WTO: Demi Hindari Gesekan Perdagangan, Perlu Ada Harga Karbon Global

Dirjen WTO Ngozi Okonjo-Iweala

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mendesak perlu adanya penetapan harga karbon global. Langkah itu penting guna mencegah terjadinya perselisihan yang “sulit dam problematis” terkait kebijakan lingkungan hidup yang mengganggu perdagangan.

Hal itu ditegaskan Direktur Jenderal WTO, Ngozi Okonjo-Iweala dalam wawancaranya dengan harian The Financial Times. Okonzo-Iweala mengatakan, WTO memimpin upaya untuk menciptakan sistem penetapan harga karbon internasional dengan IMF, OECD dan PBB.

Penegasan WTO disampaikan untuk menanggapi kebijakan mekanisme penyesuaian lintas batas karbon (CBAM) yang akan berlaku tahun ini dan mewajibkan para eksportir di blok perdagangan Benua Biru ini untuk membayar retribusi yang terkait dengan harga karbon Uni Eropa (UE) atas emisi produk-produk yang padat karbon, antara lain baja, pupuk dan semen.

Langkah ini, yang akan berlaku efektif tahun 2026, dimaksudkan untuk menyamakan kedududkan antara produsen UE, yang harus membayar emisi berdasarkan sistem pembatasan dan perdagangan (cap-and-trade system), dan eksportir di negara-negara dengan harga karbon yang lebih rendah atau tanpa harga karbon sama sekali.

Kebijakan CBAM ini diperkirakan bakal memicu banjir tuntutan dari para mitra dagang ke WTO.

India salah satunya. New Delhi sudah mengisyaratkan kemungkinan bakal membawa kasus ini ke WTO, sementara negara-negara berkembang lainnya juga menyatakan langkah UE tersebut bakal manjadikan produk-produk mereka kalah bersaing dan keluar dari pasar UE.

“Negara-negara berkembang melihat langkah itu, terlepas benar atau salah, sebagai mekanisme proteksionis,” tegas Okonjo-Iweala. Padahal, katanya, “Kontribusi mereka terhadap emisi sangatlah kecil. Afrka hanya menyumbang 3% dari emisi global (saat ini).”

UE sendiri, seperti biasa, membela kebijakan CBAM dan menegaskan bahwa mereka telah mengirim para pejabatnya ke seluruh dunia guna membantu negara-negara, termasuk China, untuk mengembangkan pasar karbon masing-masing.

Dalam dokumen yang menjabarkan prioritas politiknya lima tahun ke depan di Komisi Eropa, Ursula von der Leyen mengatakan blok ekonomi dan perdagangan UE harus “meningkatkan diplomasi hijau kita dan lebih banyak terlibat dengan negara-negara non-UE mengenai aspek-aspek eksternal kebijakan kita.”

Dirjen WTO mengatakan, UE punya hak untuk mencoba mengatasi perubahan iklim. Namun, tambahnya, pendekatan itu bisa memecah jalur perdagangan dengan mengorbankan pertumbuhan ekonomi.

“Kami melihat (tuntutan) akan datang. Kami rasa ini bakal sangat sulit dan problematis. Untuk itu, kami mencoba menghindari hal itu dengan mengatakan kenapa kita tidak mengembangkan sebuah kerangka kerja global yang dapat dioperasionalkan? Dengan demikian kita bisa membatasi terjadinya friksi litigasi (tuntutan) yang mungkin terjadi.”

Dirjen WTO asal Nigeria ini mengatakan, di dunia ini ada 78 mekanisme penetapan harga dan perpajakan karbon yang berbeda.

Maksud dari pembentukan kelompok kerja (pokja) itu tak lain untuk menemukan cara penetapan harga karbon yang berbeda untuk tiap kawasan. UE kemungkinan membayar 80 dolar AS/ton, sementara Afrika 20 dolar AS/ton.

Hal itu tentu perlu adanya perubahan pada CBAM, yang memungut retribusi berbeda antara harga karbon UE dan yang harus dibayar oleh importir ke blok tersebut.

Sistem global yang diusulkan juga membutuhkan perlindungan (safeguard) terhadap arbitrase karbon, di mana para pengemisi karbon terbesar akan berpindah ke daerah dengan harga lebih rendah, kata Okonjo-Iweala.

Dia mengaku ingin agar perdagangan membantu mengurangi emisi karon.

“Saya pribadi sangat gembira dengan hal ini karena menurut saya perdagangan memang ada potensi untuk melakukan lebih banyak, dan perdagangan menjadi bagian dari jawabannya.”

Ketika dia mulai menjabat tahun 2021, “perdagangan dipandang sebagai bagian dari masalah” karena transportasi emisi dan komoditi yang diekspor dari lahan-lahan terdeforestasi. “Saya ingin mengubah hal itu.”

Dia mengaku sudah mendorong negara-negara untuk menandatangani perjanjian pengadaan internasional guna memprioritaskan pembelian hijau (ramah lingkungan). Selain itu juga ada pembicaraan di WTO mengenai perjanjian barang-barang global yang ramah lingkungan, yang akan menurunkan tarif banyak produk, seperti panel surya. Namun, AS utamanya malah menaikkan tarif bea masuk panel surya untuk melindungi industri panel surya dalam negeri dari persaingan keras dengan produk China.

Okonjo-Iweala mengatakan, semua negara harus mengalihkan pemberian subsidi yang merusak lingkungan ke industri yang lestari. Setiap tahun terjadi subsidi bahan bakar fosil senilai 1,2 triliun dolar AS, subsidi pertanian yang mendistorsi perdagangan senilai 600 miliar dolar AS, subsidi air 300 miliar dolar AS dan subsidi perikan yang merugikan senilai 22 miliar dolar AS.

Wanita ini pada Senin (16/9) secara resmi mengumumkan untuk maju kembali mencalonkan diri untuk yang kedua kalinya sebagai Dirjen WTO.

Masa jabatan 4 tahun pertama wanita ini sebagai Dirjen WTO akan berakhir tahun depan dan negara-negara Afrika meminta dia untuk maju kembali.

Selain itu “ada dukungan luas” dari para anggota, kata seorang jubir WTO. Okonjo-Iweala butuh persetujuan semua kelompok untuk terpilih lagi.

Jika tidak ada calon loin yang mengajukan diri, otomatis dia akan menjabat sebelum Pilpres AS. Mantan Presiden yang juga kandidat Presiden dari kubu Republik, Donald Trump pernah memblokir pengangkatannya sebelum lengser pada tahun 2020, sehingga memungkinkannya untuk memegang jabatan Dirjen WTO. AI