Ketika Pengusaha Kebun Curhat Soal Gambut

kelapa sawit

Tepuk tangan bergemuruh dari peserta yang hadir usai Direktur Perlindungan Perkebunan Kementerian Pertanian Dudi Gunadi menyampaikan paparannya. Bahkan, tepuk tangan sudah bergemuruh beberapa kali sejak Dudi menyampaikan paparannya.

Tak ada suasana serupa saat Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) MR Karliansyah usai menyampaikan paparannya. Peserta tak memberi aplaus, sesuatu yang lazim terjadi usai pembicara menyampaikan paparannya.

Demikian juga saat Sekjen Kementerian LHK Bambang Hendroyono dan Ketua Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead usai menyampaikan materinya, meski mereka sejatinya adalah tuan rumah sosialisasi “Implementasi Kebijakan Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut” yang diselenggarakan di Auditorium Gedung Manggala Wanabakti, Kantor Kementerian LHK, Jumat (5/5/2017).

Situasi yang terjadi seolah menjadi curahan hati dari para pelaku usaha perkebunan sawit yang memang menjadi target pada sosialisasi tersebut. Agro Indonesia mencatat setidaknya ada tiga kali tepuk tangan bergemuruh saat Dudi menyampaikan paparannya. Pertama saat Dudi menyatakan tentang pentingnya peran perkebunan kelapa sawit dan industri turunannya. Kedua, saat Dudi menyatakan tentang kemampuan pelaku usaha perkebunan sawit yang mampu menjaga tata air gambut. Dan yang ketiga saat Dudi mengungkapkan, “berdasarkan UU perkebunan, setelah mendapat izin perusahaan perkebunan harus menyelesaikan penanaman di seluruh arealnya paling lambat 6 tahun.”

Dudi mengacu kepada pasal 16 UU No 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. Ayat 1 pasal 16 UU tersebut menyatakan, “Perusahaan Perkebunan wajib mengusahakan Lahan Perkebunan: a. paling lambat 3 tahun setelah pemberian status hak atas tanah, Perusahaan Perkebunan wajib mengusahakan Lahan Perkebunan paling sedikit, 30% dari luas hak atas tanah; dan b. paling lambat 6 tahun setelah pemberian status hak atas tanah, Perusahaan Perkebunan wajib mengusahakan seluruh luas hak atas tanah yang secara teknis dapat ditanami Tanaman Perkebunan.”

Padahal, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 57 tahun 2016 tentang Perubahan PP No 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut  atau yang populer dengan  PP gambut dan peraturan teknis pelaksananya, lahan dengan fungsi lindung tak boleh dimanfaatkan untuk budidaya.

Asal tahu saja, dari peta Kawasan Hidrologis Gambut (KHG) Nasional dan Peta Fungsi Ekosistem Gambut Nasional yang sudah ditetapkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, ada 24,2 juta hektare KHG dengan 12,1 diantara memiliki fungsi lindung Dari inventarisasi yang dilakukan Kementerian LHK, ada sekitar 2,5 juta hektare lahan gambut dengan fungsi lindung yang telah dibebani izin. Sekitar 1 juta hektare berupa izin perkebunan dengan total entitas sekitar 400 unit.

Dikonfirmasi usai menyampaikan paparannya, Dudi menekankan kewajiban untuk menanam seluruh areal izin bukan pendapat  pribadinya. “Ini amanat UU,” katanya.

Dudi tak menjelaskan bagaimana implementasi amanat UU tersebut pasca terbitnya PP gambut. Menurut dia, bagaimana implementasi PP gambut dan aturan pelaksananya merupakan kewenangan Kementerian LHK. “Jadi silahkan konfirmasi ke KLHK,” katanya.

Dampak

Bukan cuma tepuk tangan kepada Dudi, pelaku usaha kebun yang hadir juga lantang menyampaikan pendapat terkait PP gambut. Sekretaris Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumatera Utara Timbas Prasad Ginting menyatakan PP gambut berdampak pada usaha perkebunan sawit di Sumatera Utara. “Padahal pemanfaatan gambut untuk budidaya kelapa sawit sudah dilakukan sejak 90 tahun lalu,” katanya.

Dia juga mengungkapkan, akibat PP gambut, ada perusahan BUMN yang sekitar 95% arealnya ditetapkan sebagai fungsi lindung. Situasi ini tentu saja menyulitkan karena fungsi lindung tak bisa dibudidayakan.

