Upaya Penurunan Jumlah Perokok Anak dan Remaja Butuh Kordinasi Antar Instansi

Kebijakan pemerintah menaikkan tarif cukai rokok bukanlah satu-satunya strategi yang ampuh untuk menekan prevalensi  perokok anak usia 10-18 tahun di Indonesia.

Hal ini terungkap dalam FGD bertema “ Pencegahan Perokok Anak  Sejak Usia Remaja di Indonesia” yang digelar Forum Wartawan Industri (Forwin) di Jakarta, Rabu (27/04/2022).

“Tak cukup hanya regulasi untuk atasi prevalensi perokok anak dan remaja . Perlu adanya kordinasi antar intansi dalam melakukan kebijakan soal penurunan jumlah perokok anak dan remaja,” ujar Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad.

Dia mengacu pada     data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, angka perokok anak di atas usia 10 hingga 18 tahun justru meningkat menjadi 9,1 persen dibandingkan tahun 2013 yang hanya 7,2 persen.

Menurut Tauhid, selain menaikkan tarif cukai rokok, banyak cara yang bisa dilakukan pemerintah untuk menekan jumlah perokok anak dan remaja.”Misalnya saja dengan membatasi iklan rokok, pengetatan pembelian rokok, edukasi mengenai bahaya merokok,” ujarnya.

Hal serupa juga dilontarkan Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wahyudi. Menurutnya, kebijakan yang telah dilakukan pemerintah untuk menekan jumlah perokok anak dan remaja sebenarnya sudah bagus, hanya saja kebijakan tersebut harus diawasi dengan ketat dan disosialisasikan secara masif ke pihak-pihak terkait.

“Kebijakan-kebijakan itu harus disosialisasikan ke pedagang, masyarakat serta perlu dilakukan pemantauan secara cermat di lapangan,” katanya.

Dia menjelaskan, Gaprindo  telah sejak lama melakukan berbagai upaya baik secara sendiri maupun dengan melibatkan instansi lain untuk menurunkan jumlah perokok anak dan remaja.

“Kami telah melakukan berbagai upaya untuk menekan jumlah perokok anak dengan melibatkan sejumlah instansi, termasuk Kemendikbud. Kini upaya itu dilakukan dengan membuat website,” ucapnya.

Penerimaan Cukai Naik

Sementara itu Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Penyegar pada Kementerian Perindustrian, Edy Sutopo, mengatakan  produksi Industri Hasil Tembakau (IHT) cenderung menurun, namun penerimaan cukai terus meningkat.

“Hal itu karena penerimaan cukai merupakan hasil perkalian dari jumlah produksi dengan tarif cukai. Karena delta kenaikan cukai lebih tinggi dari produksi IHT, maka penerimaan cukai tetap meningkat,” kata Edy

Data Kemenperin menunjukkan bahwa produksi IHT pada periode 2016-2021 cenderung turun. Produksi pada 2016 sebesar 342 miliar batang menjadi 320 miliar batang pada 2021.

“Kenaikan produksi hanya terjadi pada tahun 2019, karena pada tahun tersebutcukai tidak dinaikkan,” ujar Edy.

Meskipun produksi cenderung turun, lanjut Edy, namun penerimaan cukai IHT terus meningkat dari Rp137,95 triliun pada 2016 menjadi Rp188 triliun pada 2021.

Ke depan, kata dia, akan ada titik optimal tertentu, di mana produksi IHT yang kian menurun akan memengaruhi menurunnya penerimaan cukai. “Akan ada titik optimal di mana hasil perkaliannya akan lebih rendah, itu akan ada titik optimal seperti itu,” katanya.

Menurut data tersebut, jumlah perusahaan IHT sejak 2016 hingga 2021 mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, yakni 751 perusahaan pada 2016 menjadi 869 pada 2021.

Adapun penerimaan cukai kian meningkat pada periode yang sama, yakni Rp137,95 triliun pada 2016 menjadi Rp188 triliun pada 2021.Buyung N