pembebasan lahan dan menyelesaikan hak-hak atas tanah, termasuk dengan masyarakat. Izin lokasi berlaku hanya 3 tahun dan dapat diperpanjang 1 tahun. Investor dapat memperoleh IUP dengan syarat 50% plus 1% lahannya sudah harus clear and clean.

Setelah izin lokasi diperoleh, tahapan kedua, investor melakukan proses analisis dampak lingkungan (AMDAL) dan mengajukan izin lingkungan. Secara paralel berlangsung proses penataan batas dan persetujuan pelepasan kawasan hutan, terutama yang lokasi perkebunannya berasal dari kawasan hutan dengan fungsi HPK.  Tahapan ketiga, dengan kelengkapan izin AMDAL, izin lingkungan dan izin pelepasan kawasan hutan, investor mengajukan Izin Usaha Perkebunan (IUP). Tidak semua perusahaan yang sudah memegang izin lokasi akan memperoleh IUP dengan luasan yang sama yang tertera dalam izin lokasi. Dari luasan 20 ribu ha, misalnya, maka bila ada lahan-lahan yang peruntukannya tidak sesuai dengan tata ruang akan dikeluarkan dari luasan yang diajukan dalam izin lokasi.

Tahapan keempat, dengan memiliki IUP, investor sudah boleh melakukan kegiatan persiapan usaha perkebunan termasuk pembukaan lahan, persemaian dan membangun fasilitas. Pada lahan-lahan dengan potensi tegakan pohon, maka investor harus mengajukan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) kepada instansi kehutanan setempat sebelum pembukaan lahan dan pohon-pohon kayu ditebang dan diangkut.

Setelah memperoleh IUP, investor harus mengajukan Hak Guna Usaha (HGU) kepada Badan Pertanahan Nasional, dengan persyaratan izin pelepasan kawasan. Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) berperan untuk menelaah lahan yang dimohonkan dan hasil telahaannya kemudian menjadi bahan pertimbangan teknis bagi Badan Pertanahan Nasional untuk mengeluarkan HGU.

Dalam proses investasi perkebunan sawit, tidak semua perusahaan mengikuti proses dari proses awal atau dari mendapatkan izin prinsip atau pun lokasi. Tidak sedikit perusahaan yang tidak mau melalui tahap-tahap mekanisme perizinan yang dipandang sangat rumit. Terdapat beragam data total luasan perkebunan kelapa sawit dan luasan perkebunan kepala sawit di dalam kawasan hutan yang dikeluarkan oleh lembaga yang berbeda, baik pemerintah maupun non pemerintah. Di bawah ini adalah katagorisasi perkebunan sawit di dalam Kawasan Hutan, yang diakibatkan dari tidak dipenuhinya mekanisme perijinan tersebut.

No KATEGORISASI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI KAWASAN HUTAN USULAN PENYELESAIAN
1. Perkebunan Kelapa Sawit telah memiliki Izin Lokasi lebih dari 3 tahun, belum memiliki Izin Usaha Perkebunan, Izin Pelepasan Kawasan, dan HGU, serta belum beroperasi.

 

instansi yang berwenang segera membatalkan izin lokasi yang telah diberikan;

 

2. Perkebunan Kelapa Sawit memililiki Izin Lokasi, Izin Usaha Perkebunan lebih dari 2 tahun, namun belum memiliki Izin Pelepasan Kawasan Hutan dan HGU, serta belum beroperasi.

 

instansi yang berwenang segera membatalkan izin lokasi yang telah diberikan;
3. Perkebunan Kelapa Sawit telah memiliki Izin Lokasi lebih dari 3 tahun, belum memiliki Izin Usaha Perkebunan, Izin Pelepasan Kawasan Hutan, dan HGU, namun sudah beroperasi instansi yang berwenang segera membatalkan izin lokasi yang telah diberikan, menyita kebun, dan menyerahkan perkebunan kepada desa untuk dikelola sampai dengan 1 daur masa perkebunan sebagai hutan desa dengan menerapkan skema jangka benah;
4. Perkebunan Kelapa Sawit telah memiliki Izin Lokasi dan Izin Usaha Perkebunan lebih dari 2 tahun, belum memiliki Izin Pelepasan Kawasan Hutan dan HGU, namun sudah beroperasi Izin dibatalkan, perkebunan disita dan pengelolaan kebun diserahkan kepada BUMN, BUMD, atau BUMDesa setempat, yang akan juga berkewajiban melakukan pemulihan atau pembenahan fungsi ekosistem kawasan dalam masa daur tanaman kelapa sawit;
5. Perkebunan Kelapa Sawit telah memiliki Izin Lokasi, Izin Usaha perkebunan, dan HGU, telah beroperasi, namun belum memiliki Izin Pelepasan Kawasan Hutan Jika areal tersebut berada pada kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK), maka pelaku usaha diperingatkan untuk segera mengajukan Izin Pemanfaatan Kawasan Hutan, namun dengan pengenaan denda atas operasionalisasi perkebunan di kawasan hutan tanpa izin pelepasan;

