KLHK Ancam Cabut Status Lembaga Penilai

kayu ilegal (ilustrasi)

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) siap mencabut penetapan Lembaga Penilai dan Verifikasi Independen (LP&VI) jika tidak menjalankan tugasnya dengan benar. Langkah tegas tersebut diambil demi menjaga kredibilitas Sistem Verifikasi Legalitas kayu (SVLK).

Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan KLHK Rufi’ie menegaskan LP&VI tidak boleh bermain-main dalam menjalankan tugasnya. “Kalau main-main, penetapannya kami cabut,” katanya ketika dihubungi via layanan pesan singkat, Sabtu (12/1/2019).

Ketegasan ini menyusul terbongkarnya praktik perdagangan kayu ilegal asal Papua. Dalam waktu berdekatan, dua operasi gabungan yang melibatkan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Gakkum) KLHK puluhan kontainer kayu merbau ilegal asal Papua.

Awal Desember 2018, Ditjen Gakkum KLHK mengamankan 40 kontainer berisi kayu merbau ilegal senilai Rp12 miliar. Tim gabungan yang melibatkan Komando Armada II (Detasmen Intelijen) TNI AL juga menggerebek dua industri yang diduga menjadi penadah kayu ilegal tersebut.

Dari 40 kontainer yang diamankan, sebanyak 3 kontainer diamankan dari satu industri yang berada di Gresik, 3 kontainer dari industri yang berada di Pasuruan, dan sisanya di depo sebuah perusahaan pelayaran di Tanjung perak, Surabaya.

Operasi gabungan berlanjut di Januari 2019. Aparat gabungan Ditjen Gakkum KLHK dan Lantamal VI Makasar, Armada II TNI AL berhasil mengamankan 57 kontainer kayu ilegal dari Papua di Pelabuhan Sukarno Hatta, Makasar.

Kayu yang diangkut kapal SM itu diperkirakan lebih dari 914 meter kubik (m3) dengan nilai diperkirakan minimal Rp16,5 miliar. Sejauh ini belum ada tersangka yang ditahan.

Operasi gabungan berawal dari hasil analisis data, operasi intelijen, dan laporan Dinas Kehutanan Provinsi papua, akhir Desember 2018, Ditjen Gakkum menemukan ada indikasi pengangkutan 57 kontainer kayu ilegal dari Pelabuhan Jayapura dengan tujuan Surabaya.

Direktorat Perlindungan dan Pengamanan Hutan (PPH) Ditjen Gakkum KLHK kemudian memerintahkan Balai Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi melaksanakan operasi pengamanan dengan dukungan Lantamal VI Makassar, Bea Cukai Makassar, dan KSOP Makassar.

Direktur Pencegahan dan Pengamanan Hutan (PPH) KLHK, Ditjen Gakkum Sustyo Iriyono menyatakan, upaya penyelamatan sumber daya alam Papua ini dimulai dengan post-audit terhadap 10 industri di Papua. Hasilnya ditemukan adanya pelanggaran berat.

“Awal Desember 2018, kami mengamankan 40 kontainer kayu di Surabaya, dan hari ini 57 kontainer di Makassar,” ungkap Sustyo dalam pernyataannya yang diterima dari Makasar, Selasa (8/1/2019).

Indikator SVLK Berjalan

Terungkapnya kasus-kasus kayu ilegal ini, menurut Rufi’ie, adalah indikator berjalannya SVLK. Soal adanya temuan kayu yang terindikasi ilegal, Rufi’ie menyatakan, “Perlu dilakukan pendalaman terkait informasi indikasi ilegal kayu merbau sehingga didapatkan kejelasan pemilik kayu, dokumen yang digunakan, asal usul kayu dan hal yang terkait lainnya sehingga dapat diambil tindakan sesuai kewenangannya.”

SVLK adalah sistem berbasis daring (online) yang memberi jaminan legalitas kayu dari hulu hingga hilir. SVLK dibangun melibatkan para pihak, yakni pemerintah KLHK sebagai regulator, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Komite Akreditasi Nasional, akademisi, dan pemantau independen.

Dalam praktiknya, SVLK melibatkan perusahaan LP&VI untuk mensertifikasi setiap pelaku usaha perkayuan hulu-hilir terhadap kesesuaian pengelolaan hutan lestari dan legalitas kayu. Ada Lembaga Penilai Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (LP-PHPL) yang melakukan audit untuk pengelolaan hutan produksi, dan ada Lembaga Penilai dan Verifikasi Kayu (LVLK) yang menilai legalitas kayu yang dimanfaatkan.

