Sistem Bagus, Pengawasan Bermasalah

Pengamanan kayu ilegal asal Papua di Makassar

Indonesia harus menjaga Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) karena sistem ini sudah terbukti mendapat respon yang baik dari pasar. Bahkan, berkat SVLK, Indonesia menikmati skema lisensi Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT), yang membebaskan produk kayu nasional masuk tanpa hambatan ke 28 negara di Uni Eropa (UE).

Oleh karena itu, pemerintah diminta tanggap dan merespons serius kasus penangkapan puluhan konteiner kayu merbau ilegal dari Papua di pelabuhan Makassar dan Surabaya. “Dalam pertemuan di Brussels dua bulan lalu, mereka sangat appreciate dan respons mereka sangat bagus soal SVLK. Bahkan Indonesia dijadikan model dan dipakai sebagai referensi oleh Vietnam. Kredibilitas yang baik ini patut dijaga jangan sampai kepercayaan terhadap SVLK menjadi menurun akibat kasus kayu Papua,” ujar Arifin Lembaga, Direktur Utama PT Mutuagung Lestari, perusahaan penilai dan verifikasi independen, di Jakarta, Kamis (10/1/2019).

Lolosnya puluhan konteiner kayu merbau dari Papu memang serius. Pasalnya, untuk bisa keluar dari Papua harus memiliki dokumen dan asal usul kayu yang jelas. Dan peran lembaga verifikasi legalitas kayu (LVLK) menjadi vital karena berbekal “label halal” berupa sertifikat dalam sistem SVLK, kayu bisa melenggang lolos. Itu sebabnya, kecurigaan adanya permainan pun merebak.

“Ini memang harus diselidiki. Apa benar memang ada sertifikatnya? Jangan-jangan tidak ada, tapi seolah-olah ada. Atau bisa saja palsu. Kami saja pernah mengalami, sertifikat Mutuagung di China dipalsukan. Jadi ini perlu diinvestigasi,” ujar Arifin.

UE sendiri melakukan analisis risiko terhadap negara-negara pemasok kayu. Untuk kawasan Asia Tenggara, Myanmar dan Malaysia termasuk negara dengan risiko tinggi. Begitu pula Kongo di Afrika. “Kawasan dengan risiko tinggi tidak bisa masuk Eropa, meski tidak ada aturan yang melarang. Tapi kayu dari daerah ‘merah’ tersebut tidak bisa masuk,” papar Arifin.

Tidak bolong

SVLK sendiri sebagai sistem dinilai memang tidak memiliki celah atau lubang yang bisa dimanfaatkan untuk bermain. Bahkan, Bambang Gunardjito dari bagian sertifikasi forestry dan industri Mutuagung Lestari, mengapresiasi sistem yang dirintis dan dibangun sejak tahun 2003 ini.

“Menurut saya, sistem SVLK yang dibangun pemerintah sudah bagus. Karena diatur mulai dari proses hulu, bahkan di rantai-rantainya, termasuk yang non produsen pun ikut diatur. Jadi, secara sistem, SVLK itu tidak bolong untuk memastikan ‘label halal’,” paparnya.

Baca juga:

Merbau Ilegal Ancam Kredibilitas SVLK

KLHK Ancam Cabut Status Lembaga Penilai

Dia juga mengaku sudah membandingkan dengan skema-skema sertifikasi lainnya untuk memastikan legalitas kayu. “Saya berani katakan, SVLK kita lebih sempurna. Karena concern SVLK bukan sekadar melihat kayu dari asal-usulnya, tapi juga perijinan usahanya jadi fokus untuk menetapkan halal-tidaknya suatu kegiatan usaha,” papar Bambang.

Hanya saja, mengingat SVLK mengatur dari hulu ke hilir, bahkan rantai di tengahnya, maka melibatkan banyak stakeholder, mulai dari pemerintah pusat dan daerah, pelaku usaha, lembaga sertifikasi termasuk LSM pemantau independen. Munculnya masalah itu kemungkinan akibat banyaknya para pihak ini, kata Bambang.

“Saya tidak menuduh ada patgulipat, tapi di fungsi masing-masing para stakeholder ini belum maksimal. Dalam kasus Papua, mengapa kayu ilegal itu bisa lolos sampai ke industri? Kalau kita lihat dari proses di penatausahaan hasil hutan, pohon yang ditebang sampai pengangkutannya termonitor melalui sistem informasi penatausahaan hasil hutan (SIPUHH) online,” urai Bambang.

