Pemerintah siap menempuh tindakan balasan (retaliasi) terhadap produk impor asal Amerika Serikat (AS) terkait sikap proteksionis negeri itu terhadap produk biodiesel Indonesia. AS dinilai sewenang-wenang dan tidak menghargai semangat perdagangan bebas. Evaluasi produk impor pun segera dilakukan.
Sikap proteksionis negara-negara maju terhadap biodiesel Indonesia memang tak boleh ditolerir. Setelah Uni Eropa yang memberlakukan tarif bea masuk tambahan antara 8% sampai 23,3% dengan tuduhan Indonesia melakukan dumping biodiesel, kini AS juga menuding Indonesia melakukan hal yang sama, plus pemberian subsidi. Akibatnya, per 9 November 2017, Departemen Perdagangan AS (USDOC) mengenakan bea masuk imbalan (countervailing duty) terhadap biodiesel Indonesia. Sama dengan pasar Eropa, tuduhan dumping itu dikenakan terhadap produk biodiesel Indonesia dan Argentina.
“Untuk Indonesia, USDOC menetapkan Bea Masuk Imbalan dengan kisaran 34,45%-64,73%. Sementara Argentina dikenakan bea masuk yang lebih tinggi, yakni berkisar antara 71,45% dan 72,28%,” ujar Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan, Jumat (17/11/2017).
Dengan bea masuk itu, maka ekspor biodiesel ke AS bukan hanya turun, tapi terhenti total. Padahal, tahun 2016 ekspor biodiesel Indonesia ke pasar AS tercatat 255,56 juta dolar AS dan menyumbang 89,19% dari total ekspor biodiesel nasional. Di Eropa, sejak dikenakan bea masuk anti dumping (BMAD) pada 2013, ekspor biodiesel Indonesia ambruk dari 635 juta dolar AS tinggal tersisa 9 juta dolar AS pada 2016. Maklum, dengan BMAD, produk biodiesel Indonesia ke Uni Eropa kena pajak 76,94-178,85 euro/ton.
Oke mengatakan, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita sudah meminta AS mempertimbangkan kembali keputusannya sebagai bentuk penghargaan hubungan baik kedua negara serta semangat perdagangan bebas. Pemerintah masih menunggu keputusan final yang akan diambil Komisi Perdagangan Internasional AS (USITC) pada 21 Desember 2017. Apabila putusan maupun metodologi penghitungan yang digunakan AS tidak konsisten dengan aturan WTO-Subsidy and Countervailing Measures Agreement, Indonesia akan bersikap.
“Pemerintah Indonesia akan mempertimbangkan untuk melakukan evaluasi mendalam terhadap seluruh impor Indonesia yang berasal dari Amerika Serikat,” tegasnya. Sikap ini sejalan dengan pernyataan keras Mendag Enggartiasto sebelumnya yang siap perang dagang dengan Uni Eropa untuk komoditi yang sama.
Untuk Indonesia, mudah untuk meretaliasi produk impor AS. Cukup dua komoditi yang dipilih: kedele atau gandum. Tahun pemasaran 2016/2017 saja, data Foreign Agricultural Sevice (FAS), Departemen Pertanian AS menyebutkan, Indonesia impor kedele 2,296 juta ton, naik dari 2,028 juta ton pada periode yang sama sebelumnya. Gandum juga menarik, di mana untuk all wheat pada periode 2016/2017 impor Indonesia mencapai 1,083 juta ton, naik dari 607,8 ribu ton. Itu belum gandum jenis lainnya. Atau mau yang lebih kecil? Bisa pilih jagung, yang 2016/2017 impornya ‘hanya’ 193,7 ribu ton atau naik dari 184,5 ribu ton periode yang sama sebelumnya. Persoalan tinggal satu. Berani atau tidak. AI