Suhu Akibat Perubahan Iklim Makin Mematikan dan Turunkan Ketahanan Pangan

Foto: REUTERS/Bruno Kelly

Perubahan iklim yang disebabkan oleh emisi bahan bakar fosil telah meningkatkan suhu ke tingkat yang berbahaya dan memperburuk kekeringan serta ketahanan pangan global. Peringatan itu disampaikan kalangan dokter dan pakar kesehatan pada Selasa (29/10).

Selama rekor suhu tertinggi tahun 2023 — yang tercatat sebagai tahun paling panas — maka secara rerata tiap orang mengalami lebih dari 50 hari di mana suhu dalam tingkat berbahaya dibandingkan tanpa ada perubahan iklim, demikian menurut laporan tahunan Lancet Countdown yang disusun berdasarkan kerja-kerja yang dilakukan puluhan pakar, lembaga akademik dan lembaga PBB, termasuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Kondisi paling rentan akan dialami para orang tua, dengan jumlah kematian akibat suhu panas pada orang berusia 65 tahun ke atas mencapai 167% di atas jumlah kematian yang sama tahun 1990-an. Tanpa perubahan iklim, para peneliti memperkirakan jumlah orang-orang tua yang meninggal akibat panas hanya naik sekitar 65% dari angka 1990-an.

“Setiap tahun, kematian yang dikaitkan langsung akibat perubahan iklim meningkat,” papar Direktur Eksekutif Lancet Countdown, Marina Belén Romanello seperti dikutip Reuters.

“Namun, panas tidak hanya mempengaruhi kematian (mortalitas) dan naiknya jumlah kematian, tapi juga meningkatkan penyakit dan patologi yang terkait dengan paparan panas,” katanya.

Contohnya, kata dia, orang yang berolahraga di luar ruang semakin berisiko. Perusahaan-perusahaan juga mengalami keterbatasan kapasitas untuk bekerja di luar ruangan.

Faktanya, biaya yang ditimbulkan akibat suhu panas ekstrem pada tahun lalu diperkirakan mencapai 512 miliar jam kerja potensial, yang berpotensi memberi pendapatan ratusan miliar dolar AS, kata laporan itu.

“Mirip dengan yang kita saksikan saat terjadi pandemi COVID-19, para pekerja kunci yang cenderung paling terpapar panas dan tidak mampu melindungi diri dengan mudah selama terjadi gelombang panas, misalnya mereka yang bekerja di banyak rumah sakit kita yang tanpa berpendingin udara (AC), atau para pekerja konstruksi di lapangan,” demikian pernyataan ilmuwan data Nathan Cheetham dari King’s College London. Cheetham tidak terlibat dalam studi ini.

Perubahan iklim juga membuat ketahanan pangan makin tidak pasti, demikian peringatan para penulis laporan.

Dengan 48% lahan di dunia yang menghadapi kondisi kekeringan esktrem pada 2023, kata para peneliti, sebanyak 151 juta lebih orang akan mengalami rawan pangan dibandingkan dengan kondisi 1981-2010.

Curah hujan lebat yang ekstrem tahun lalu juga mempengaruhi sekitar 60% daratan dunia, yang menyebabkan banjir dan menaikkan risiko tercemarnya air atau penyakit menular.

Para penulis studi mendesak konferensi iklim PBB pada Desember ini atau COP-29 di Baku, Azerbaijan agar mengucurkan pembiayaan iklim untuk kesehatan masyarakat. Perundingan COP-29 sendiri akan dimulai pada 11 November 2024.

Sekjen PBB Antonio Guterres pada Selasa (29/10) mengimbau negara-negara di dunia untuk “mengobati penyakit akibat kelambanan (mengatasi perubahan) iklim” dengan memangkas penggunaan bahan bakar fosil dan emisi guna “menciptakan masa depan yang lebih adil, aman dan sehat bagi semua.” AI