 

Jika areal tersebut berada dalam kawasan hutan produksi, atau hutan lindung, diberikan denda dan dikenakan sewa lahan selama masa daur tanaman kelapa sawit yang ada. Pemegang izin juga memiliki kewajiban untuk melakukan pemulihan atau pembenahan fungsi ekosistem kawasan dalam masa daur tanaman kelapa sawit;

 

Jika areal tersebut berada dalam kawasan konservasi, maka instansi yang berwenang harus membatalkan izin yang telah diterbitkan, dan dikenakan sangsi yang berlaku bagi pelaku usaha

 

6. Perkebunan Kelapa Sawit telah memiliki Izin Lokasi, Izin Usaha Perkebunan, dan HGU, namun belum memiliki Izin Pelepasan Kawasan Hutan dan belum beroperasi;

 

instansi yang berwenang segera membatalkan izin lokasi yang telah diberikan;
7. Perkebunan Kelapa sawit tidak memiliki semua bentuk izin, namun sudah beroperasi di lapangan : dilakukan identifikasi dan pendataan oleh pemerintah kabupaten dengan dibantu BPKH Provinsi, untuk mengidentifikasi nilai penting kawasan hutan dan memastikan pelaku pengelolaan

 

  7.1. Perkebunan Sawit yang berada di Kawasan Hutan Produksi Yang dapat Dikonversi (HPK) dengan luasan lebih kecil atau sama dengan 25 Ha, dikelola oleh penduduk setempat lahan Kawasan hutan dilepaskan dan didistribusikan pada penduduk setempat
  7.2. Perkebunan Sawit yang berada di Kawasan Hutan Produksi Yang dapat Dikonversi (HPK) dengan luasan lebih dari 25 Ha, dikelola oleh penduduk setempat lahan Kawasan hutan dilepaskan dan penduduk setempat dapat mengajukan izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang ada.
  7.3. Perkebunan Sawit yang berada di Kawasan Hutan Produksi Yang dapat Dikonversi (HPK) yang dikelola orang luar (bukan penduduk setempat) Kawasan hutan dilepaskan dan diserahkan sebagai asset desa
  7.4. Perkebunan sawit yang berada di Kawasan Hutan Produksi, Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Lindung dengan luasan lebih kecil atau sama dengan 25 ha, dikelola oleh penduduk setempat selama lebih dari 20 tahun lahan Kawasan hutan dilepaskan dan didistribusikan pada penduduk setempat.

 

  7.5. Perkebunan sawit yang berada di Kawasan Hutan Produksi, Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Lindung luasan lebih dari 25 ha, dikelola oleh penduduk setempat selama lebih dari 20 tahun lahan Kawasan hutan dilepaskan dan penduduk setempat dapat mengajukan HGU.
  7.6. Perkebunan sawit yang berada di Kawasan Hutan Produksi, Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Lindung dengan luasan lebih kecil atau sama dengan 5 ha, dikelola oleh penduduk setempat selama kurang dari 20 tahun Lahan Kawasan hutan dilepaskan dan didistribusikan pada penduduk setempat

 

  7.7. Perkebunan sawit yang berada di Kawasan Hutan Produksi, Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Lindung lebih dari 5 ha, dikelola oleh penduduk setempat selama kurang dari 20 tahun lahan Kawasan hutan dikelola dengan Skema Perhutanan Sosial yang menerapkan Sistem Jangka Benah atau diserahkan sebagai asset Desa.

 

  7.8. Perkebunan sawit yang berada di Kawasan Hutan Produksi, Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Lindung yang dikelola oleh orang luar lahan Kawasan hutan dikelola Desa dengan Skema Perhutanan Sosial yang menerapkan Sistem Jangka Benah atau diserahkan sebagai asset Desa.
  7.9. Perkebunan sawit yang berada di Kawasan hutan Konservasi yang dikelola oleh penduduk setempat sebelum ditunjuk sebagai Kawasan konservasi Lahan Kawasan hutan dilepaskan dan didistribusikan pada penduduk setempat

 

  7.10.         Perkebunan sawit yang berada di Kawasan hutan Konservasi yang dikelola oleh penduduk setempat setelah ditunjuk sebagai Kawasan konservasi lahan Kawasan hutan dikelola dengan Skema Perhutanan Sosial (Kemitraan Konservasi) yang menerapkan Sistem Jangka Benah
  7.11.         Perkebunan sawit yang berada di Kawasan hutan Konservasi yang dikelola oleh bukan penduduk setempat lahan Kawasan hutan dikelola Desa dengan Skema Perhutanan Sosial (Kemitraan Konservasi) yang menerapkan Sistem Jangka Benah selama 1 daur

