Industri Tolak Pajak Karbon

Pemerintah diminta berpikir ulang terkait rencana penerapan pajak karbon yang masuk dalam RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Selain waktu yang tidak tepat, dampak negatifnya juga besar buat industri dan pemulihan ekonomi.

Kontroversi terkait draft Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas UU No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) tak hanya terjadi pada rencana pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk bahan kebutuhan pokok (bapok) dan jasa pendidikan. Rencana pemerintah c.q. Kementerian Keuangan mengenakan pajak karbon (carbon tax) juga memicu keberatan, terutama di kalangan dunia usaha dan industri.

“Rencana itu harus dipikir ulang karena akan menimbulkan beragam efek di dunia bisnis dan masyarakat,” ujar Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki), Elisa Sinaga saat dihubungi Jumat (18/6/2021). Pajak karbon yang disebut senilai Rp75/kg atau Rp75.000/ton ekuivalen CO2 ini bakal memicu kenaikan harga di berbagai komoditas dan menambah beban ekonomi masyarakat. Apalagi, pajak karbon ini tidak hanya menyasar perusahaan atau badan hukum, “tapi juga pribadi perorangan,” tandasnya.

Suara keberatan juga disampaikan rimbawan yang notabene bisa diuntungkan dengan keberadaan pajak karbon. Hanya saja, keberatannya lebih ke soal waktu penerapan yang tidak tepat karena kondisi perekonomian yang masih belum sehat. “Pajak karbon pada akhirnya akan membebani masyarakat juga. Jadi, belum tepat untuk saat ini,” kata Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Jambi, Dr Bambang Irawan ketika dihubungi, Sabtu (19/6/2021).

Namun, Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Laksmi Dewanthi mengaku pajak karbon ini merupakan pengembangan dari carbon pricing atau Nilai Ekonomi Karbon (NEK) yang sedang dikembang Kemenkeu dalam berbagai bentuk. “Antara lain dalam bentuk pajak,” ujarnya, Sabtu (19/6/2021). NEK sendiri amanat dari Peraturan Pemerintah No. 46/2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup (IELH), yang merupakan pelaksanaan UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dia mengakui, koordinasi dan komunikasi KLHK dengan Kemenkeu makin intensif terkait penyiapan pajak karbon ini. “Hanya saja, pada tahap ini perumusan kebijakan belum sampai pada disain detail, seperti besaran dan formulasi perhitungannya,” katanya.

Yang jelas, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Purwadi Soeprihanto malah sependapat dengan pajak karbon dan carbon pricing karena potensial jadi penerimaan bagi pelaku usaha kehutanan. “Itu positif. Peluang bagi sektor hulu,” katanya, Sabtu (19/6/2021). AI