Kalteng Usul Batalkan 1,07 Juta Hektare Kebun Sawit

Kepala Dinas Perkebunan Kalteng Rawing Rambang

Setahun sudah Indonesia memberlakukan moratorium perkebunan sawit. Kebijakan itu dibingkai lewat Instruksi Presiden (Inpres) No 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. Dalam perjalanannya kebijakan itu menghadapi banyak lika-liku.

Bagi pemerintah Kalimantan Tengah (Kalteng), amanat yang tertuang dalam Inpres 8/2018 sudah dilaksanakan. Bahkan sebelum kebijakan itu terbit. Langkah itu dilakukan untuk pembenahan perkebunan sawit di Kalteng.

Kepala Dinas Perkebunan Kalteng Rawing Rambang menyatakan, kesiapan Kalteng karena sejak tahun 2017 Kalteng termasuk dalam program Koordinasi dan Supervisi (korsup) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kalteng juga menjadi Pilot Project Kebijakan Satu Peta (KSP) di bidang perkebunan.

“Kalteng telah memiliki data yang cukup untuk membuat peta kesesuaian lahan komoditas kelapa sawit, karet, kopi dan kakao. Begitu juga peta terkait perizinan lahan, batas wilayah antar perusahaan, dan lain-lain,” katanya ketika ditemui di Jakarta beberapa waktu lalu.

Rawing menuturkan, untuk mebenahi perkebunan sawit. Kalteng telah mengusulkan untuk mencabut izin 106 perusahaan dengan luas konsesi mencapai 1,07 juta hektare. Itu dikarenakan perkebunan tersebut belum juga beroperasi setelah tiga tahun izinnya diterbitkan.

Namun implementasi  kebijakan moratorium sawit ternyata tak mudah. Soal pencabutan izin misalnya, Rawing mengaku, pemerintah provinsi tak punya wewenang untuk mencabut izin yang ditelantarkan karena penerbit izin adalah Bupati/Walikota. Bukan Gubernur.

Tantangan lain dalam moratorium sawit adalah peningkatan produktivitas petani. Ketersediaan benih unggul dan sarana produksi membutuhkan dukungan dari banyak pihak. Termasuk soal pembiayaan.

Untuk tahu lebih jauh implementasi Inpres Inpres 8/2018, berikut petikan wawancara Agro Indonesia dengan pria yang pernah mempelajari pengelolaan perkebunan hingga ke Malaysia dan Thailand itu:

Bagaimana potret perkebunan di Kalteng saat ini?

Untuk perkebunan besar (PB) berdasarkan izin ada 326 unit terdiri dari sawit 310 unit dan karet 16 unit   dengan total luas izin 3,04 juta hektare. Tapi tidak semua sudah operasional. Berdasarkan statistik dan laporan, yang sudah operasional sebanyak 188 unit terdiri dari sawit 182 unit dan karet karet 6 unit dengan luas 1,7 juta hektare. Sementara yang belum operasional ada 138 unit terdiri dari sawit 128 unit dan karet karet 10 unit dengan luas 1,3 juta hektare.

Untuk perkebunan rakyat, luasnya 647.775 hektare yang didominasi dengan komoditas sawit dan karet.

Presiden sudah menerbitkan Inpres 8/2018. Setelah setahun, bagaimana perjalanan implementasi kebijakan itu di Kalteng?

Kalau soal Inpres 8/2018, kalteng itu sudah rampung. Dari dulu, Kalteng tidak pernah mengeluarkan izin perkebunan. Yang ada itu izin yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota. Kalaupun ada izin kebun yang lintas kabupaten/kota, itu adalah dampak dari pemekaran.

Untuk evaluasi izin, Gubernur telah telah menyurati Bupati/Walikota agar melakukan evaluasi dan pencabutan perusahaan yang tidak aktif dan tidak melakukan kegiatan di lapangan. Perusahaan yang tiga tahun berturut-turut tidak operasional dengan perpanjangan satu tahun diusulkan untuk dicabut izinnya. Ada 106 perusahaan dengan total luas 1,07 juta hektare yang diusulkan untuk dicabut.