Sumber: SPOSI – KEHATI, Tahun 2019

Solusi 2025: Memperbaiki Kapal, Sambil Berlayar

Menjelang perubahan kalender tahunan, saya teringat Maha Guru Lingkungan Hidup Indonesia, Prof. Dr. Emil Salim.  Saya membuka catatan tahun 2016, saat berkonsultasi terkait Sektor Kelapa Sawit, dan mencatat petuah beliau bahwa “kita membangun negeri seperti memperbaiki kapal sambil berlayar”.  Pesan ini memberikan pelajaran pentingnya konsistensi dan keberanian dalam menghadapi tantangan dan terus berinovasi untuk mencapai kemajuan.  Aspek Ekonomi dan Lingkungan, tidak perlu dibenturkan, namun harus di “revamp”,  dibenahi dan dikuatkan.

Pemikiran tersebut dikarenakan proses pelepasan kawasan hutan untuk kepentingan di luar kehutanan tampaknya akan tetap berlanjut di masa-masa mendatang. Berdasarkan Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) tahun 2011–2030 (Kementerian Kehutanan RI, 2011), hasil analisis spasial dan rasionalisasi Kawasan hutan menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2030, total seluas 18 juta ha kawasan hutan dapat dialokasikan untuk kepentingan pembangunan sektor non kehutanan. Alokasi kawasan hutan tersebut dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan dinamika pembangunan nasional dan kebutuhan masyarakat dengan tetap mempertimbangkan optimalisasi distribusi fungsi dan manfaat kawasan hutan, dan menaati peraturan perundangan yang berlaku.

“Kapal” ini memang harus diperbaiki, karena banyaknya kasus keterlanjuran yang tidak dapat diselesaikan karena sebagian besar pelaku usaha tidak dapat memenuhi kriteria yang ditetapkan Pasal 51 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan Dan Fungsi Kawasan Hutan, terutama kewajiban untuk menyediakan lahan pengganti bagi perkebunan yang berada di kawasan hutan dengan fungsi hutan produksi/hutan produksi terbatas. Dalam praktiknya, sangat sulit bagi perusahaan untuk menyediakan lahan pengganti atas kawasan hutan yang akan dikonversi menjadi perkebunan sesuai syarat-syarat yang ditetapkan. Hal ini menyebabkan sebagian besar perusahaan belum sempat mengajukan permohonan pelepasan kawasan dan tukar menukar kawasan kepada Menteri LHK sampai tenggat waktu yang telah ditetapkan, yakni tanggal 28 Desember 2016 (Direktorat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan, KLHK 2018a).

Keengganan sebagian pelaku usaha untuk mengajukan permohonan pelepasan kawasan dan tukar menukar disebabkan antara lain karena alasan bahwa kasus keterlanjuran terjadi bukan karena kesalahan pihak perusahaan, tetapi lebih karena ketidakkonsistenan aturan penetapan kawasan hutan berdasarkan RTWRK/P, yaitu Peraturan Menteri LHK Nomor P.50/menlhk/setjen/kum.1/9/2019 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.96/menlhk/setjen/kum.1/11/2018 Tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi; dan  Peraturan Menteri LHK Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan, Serta Penggunaan Kawasan Hutan, dan

Sampai saat transparansi terkait proses dan mekanisme regulasi yang mengatur tata cara perusahaan mengajukan perizinan pelepasan atau tukar menukar setelah tenggat waktu tersebut.  Kondisi ini, jika berlarut, tentu akan menciptakan ketidakpastian hukum dan investasi. Hal lain yang dianggap penting oleh pelaku usaha di dalam menghadapi permasalahan tenurial yang berlarut-larut ini adalah adanya pengakuan pemerintah terhadap keberadaan mereka.

“Layar” memang harus berkembang di tengah gelombang tekanan kebijakan hijau Negara Konsumen tidak dapat diabaikan karena Indonesia sudah masuk pada komunitas Global Trade and Market.  Di tengah banyaknya kebijakan perdagangan yang restriktif dari negara-negara Eropa, melalui forum Dialog tentang  Forest, Agriculture Commodities and Trade (FACT Dialog, 2021) Indonesia memimpin dan bertekad untuk menunjukkan komitmen kuat Indonesia dalam menjaga keseimbangan antara perlindungan lingkungan dan pembangunan ekonomi untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Lalu, bagaimana Kapal Perekonomian Indonesia dapat berlayar sambil menjahit Layar dan membenahi poros mesin Lingkungan yang lama terkoyak?  Kita memerlukan pemimpin yang visioner dari tingkat Kepemimpinan Desa sampai Kepemimpinan Nasional. “Gelombang tak pernah menghentikan kapal yang tahu tujuannya.” ***