Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengajukan sejumlah usulan kepada Presiden Joko Widodo untuk merevisi Peraturan Pemerintah No 57 tahun 2016 tentang Perubahan PP No 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (PP Gambut). Usulan yang disampaikan melalui surat pada 30 Maret 2017 itu ditembuskan juga kepada sejumlah menteri Kabinet Kerja.
Dalam surat, yang kopinya diperoleh Agro Indonesia, Jumat (5/5/2017), Menteri Airlangga memaparkan, telah berkomunikasi dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui surat No 149/M-IND/3/2017 tanggal 30 Maret 2017 tentang adanya kelompok industri yang terkena dampak langsung dari PP gambut dan peraturan pelaksanaannya. Kelompok industri tersebut adalah industri bubur kayu dan kertas dan industri kelapa sawit beserta turunannya.
Menteri Airlangga memaparkan, peranan industri prioritas perekonomian nasional itu. Industri berbasis kelapa sawit menyumbang devisa ekspor hingga 19,6 miliar dolar AS pada tahun 2016. Sudah lebih tinggi dari produk migas yang hanya 18,6 miliar dolar. Industri ini juga menyumbang penerimaan pajak sebesar 2,23% dari total Rp1.230 triliun.
Arlangga juga mengungkapkan, industri kelapa sawit dari hulu hingga hilir menyerap tenaga kerja sebanyak 5,3 juta orang dan menghidupi lebih dari 21,2 juta hektare. Kontribusi industri kelapa sawit terhadap PDB mencapai 3%. Ini merupakan single contributor terbesar untuk satu jenis sektor industri pertanian. Selain itu, industri kelapa sawit juga membuka pertumbuhan ekonomi daerah, khususnya daerah terpencil, terluar dan pedalaman.
Industri pulp dan kertas juga disebut Arlangga, memilki peran strategis. Industri ini memiliki backward and forward linkage yang sangat besar. Ke hulu, ada pengusahaan hutan tanaman industri (HTI) dan hutan tanaman rakyat. Ke hilir, ada industri percetakan grafika, kemasan, dan industri lainnya yang menyerap banyak tenaga kerja.
Menurut Arlangga, industri pulp dan kertas menyerap 1,49 juta tenaga kerja dan menghidupi lebih dari 5,96 juta orang. Sebanyak 30% hasil produksi industri pulp dimanfaatkan di tanah air dan 70% lainnya diekspor sebagai sumber devisa. Pada tahun 2016, industri pulp dan kertas menyumbang devisa sebesar 5,01 miliar dolar AS.
Airlangga mengungkapkan, adanya PP gambut dan aturan pelaksananya membuat areal tanaman pokok di fungsi budidaya berubah menjadi fungsi lindung. Luasnya mencapai 780.000 hektare di HTI dan 1,02 juta hektare di perkebunan sawit. Ini berdampak pada pendapatan negara yang nilainya bisa mencapai Rp122 triliun, pendapatan karyawan dan masyarakat (Rp45,7 triliun), dan investasi usaha termasuk UMKM (Rp554 triliun).
Terhadap tenaga kerja, PP gambut dan turunannya berdampak pada pengurangan hingga 3,9 juta orang baik di industri sawit dan pulp dan kertas dari hulu hingga hilir. Selain itu, PP gambut dan aturan pelaksananya bisa berdampak pada penurunan peringkat investasi Indonesia.
Airlangga mengungkapkan, investasi industri kelapa sawit dan bubur kayu dan kertas dari hulu hingga hilir dibiayai dari pinjaman dalam negeri sebesar Rp83,75 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar 193,57 triliun. Dampak dari PP gambut akan membuat usaha kehutanan dan perkebunan mengalami gagal bayar yang akan bisa mengakibatkan berhentinya operasional industri. Muaranya adalah penurunan rating investasi Indonesia saat ini.
Arlangga pun mengusulkan kepada Presiden, agar pemegang izin kebun sawit dan HTI tetap diizinkan untuk melakukan aktivitas budidaya dengan syarat menerapkan teknologi terbaru tata kelola air gambut yang meminimalisasi emisi karbon dan mengantisipasi kebakaran lahan.
Usulan kedua Airlangga adalah, “merevisi beberapa pasal yang tercantum pada PP No71 tahun 2014 jo. PP No 57 tahun 2016 agar meminimalisir dampak kepada kedua kelompok industri terkait”.
Usulan Airlangga ketiga adalah, implementasi perubahan fungsi budidaya menjadi fungsi lindung gambut agar dilaksanakan setelah dapat dipastikan tersedia land swap yang telah terverifikasi.
Sugiharto