Rufi’ie menuturkan, jika ada laporan terjadinya pelanggaran, KLHK bisa segera memerintahkan lembaga sertifikasi untuk melakukan audit khusus, sehingga dapat dilakukan pembuktian kesesuaian atau ketidaksesuaian. Langkah yang diambil sesuai dengan rekomendasi tim audit khusus tersebut, termasuk pembekuan bahkan pencabutan sertifikat legalitas kayu (SLK).

“KLHK beberapa kali telah meminta kepada LVLK untuk melakukan audit khusus  terhadap pemegang sertifikat yang diduga melakukan pelanggaran. Contoh terjadi di Provinsi Sumatera Selatan dan Papua, di mana pemegang sertifikat melakukan pelanggaran menampung kayu bukan dari sumber yang sah, sehingga SLK dicabut atau dibekukan,” katanya.

Bukan cuma pemegang SLK saja yang bisa disanksi. Menurut Rufi’ie, perusahaan LP-PHPL dan LPVK juga bisa disanksi jika diketahui melakukan pelanggaran.

Berdasarkan Peraturan Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari KLHK No. P.14/PHPL/SET/4/2016 tentang Standar dan Pedoman pelaksanaan penilaian Kinerja PHPL dan Verifikasi Legalitas Kayu, Dirjen PHPL atas nama Menteri LHK bisa mencabut penetapan LP&VI untuk selanjutnya mengajukan usulan pencabutan akreditasi LP&VI kepada Komite Akreditasi Nasional (KAN).

“Sesuai ketentuan, pencabutan akreditasi adalah kewenangan KAN,” kata Rufi’ie.

Sampai saat ini, sudah ada dua lembaga sertifikasi yang dicabut akreditasinya oleh KAN. Keduanya adalah PT Forescitra Sejahtera dan PT Nusa Bakti Mandiri.

Perang harga

Sementara itu Soewarni, Direktur Utama PT BRIK Quality Services, salah satu perusahaan LVLK menyatakan, pihaknya langsung memperlajari seluruh industri kayu yang menjadi klien begitu informasi adanya temuan kayu ilegal asal Papua ramai diberitakan.

“Saya selalu ingatkan kepada jajaran kami dan auditor untuk selalu hati-hati terkait penggunaan kayu alam. Bukan hanya merbau, tapi semua jenis kayu alam,” katanya.

Bagi Soewarni, yang juga Ketua Umum Asosiasi Industri Kayu Gergajian dan  Pertukangan (ISWA), SVLK adalah sistem terbaik dalam menangkal beredarnya kayu ilegal. Dia tahu benar bagaimana sistem tersebut karena ikut terlibat dalam pembangunannya 10-11 tahun lalu.

Untuk memastikan SVLK terus kredibel, Soewarni menyerukan kepada seluruh lembaga sertifikasi untuk menjalankan tugas dengan baik dan benar. Dia juga berharap agar perusahaan LVLK bisa dibatasi, sehingga tidak memicu perang harga yang berdampak pada menurunnya kualitas audit yang dilakukan.

Menurut dia, saat ini telah terjadi persaingan yang ketat dengan adanya 25 perusahaan yang ditetapkan sebagai LVLK oleh KLHK. “Jangan ada perang harga yang berdampak pada penurunan kualitas sertifikasi,” katanya.

Soal banyaknya perusahaan LVLK memang menjadi masalah tersendiri. Selain perang harga akibat persaingan ketat, standar kualitas penilaian juga bisa jadi taruhan. Kabar yang beredar, ada perusahaan yang tidak berhasil memperoleh sertifikat dari sebuah LVLK, tapi bisa lulus dan memperoleh sertifikat dari perusahaan LVLK yang lain. Namun, belakangan, produk perusahaan tersebut akhirnya memang bermasalah.

Sementara Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Purwadi Soeprihanto menyatakan, temuan kayu yang diduga ilegal bisa dilacak sumbernya dengan SVLK. “SVLK memungkinkan adanya lacak balak sehingga bisa diindentifikasi di mana ada kayu yang diduga ilegal dimanfaatkan,” katanya.

Lacak balak adalah salah satu fitur unggulan SVLK. Purwadi memandang SVLK sebagai sistem yang komprehensif yang dijalankan dengan melibatkan multipihak untuk mencegah perdagangan kayu ilegal.

Dia menambahkan, secara sistem, SVLK yang dijalankan daring (online) akan menolak masuknya kayu ilegal yang tidak diketahui asal usulnya. Sugiharto

Baca juga:

Sistem Bagus, Pengawasan Bermasalah

Merbau Ilegal Ancam Kredibilitas SVLK