Tidak termonitornya kayu-kayu merbau itu dalam sistem PUHH memang tidak aneh. Pasalnya, kayu-kayu tersebut berasal dari ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-masyarakat hukum adat (IUPHHK-MHA). Ijin ini tidak diakui dalam nomenklatur PUHH KLHK, sehingga kayu-kayu itu tidak masuk dalam SVLK. Tapi kok tetap lolos dari pelabuhan Papua?

“Ini memang kembali ke masalah pengawasan,” kata Bambang. Meski SVLK sudah dirancang bagus, tapi output-nya tergantung para pihak yang menjalani, termasuk lembaga sertifikasi.

Menurut dia, lembaga sertifikasi punya kewajiban melakukan pengecekan saat mensertifikasi melalui kegiatan surveillance. Dengan demikian, ada beban moril yang harus dipertanggungjawabkan terhadap label halal yang dikeluarkan.

“Contohnya saat kami mensertifikasi industri kayu. Ketika kami akan mengaudit, dia sudah menerima pasok kayu dari suatu HPH yang sudah punya sertifikat. By system, tentunya kami harus percaya kayu itu legal karena sudah disertifikasi dengan skema yang sama,” papar Bambang.

Ketika ada temuan penyimpangan terhadap kayu itu, maka lembaga yang memberi sertifikasi ikut bertanggung jawab.

Sebagai lembaga sertifikasi, Bambang mengaku banyak cara untuk melakukan pengawasan, misalnya meminta perusahaan kliennya itu membuat laporan bulanan penerimaan bahan baku mereka. Laporan ini jadi bahan evaluasi dan analisis untu mengetahui ada penyimpangan atau tidak. “Kalau ditemukan salah satu pemasoknya tidak bersertifikat, kita tinggal klarifikasi ke klien.”

Makin berat

Terkait kasus kayu ilegal Papua, Bambang mengaku terganggu sebagai LVLK, mengingat sebagai salah satu stakeholder mereka berkepentingan dengan kredibilitas SVLK. “Kami khawatir jika kasus ini meledak di internasional akan menurunkan kepercayaan. Jadi, ya kita terganggu.”

Selain itu, ketika dari hulu masuk kayu-kayu ilegal sampai ke hilir, sebagai lembaga sertifikasi mereka harus sangat hati-hati menjaga klien agar tidak kemasukan kayu-kayu haram yang disebabkan oleh ketidaktahuan, bukan kesengajaan membeli kayu ilegal. “Karena kan faktanya begitu. Kayu masuk ke Surabaya ada dokumen dan asal-usulnya dari perusahaan yang bersertifikat,” ujar Bambang.

Ini justru masalah berat buat LVLK. Kalau kayu ilegal tanpa asal-usul dan dokumen mudah dikenali. Itu sebabnya, dia mengaku terganggu dengan kasus Papua karena harus memeriksa ketat kebenaran kayu. AI

Kayu ‘Haram’ dari Masyarakat Hukum Adat

Meledaknya kasus pengapalan kayu merbau asal Papua yang diduga ilegal tak lepas dari kompleksnya persoalan pengelolan hasil hutan di provinsi tersebut. Salah satunya adalah terkait keberadaan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-masyarakat hukum adat (IUPHHK-MHA).

Ya, berbeda dengan provinsi lainnya, pemerintah Papua bisa menerbitkan IUPHHK-MHA berdasarkan Perda Khusus Provinsi Papua No. 21 Tahun 2008 (Perdasus 21/2008) mengenai pengelolaan hutan berkelanjutan. Pengaturan lebih detailnya diatur di dalam Peraturan Gubernur Papua Nomor 13 Tahun 2010 tentang IUPHHK-MHA di Provinsi Papua (Pergub 13/2010).

Sampai saat ini, sudah ada 12 IUPHHK-MHA yang diterbitkan dengan masa berlaku izin maksimum 10 tahun. Luasnya bervariasi, tapi sesuai ketentuan, maksimum 5.000 hektare (ha).

Dengan luas maksmimum 5.000 ha, kelayakan usahanya pun dipertanyakan jika dikelola sesuai dengan kaidah sistem silvikultur TPTI (tebang pilih tanam Indonesia). Sebab, setidaknya dibutuhkan luas 100.000 ha untuk satu unit pengelolaan hutan alam di Papua.

Untuk diketahui juga, kondisi alam yang masih berat dan infrastruktur yang belum baik membuat kayu yang paling punya nilai ekonomis di Papua adalah merbau. Jenis kayu ini memiliki riap pertumbuhan yang lambat, sehingga potensi tiap hektarenya rendah.

Dengan kondisi medan yang berat, pengelolaan hutan di Papua pun cenderung dikontrakkan. Ini ikut memicu munculnya pembalakan liar dan industri kayu ilegal.

