Langkah Korektif Berhasil Perbaiki Pengelolaan Gambut

Rombongan pejabat tinggi dari Republik Kongo, Republik Demokratik Kongo, UNEP, FAO dan beberapa organisasi internasional lainnya melihat saluran pelimpasan air gambut di areal PT Mayangkara Tanaman Industri, di Kubu Raya, Minggu (28/10/2018)

Langkah korektif yang dilakukan berhasil memperbaiki pengelolaan lahan gambut di Indonesia. Praktik yang diterapkan Indonesia bahkan telah menjadi rujukan Internasional.

Demikian dinyatakan Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Alue Dohong saat webinar bertajuk “Praktik Pengelolaan Gambut untuk Pengembangan Ekonomi, Lingkungan dan Masyarakat”, Kamis (11/2/2021).

Webinar tersebut merupakan seri kedua jelang Kongres dan Seminar Internasional HGI Oktober 2021.

Wamen Alue menjelaskan ekosistem gambut sangat rentan yang sensitif terhadap gangguan dan degradasi.

Oleh karena itu pengelolaannya harus memenuhi prinsip 3B yaitu berkelanjutan, bertanggung jawab, dan bijaksana.

Sementara itu, Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Karliansyah menjelaskan salah satu kunci restorasi gambut adalah
memastikan kelembapan gambut dengan salah satu indikator berupa tinggi muka air tanah (TMAT) paling rendah 0,4 meter dari permukaan.

Caranya dengan mengatur tata air dan membangun sekat kanal. Ada 29.260 unit sekat kanal yang dibangun di konsesi perusahaan.

Untuk memastikan TMAT sesuai ketentuan, KLHK telah menginstruksikan perusahaan untuk mendirikan titik penaatan (TP) TMAT.

Tercatat ada 10.857 TP TMAT dimana 1.153 unit diantaranya bisa dipantau secara real time. Selain itu juga dibangun 816 unit stasiun pemantau curah hujan.

Karliansyah menyatakan, penerapan perbaikan pengelolaan gambut dilakukan dengan akuntabel dan bisa dipantau langsung melalui sistem informasi muka air tanah gambut (SIMATAG) 4.0.

Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove Hartono Prawiraatmadja juga menyatakan pentingnya kolaborasi dan sinergi dalam pengelolaan gambut.

Dia menjelaskan, gambut pada satu KHG harus dikelola sebagai satu kesatuan yang utuh.

Satu pengelola lahan tidak bisa hanya fokus pada pengaturan tata air di areal pengelolaannya tanpa memperhatikan pengelola lahan di sisi KHG yang lain.

“Kalau manajemen tata air hanya dilakukan sendiri, mungkin hanya di tempat tertentu yang tetap basah di musim kemarau, tapi di tempat lain kering. Makanya perlu menerapkan prinsip berbagi air,” katanya.

Kolaborasi Multipihak

Ketua Umum HGI Supiandi Sabiham sepakat soal perlunya mengelola gambut secara bijak.

“Dari sisi ekonomi pemanfaatan harus berlandaskan teknologi yang bersifat adaptif. Dari sisi lingkungan harus berlandaskan pada kemampuan dan kesesuaian lahan. Dan dari sisi sosial
masyarakat, pemanfaatan harus berlandaskan kerjasama antara masyarakat, pelaku usaha dan pemerintah,” kata Supiandi.

Pelaku usaha juga meyakini bahwa kolaborasi multipihak diperlukan untuk pencapaian tujuan pengelolaan gambut yang maksimal.

Iwan Setiawan Deputy Director of Corporate Strategic and Relation APP Sinar Mas menuturkan pentingnya identifikasi lahan gambut seperti sebaran, topografi, ketebalan, tingkat kematangan dalam pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan, termasuk didalamnya pengelolaan secara kolaboratif dengan pendekatan lanskap yang akan saling berpengaruh.

“Kami mengkombinasikan metode remotes sensing dan survey lapangan untuk mendapatkan data yang akurat,” jelas Iwan.

“Kami turut serta dalam melaksanakan kolaborasi pengelolaan lahan gambut bersama stakeholder lainnya di wilayah masyarakat dan akan mendorong kerja sama serupa di wilayah lainnya,” tambah Iwan.

Sementara itu, Deputy Director Sustaianability & Stakeholder Engagement APRIL Group Dian Novarina menyatakan pemanfaatan gambut berkelanjutan berarti juga kemajuan yang inklusif untuk kesejahteraan masyarakat.

“Kami melakukan pemberdayaan masyarakat melalui prakarsa transformati dalam APRIL 2030. Salah satu targetnya nol kemiskinan
ekstrem pada radius 50 km dari wilayah operasional kami,” katanya

Sugiharto