Sementara Zahrul Daruri dari Gapki Sumatera Selatan mempertanyakan soal penetapan muka air paling rendah 0,4 meter dari permukaan gambut sebagai kriteria kerusakan. Padahal dalam Peraturan Menteri Pertanian No 14 tahun 2009, tinggi muka air untuk pengelolaan kebun sawit di lahan gambut diatur berkisar 0,6-0,8 meter dari permukaan.

Dia juga menuturkan, dengan pengelolaan yang dilakukan selama ini sejatinya telah berhasil mengendalikan kebakaran lahan di areal perkebunan. Ini terbukti dari jumlah titik api yang lebih jauh lebih sedikit di perkebunan dibandingkan titik api di areal peruntukan lainya, termasuk kawasan hutan.

Keluhan juga datang dari Joko Susilo, dari PT Riau Sakti Transmandiri. Perusahaan perkebunan itu tidak membudidayakan sawit melainkan kelapa. Menurut Joko, adanya PP gambut menimbulkan banyak pertanyaan di petani plasma perusahaannya. Mereka mengaku bingung harus mengubah komoditas yang harus dibudidayakan. “Dari mana biayanya?,” kata Joko.

Apalagi, para petani di sana sudah terbiasa dengan budidaya kelapa. Mengubah jenis tanaman yang dibudidayakan dengan jenis lain, seperti sagu, tentu tak semudah membalik telapak tangan.

Kebakaran

Menghadapi berbagai pertanyaan tersebut Sekjen KLHK Bambang Hendroyono menyatakan, kebijakan pemerintah terkait regulasi gambut adalah upaya untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan berulang. “Kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan sangat besar baik dari sisi ekonomi maupun kesehatan,” kata dia.

Bambang menegaskan, kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di tahun 2015 tak boleh sampai terulang, Makanya harus dilakukan pemulihan ekosistem gambut sesuai dengan fungsinya, terutama kawah gambut yang seharusnya tetap pada fungsi lindung.

Bambang juga menegaskan pemerintah tak semena-mena kepada pelaku usaha. Penyusunan PP gambut, 4 PermenLHK dan dua keputusan MenLHK  sebagai aturan pelaksananya sudah melalui proses diskusi dan konsultasi dengan berbagai pihak yang relevan guna memperkuat substansi aturan perlindungan dan pengelolan gambut.

Terkait penetapan tinggi muka air 0,4 meter di bawah permukaan gambut pada titik penaatan, sebagai batas kriteria baku kerusakan gambut, hal itu dinyatakan Bambang telah melewati beberapa kajian teknis.

Soal adanya ketentuan yang diatur dalam Permentan bahwa tinggi muka air gambut berkisar 0,6-0,8 meter dari permukaan, Bambang menyatakan, Permentan No 14/2009 harus direvisi. Bambang mengingatkan bahwa PP gambut memiliki secara hierarki hukum lebih tinggi. “Jadi Permentan harus direvisi,” katanya.

Lantas, bagaimana dengan UU Perkebunan yang mewajibkan pemanfaatan seluruh konsesi maksimum 6 tahun sejak izin diterbitkan, Bambang menyatakan pengelolaan gambut berpayung pada UU No 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dia menyatakan, pemanfaatan izin perkebunan yang sudah ada sejatinya tidak dilarang, sepanjang memenuhi ketentuan dalam PP gambut dan ketentuan teknis pelaksananya.

Dirjen PPKL Karliansyah menjelaskan, pelaku usaha perkebunan sejatinya masih bisa memanfaatkan tanaman sawit pada areal yang kemudian ditetapkan sebagai fungsi lindung dalam Peta Fungsi Ekosistem Gambut Nasional. “Bisa dimanfaatkan untuk satu daur tanam,” katanya.

Hanya saja, dia mengingatkan, setelah daur tanamnya selesai, tidak boleh lagi ada replanting. Areal tersebut harus direstorasi dan dikembalikan sebagai fungsi lindung.

Sementara itu Kepala BRG, Nazir Foead menegaskan, batasan tinggi muka air tersebut bisa mencegah terjadinya kebakaran lahan gambut. “Dengan 0,4 meter pada musim kemarau, air masih bisa naik ke permukaan dan melembabkan tanah gambut sampai pada lapisan permukaan, dengan syarat bahwa permukaan pada wilayah budidaya harus ada vegetasi penutup,” jelas Nazir.

Nazir juga meyakinkan bahwa , tanaman perkebunan dan tanaman HTI dapat tumbuh relatif baik, sebagaimana contoh perkebunan sawit di Bengkalis dan HTI di Kubu Raya.

Sugiharto