Tambahan lagi, Pemda Papua juga menerbitkan izin pengolahan kayu dengan kapasitas 6.000 m3/tahun. Sudah ada 15 izin industri yang diterbitkan. Dari hitungan, dibutuhkan bahan baku kayu sebanyak 180.000 m3 setiap tahunnya. Kayu dari IUPHHK-MHA saja jelas tidak akan cukup menyuplai industri tersebut. Lantas, dari mana bahan bakunya diperoleh? Jelas ini sebuah pertanyaan besar.

Soal lain adalah IUPHHK-MHA ternyata tidak diakui dalam nomenklatur penatausahaan hasil hutan (PUHH) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Ini berarti seluruh kayu yang dihasilkan dari IUPHHK-MHA tidak bisa masuk dalam Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).

Kopermas

Sebelum IUPHHK-MHA, di masa lalu juga ada pola pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat Papua berupa izin pemungutan kayu masyarakat adat (IPK­MA), yang dikelola oleh Koperasi Peran Serta Masyarakat (Kopermas). Izin ini lahir dari ketentuan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 317/Kpts­II/1999 tanggal 7 Mei 1999 yang mengatur hak pemungutan hasil hutan masyarakat hukum adat pada areal hutan produksi dan SK Menteri Kehutanan  dan Perkebunan No. 318/Kpts­II/1999 tentang Peran Serta Masyarakat dalam Pengusahaan Hutan.

Belakangan, IPK-MA malah disinyalir menjadi selubung pemanfaatan kayu ilegal karena banyaknya ketidakkonsistenan peraturan pelaksananya. IPK-MA kemudian dicabut berdasarkan  Permenhut Nomor 7 Tahun 2005.

Namun, Mumu Muhajir dan Syahrul Fitra dalam laporan bertajuk “IUPHHK-MHA dan Masa Depan Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Adat di Papua” yang dirilis Yayasan Auriga dan WWF Indonesia, April 2018 menyatakan, “IUPHHK­MHA disusun sebagai cara untuk memperbaiki kekurangan yang ada di IPK­MA. Perbaikan itu antara lain berupa IUPHHK­MHA lahir dari ketentuan yang ada di UU Otsus Papua (Perdasus 21/2208 dan Pergub 13/2010) dan perbaikan tata kelola dalam IUPHHK­MHA yang mengetengahkan tata kelola hutan lestari.” Sugiharto

 

Daftar Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu

No Nama No. LVLK Status
1 PT BRIK QUALITY SERVICES LVLK-001-IDN Aktif
2 PT SUCOFINDO INTERNATIONAL CERTIFICATION SERVICES LVLK-002-IDN Aktif
3 PT MUTUAGUNG LESTARI LVLK-003-IDN Aktif
4 PT MUTU HIJAU INDONESIA LVLK-004-IDN Aktif
5 PT TUV RHEINLAND INDONESIA LVLK-005-IDN Aktif
6 PT EQUALITY INDONESIA LVLK-006-IDN Aktif
7 PT SARBI INTERNATIONAL CERTIFICATION LVLK-007-IDN Aktif
8 PT SGS INDONESIA LVLK-008-IDN Aktif
9 PT TRANSTRA PERMADA LVLK-009-IDN Aktif
10 PT TRUSTINDO PRIMA KARYA LVLK-010-IDN Aktif
11 PT AYAMARU SERTIFIKASI LVLK-011-IDN Aktif
12 PT PCU INDONESIA LVLK-012-IDN Aktif
13 PT GLOBAL RESOURCE CERTIFICATION LVLK-013-IDN Aktif
14 PT SCIENTIFIC CERTIFICATION SYSTEM INDONESIA LVLK-014-IDN Aktif
15 PT LAMBODJA SERTIFIKASI LVLK-015-IDN Aktif
16 PT INTISHAR SADIRA ESHAN LVLK-016-IDN Aktif
17 PT MANDIRI MUTU SERTIFIKASI LVLK-017-IDN Tidak Aktif
18 PT NUSA KELOLA LESTARI LVLK-018-IDN Aktif
19 PT INTI MULTIMA SERTIFIKASI LVLK-019-IDN Aktif
20 PT KREASI PRIMA SERTIFIKASI LVLK-020-IDN Aktif
21 PT. ALMASENTRA SERTIFIKASI LVLK-021-IDN Aktif
22 PT TRIFOS INTERNASIONAL SERTIFIKASI (TRIC) LVLK-022-IDN Aktif
23 PT BORNEO WANAJAYA INDONESIA LVLK-023-IDN Aktif
24 PT GARDA MUTU PRIMA LVLK-024-IDN Aktif
25 PT INTEGRITAS PERSADA SERTIFIKASI LVLK-025-IDN Aktif

Sumber: SILK Online