Aturan baru pengelolaan kehutanan, yang diatur dalam PP No. 23 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Hutan sebagai produk turunan UU Cipta Kerja, mendapat penolakan keras. Pemerintah dituding hanya mementingkan ekonomi, yakni membidik setoran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) ketimbang melindungi hutan dan lingkungan. Potensi deforestasi pun makin besar.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan nampaknya harus kerja ekstra keras mengatasi tudingan lebih mementingkan sisi ekonomi ketimbang melindungi hutan dan menjaga lingkungan. Apalagi, serangan itu datang dari partai politik penguasa, PDI-Perjuangan, yang menolak PP No. 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan sebagai produk turunan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
“Perintahnya jelas, tolak PP 23/2021 yang terlalu pragmatis dalam kepentingan ekonomi semata dan melupakan semangat hutan lestari,” tegas Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto menjelaskan arahan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Hal itu dikemukakan Hasto dalam webinar nasional yang diselenggarakan DPP PDI-P bertajuk “PP No. 23 Tahun 2021: PNBP dan Dampaknya Bagi Hutan Lestari”, Rabu (14/7/2021).
Penolakan PDI-P terutama soal ketentuan penggunaan kawasan hutan. Berdasarkan aturan lama, yakni PP No. 105 Tahun 2015, aktivitas non-kehutanan harus punya izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dan wajib menyerahkan lahan kompensasi — di mana untuk pertambangan lahan kompensasinya bisa dua kali lipat dari luas lahan pinjam pakai. Nah, dalam PP 23/2021 yang diteken Presiden Jokowi pada 2 Februari 2021, IPPKH diubah menjadi persetujuan penggunaan kawasan hutan (PPKH). Di aturan baru ini, pengusaha diberi pilihan. Sediakan lahan kompensasi atau bayar PNBP kompensasi plus PNBP penggunaan kawasan hutan.
Berapa besaran PNBP kompensasi? Ini yang masih terus dibahas. Sejauh ini, belum ada pejabat KLHK yang memberikan penjelasan. Namun, kabar yang beredar, nilai PNBP kompensasi sekitar Rp11,5 juta/hektare. Jumlah ini juga yang mendapat sorotan tajam PDI-P. “Kami akan sampaikan masukan kepada Presiden Jokowi yang diteruskan ke Kementerian Sekretariat Negara agar PP 23/2021 ini dapat ditolak atau diganti dengan substansi yang lebih pro-lingkungan,” papar Hasto.
Ketua Komisi IV DPR (F-PDIP), Sudin menilai, PNBP kompensasi mengancam kelestarian dan keberadaan hutan serta merugikan negara dan masyarakat. “Penetapan nilai PNBP Kompensasi harus memperhatikan nilai ekonomi hutan dan jasa lingkungannya serta menjamin hutan tetap lestari. Jika hutan terus berkurang, banteng akan kehilangan habitatnya. Jadi, hutan harus tetap lestari dengan regulasi yang benar,” kata Sudin.
KLHK sendiri belum menanggapi penolakan PDI-P dan memilih berhati-hati dengan menyebut PP tersebut ditandatangani Presiden. “Kita lihat bagaimana nanti perkembangannya,” kata Wakil Menteri LHK Alue Dohong dia ketika ditanya Agro Indonesia, Rabu, (21/7/2021).
Yang jelas, PP 23/2021 dinilai Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Raynaldo G. Sembiring bisa berdampak makin meningkatnya deforestasi karena belum jelasnya kriteria soal kecukupan kawasan hutan dan tutupan hutan pada satu provinsi. Pasalnya, ketentuan batas minimal kawasan hutan 30% pada satu provinsi pada UU 41/1999 telah diganti lewat UU 11/2020 menjadi berdasarkan kriteria kondisi biogeofisik, geografis dan ekologis. AI