Kuasa hukum PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) menyayangkan ketidakpahaman sekelompok orang yang mengatasnamakan Amicus Curiae (sahabat pengadilan) untuk mempengaruhi proses Peradilan Tata Usaha Negara terkait permohonan fiktif positif yang diajukan RAPP kepada pengadilan tata Usaha Negara (PTUN) untuk mengesahkan pencabutan surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang pembatalan Rencana Kerja Usaha (RKU) Hutan Tanaman Industri (HTI) RAPP.
Andi Ryza Fardiansyah menilai pendapat yang disusun oleh para Amici Curiae dalam perkara ini tidak didasarkan pada pemahaman yang komperhensif tentang duduk persoalan yang terjadi dan sistem serta prinsip-prinsip hukum administrasi Negara di Indonesia.
“Pernyataan keprihatinan yang seolah-olah bahwa permohonan yang diajukan oleh RAPP adalah bentuk delegitimasi terhadap PP Gambut sesungguhnya merupakan dalil yang tidak didasarkan logika hukum yang benar,” tuturnya dalam pernyataan yang dikirim kepada pers, Rabu (20/12/2017).
Pasalnya, forum peradilan fiktif positif di PTUN bukanlah forum judicial review sebuah peraturan perundang-undangan. Konsekuensinya pun tidak akan menghasilkan putusan yang bisa berakibat batalnya sebuah peraturan perundang-undangan.
“Oleh karena itu, permohonan fiktif positif yang diajukan RAPP secara hukum tidak dapat ditafsir sebagai upaya delegitimasi terhadap PP Gambut sebagaimana ketakutan para Amici,” tegasnya.
Menurut Andi para Amici seharusnya bisa memahami perbedaan mendasar antara domain Peradilan Tata Usaha Negara dengan Peradilan lainnya, termasuk peradilan perdata dan peradilan pengujian peraturan perundang-undangan.
Dia menyatakan, dengan pemahaman yang benar Amicus Curiae yang diajukan para Amici dapat hadir sebagai sesuatu yang memberikan pencerahan hukum kepada masyarakat, bukan malah didasarkan pada pemahaman yang sangat dangkal sehingga berpotensi menyesatkan masyarakat yang awam hukum.
Menurut Andi, permohonan fiktif positif dalam Peradilan Tata Usaha Negara sebagai peradilan administratif, tidak dalam rangka untuk menguji hal-hal materiil diluar objek dari permohonan tersebut. Sehingga perdebatan tentang diskursus lingkungan hidup yang bukan merupakan objek dalam permohonan ini seharusnya tidak dapat dijadikan indikator untuk menilai upaya hukum yang dilakukan oleh RAPP.
Andi menegaskan, peradilan administratif tidak akan menguji keabsahan sebuah peraturan perundang-undangan, sehingga tidak mungkin putusan Pengadilan Tata Usaha Negara berefek pada delegitimasi sebuah peraturan perundang-undangan.
Selain itu, lanjut dia, seharusnya para Amici paham perbedaan paling mendasar antara apa yang dimaksud dengan gugatan yang bersifat contentiosa dengan permohonan yang bersifat volunteer.
Pemahaman hukum dasar yang dipelajari di setiap fakultas hukum di seluruh Indonesia bahwa permohonan yang bersifat volunteer adalah forum yang tidak didasarkan pada sengketa sehingga berbeda dari gugatan yang bersifat contentiosa.
“Oleh karena itu, tidak seharusnya Amici memahami bahwa upaya RAPP dalam mengajukan permohonan adalah upaya perlawanan, melainkan upaya ini adalah upaya legitimasi atas kondisi yang menurut hukum sudah dianggap dikabulkan yaitu Permohonan Keberatan RAPP melalui surat No. 101/RAPP-DIR/X/2017 yang telah dianggap dikabulkan menurut hukum berdasarkan ketentuan Pasal 77 ayat (5) UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan,” papar Andi.
Andi berargumen, berdasarkan Pasal 7 Ayat 2 huruf j dan Pasal 77 Ayat (5) UU 30/2014, Menteri LHK wajib menerbitkan keputusan terhadap permohonan sesuai yang diputuskan dalam perkara keberatan/banding. Faktanya, sejak permohonan keberatan tersebut dianggap dikabulkan karena telah memenuhi ketentuan Pasal 77 Ayat (5) UU 30/2014, Menteri LHK juga tetap abai akan kewajibannya tersebut dan tidak menerbitkan keputusan sebagaimana yang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan.
“Oleh karena itu, Permohonan ini sesungguhnya adalah upaya RAPP untuk membantu KLHK agar dapat melaksanakan kewajibannya sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,” kata Andi.
Kuasa Hukum RAPP juga membantah pernyataan para Amici yang menyatakan bahwa asas non retoraktif tidak bersifat mutlak dan bisa dikalahkan oleh asas lain dengan bobot yang lebih tinggi. Pernyataan ini adalah menyesatkan dan tidak sesuai dengan kaidah dan logika hukum yang yang pernah dipelajari di setiap fakultas hukum di seluruh Indonesia.
Soal klaim para Amici terkait Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2014, sesungguhnya telah terbukti di persidangan berdasarkan keterangan saksi fakta yang diajukan oleh KLHK sendiri, bahwa tidak ada satupun keputusan bahkan tindakan yang telah dilakukan oleh KLHK bahkan untuk merespons dan atau memberikan keputusan terkait permohonan keberatan yang diajukan oleh RAPP. Sugiharto