
Sejak disahkannya naskah UU Cipta Kerja pada sidang paripurna DPR, Senin (5/10/2020), demonstrasi menolakan muncul di berbagai tempat. Meski banyak protes, namun naskah resmi UU Cipta Kerja itu sudah masuk babak baru. Ditandatangani Presiden Jokowi atau tidak, tetap akan menjadi UU.
Ketua DPR telah menyampaikan naskah UU tersebut kepada Presiden melalui surat Nomor LG/120/12046/DPR RI/X/2020, yang diterima oleh Menteri Sekretaris Negara pada Rabu (14/10/2020).
Menanggapi pengesahan UU Cipta Kerja, mantan Dirut Perum Perhutani Dr Transtoto Hadhadari menyatakan mendukung UU itu, meski dengan beberapa catatan.
Alasannya, pasal-pasal buku tebal undang-undang yang termasuk di dalamnya percepatan usaha-usaha bidang kehutanan, memang masih perlu pencermatan yang mendalam.
“Namun terlepas dari substansi positif yang sedang digulirkan, selalu terdapat kekurangan dan hal-hal lain yang perlu penyempurnaan. UUCK harus kita dukung, agar roda pembangunan berjalan lebih cepat,” demikian kata ahli ekonomi kehutanan itu, Jumat (16/10/2020).
Omnibus Law di bidang usaha-usaha kehutanan sebenarnya secara lebih lengkap sudah di susun pada tahun 1992 dimulai di Kanada. Kumpulan aturan yang sangat lengkap tersebut bernama Forest Practices Code. Beberapa negara lain termasuk Malaysia sudah pula menyusunnya. Tapi Indonesia belum.
Rimbawan senior yang juga Ketua Umum Yayasan Peduli Hutan Indonesia (YPHI) menghimbau agar dalam melaksanakan UUCK 2020 semua pejabat yang berwenang wajib memperhatikan dan mutlak melindungi fungsi konservasi hutan.
Meski diizinkan oleh undang-undang dan tata ruang yang sah, namun secara local specific dan pertimbangan yang bijak para pejabat pusat maupun daerah, tegas Transtoto, dilarang dengan mudah mengeluarkan izin aktivitas-aktivitas yang potensial apalagi secara nyata membahayakan kehiduppan umat manusia dan mengakibatkan bencana lingkungan.
Pejabat pusat dan daerah kalau memungkinkan dilengkapi dengan Peta Posisi Lahan (Land Position Map) yang menunjukkan lahan-lahan sensitif penyebab bencana lingkungan yang harus dilindungi pada setiap daerah aliran sungai (DAS). Serta membentuk Tim Pertimbangan Pengendalian Bencana Lingkungan (TPPBL).
Demikian pula bagi para pengusaha. Kesempatan kemudahan berusaha yang diberikan agar dimanfaatkan dengan tetap mewaspadai diri untuk tidak merusak hutan dan ekosistem lingkungan hidup.
Sebagai gambaran data daratan Pulau Jawa saat ini adalah 2,55 juta hektare (30,3%) lahan sensitif ada di dalam kawasan hutan Perhutani. Sedangkan 5,863 juta hektare (69,87%) ada di tanah milik masyarakat, dibudidayakan rakyat dengan bebas. Tak heran banjir sering terjadi meski hutan nampak hijau lebat. AI