Kebijakan moratorium perizinan di hutan alam primer dan lahan gambut yang diimplementasikan sejak 2011 dinilai tak mencapai tujuannya. Hal itu setidaknya terlihat dari lenyapnya 2,7 juta hektare hutan alam primer selama kebijakan tersebut mulai diterapkan enam tahun lalu. Ironisnya, luasan wilayah itu tidak diketahui kemana dialihfungsikan.
Selain itu, seluas 28% areal yang seharusnya dilindungi malah terbakar setiap tahunnya.
Demikian temuan dari pelaksanaan kebijakan Moratorium yang diungkap Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global di Jakarta, Kamis (4/5/2017).
“Logika kebijakan perlindungan hutan dan gambut dalam Moratorium ini seharusnya luasan hutan dan gambut yang diselamatkan bertambah, namun sebaliknya justru berkurang dengan alasan dan proses yang tidak jelas. Tidak adanya transparansi menjadi faktor utama kebijakan ini tidak efektif,” ungkap Linda Rosalina dari Forest Watch Indonesia.
Sekadar mengingatkan, Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk memperbaiki tata kelola hutan dan lahan gambut dengan mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 10 tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut yang berlaku selama 2 tahun. Kebijakan ini diperpanjang dengan terbitnya Inpres Nomor 6 tahun 2013 dan kemudian diperpanjang lagi oleh Inpres Nomor 8 tahun 2015 tanpa ada penguatan substansi perlindungan.
“Praktiknya, meskipun telah diterapkan selama 6 tahun, kebijakan tersebut belum mampu mengatasi permasalahan terkait tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut. Kebijakan diberlakukan secara parsial dan belum berdampak signifikan terhadap upaya penyelamatan hutan alam dan gambut yang tersisa,” kata Yustina Murdiningrum dari Epistema Institute.
Zainuri Hasyim dari Kaoem Telapak turut menegaskan, selama tahun 2015 terdapat 69.044 titik api secara nasional. Sekitar 31 persen atau 21.552 titik api justru terdapat di wilayah yang dinyatakan dilindungi dalam Peta Indikatif Penundaan Pemberian Ijin Baru (PIPPIB). Sementara rata-rata sebaran titik api di wilayah PIPPIB dari tahun 2011 sampai dengan 2016 adalah sekitar 28,5% dari sebaran titik api nasional. Bahkan tren titik api cenderung meningkat.
Sementara itu dari PIPPIB Revisi I sampai dengan Revisi XI, tutupan hutan dalam PIPPIB mengalami pengurangan seluas 831.053 hektare. Hal ini berarti kebijakan tersebut belum mampu menghentikan deforestasi bahkan di dalam wilayah moratorium (PIPPIB) itu sendiri.
Hal lain adalah masih adanya wilayah kelola rakyat dalam skema perhutanan sosial yang masuk ke dalam wilayah PIPPIB. Hal ini berpotensi mengganggu izin kelola yang masih berlaku dan yang akan diajukan sehingga akan menghambat tercapainya target perhutanan sosial.
“Masih terjadi alih fungsi dan peruntukkan kawasan hutan di berbagai daerah untuk memuluskan megaproyek. Ini akan mengancam bukan saja hutan dan gambut itu sendiri namun juga hak-hak masyarakat adat dan lokal,” kata Yoseph Watopa dari Yali Papua.
Sugiharto