Kalteng juga terus melakukan sinkornisasi dengan Dinas Kabupaten/Kota untuk validasi data perizinan. Saya juga telah menyurati perusahaan besar agar tertib membuat laporan triwulan.

Apa hambatannya terkait pencabutan izin perusahaan yang tidak aktif?

Itu tadi, izin yang menerbitkan Kabupaten/Kota. Kalaupun ada yang lintas kabupaten/kota itu karena pemekaran wilayah. Bukan karena Gubernur yang mengeluarkan izin. Saya cukup tahu bagaimana perizinan karena sudah 30 tahun di Dinas Perkebunan dengan 8 tahun menjadi Kepala Dinas.

Soal tumpang tindih perizinan bagaimana?

Nah masalah tumpang tindih izin, persoalannya adalah banyak kebijakan yang berbeda-beda. Di kehutanan beda, di perkebunan beda, di pertanahan berbeda.

Jadi kalau di Kalteng, yang banyak itu keterlanjuran. Itu karena kebun dibangun berdasarkan Perda 8 tahun 2003. Saat itu berdasarkan surat Dirjen Planologi Kehutanan, untuk perkebunan di  Pengembangan Produksi (KPP) dan Kawasan Permukiman dan Pengembangan Lainnya (KPPL) perkebunan boleh melakukan penanaman tanpa perlu melakukan pelepasan kawasan hutan. Tapi kemudian surat itu dicabut dan kemudian keluar Keputusan Menteri Kehutanan No 529 tahun 2012, yang membuat mereka yang sudah punya perkebunan harus mengurus izin pelepasan kawasan hutan.

Jadi ada kasus dimana pabrik CPO punya kebun seluas 37.000 hektare yang ditanam sejak tahun 2004 tapi harus ngurus izin pelepasan kawasan hutan. Saya saat jadi saksi di KPK ditanya, apakah izin perkebunan tersebut sah? Saya jawab sah.

Untuk menyelesaikan persoalan ini perlu integrasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan. Perlu ada Peraturan pemerintah untuk menyelesaikan kasus seperti ini.

Inpres 8/2018 juga memberi amanat soal peningkatan produktivitas petani. Bagaimana implementasinya di Kalteng?

Untuk peningkatan produktivitas, kita perlu sama sama berfikir dan bekerja. Jangan kebanyakan teori. Kalau untuk perusahaan, tidak perlu dipikirkan. Mereka lebih pintar. Mereka punya uang, punya sumber daya.

Kalau petani, darimana uangnya? Ini yang mesti diurus pemerintah. Saat ini produksi sawit petani paling tinggi 15 ton, dikonversi ke CPO paling hanya 3-4 ton. Kalaupun bisa ditingkatkan, produksi CPO dari kebun rakyat paling hanya 6 ton.

Sayangnya, kita ini kalau urus kebun petani kayanya kurang peduli. Dananya kecil. Saya blak-blakan saja. Petani mau harganya naik turun, dibiarkan saja. Kasihan.

Di Thailand, harga karet kalau turun dibeli pemerintah. Di sini petani jungkir balik. Waktu saya ke Thailand, belajar tentang pengelolaan karet, ditertawakan. Soalnya Thailand belajar dari malaysia, sementara Malaysia belajar dari kita.

Kalau produktivitas di lahan perusahaan, kita memang masih unggul dari Malaysia. Tapi yang di lahan petani, petani malaysia jauh lebih baik dari kita. Produktivitas kebun rakyat yang rendah ini akhirnya membuat total produktivitas kebun sawit secara nasional jadi terlihat turun.

Jadi untuk petani, mari kita pikirkan produktivitasnya. Butuh bibit unggul, pupuk dan teknologi pemeliharaan. Kita juga butuh dukungan fasilitas perbankan. Sugiharto