TORA Incar 20% HGU eks Hutan

Di penghujung usia Kabinet Kerja Jokowi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) tiba-tiba menagih ratusan ribu hektare lahan hutan yang telah dilepas untuk perkebunan. Luasan itu adalah bagian dari 20% lahan yang harus diberikan ke rakyat dan akan diklaim sebagai Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Mengapa baru sekarang, dan mampukah mengejar target?

TORA memang program Presiden Jokowi yang banyak ditunggu rakyat. Inilah program redistribusi aset, bukan sekadar reformasi akses, yang sumbernya berasal dari kawasan hutan. Nah, dalam setiap SK pelepasan kawasan hutan menjadi areal penggunaan lain (APL), jelas disebutkan 20% lahan yang dilepas itu untuk rakyat. “Dalam setiap pelepasan hutan untuk kebun (sejak tahun 2011, Red.), ada alokasi yang kami berikan untuk rakyat,” kata Sekjen Kementerian LHK, Bambang Hendroyono di Jakarta, Sabtu (27/7/2019).

Menurut Bambang, tegasnya penyebutan 20% dalam setiap SK pelepasan berlaku sejak tahun 2011. Nah, dari identifikasi KLHK, ada 428.358 hektare (ha) lahan bekas kawasan hutan. Jumlah itu berasal dari pelepasan 1,9 juta ha kawasan hutan selama periode 2011-2017.

Persoalannya, bagaimana Kementerian LHK menagih 20% “hak rakyat” itu ketika perkebunan sudah bukan kewenangan mereka? Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK, Sigit Hardwinarto mengaku masih bisa ditagih, baik oleh LHK maupun lembaga terkait. “Di situ (SK pelepasan) kan sudah ada bahasa hukumnya. Ketika Kementerian ATR/BPN melakukan tatabatas kan pasti sudah melihat terkait kewajiban 20% ini,” tandas Sigit.

Jika demikian, mengapa ada hitungan tagihan lahan sampai 428.358 ha? Apakah ATR/BPN tidak mengacu SK pelepasan dan memberikan HGU 100% dari permintaan pengusaha? Juru bicara Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Horison Mocodompis mengaku kewajiban 20% lahan HGU yang dimohon untuk rakyat dalam bentuk kemitraan (plasma) diatur Peraturan Menteri ATR No. 7 tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan HGU. “BPN itu kalau ngasih HGU pasti ada kewajiban seluas 20% harus diberikan kepada plasma,” kata Horison, Jumat (9/8/2019).

Hanya saja, dia juga mengaku pemberian kewajiban 20% dari HGU untuk rakyat memang tidak merujuk secara khusus pada kewajiban alokasi 20% seperti disebutkan dalam setiap surat keputusan pelepasan kawasan hutan — yang merupakan dokumen persyaratan awal penerbitan HGU. Pengakuan ini nampaknay menjelaskan adanya “tagihan” lahan dari hitungan KLHK.

Pengusaha sendiri tidak keberatan dengan tagihan kewajiban 20% lahan untuk rakyat. Persoalannya, kewajiban itu diatur oleh banyak regulasi dengan makna hukum yang berbeda-beda. Jika mengacu ketentuan di KLHK, alokasi 20% berasal dari pelepasan kawasan hutan, sementara jika mengacu ketentuan di Kementerian ATR/BPN, alokasi 20% tersebut berasal dari luas HGU. Sementara jika mengacu kepada ketentuan di Kementerian Pertanian, alokasi 20% dihitung berdasarkan luas Izin Usaha Perkebunan (IUP). “Ini yang kami pertanyakan. Bingung kami mau pakai ketentuan yang mana,” ujar Ketua Bidang Tata Ruang dan Agraria Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono, Jumat (9/8/2019). AI