AfDB: Dulu Asing ‘Merampas Tanah’, Kini ‘Merampas Karbon’

Akinwuni Adesina. Foto: AFP

Negara-negara kaya makin tidak adil terhadap negara miskin dan negara berkembang. Jika dulu mereka melakukan perampasan tanah (land grab), sekarang mereka melakukan perampasan karbon (carbon grab).

Pernyataan keras ini disampaikan Presiden Bank Pembangunan Afrika (AfDB), Akinwuni Adesina. Perusahaan-perusahaan asing, katanya, hanya menilai ‘seupil’ kekayaan alam Afrika dan membayar harga yang sangat rendah untuk penyerapan karbon (carbon sequestration).

“Kami dulu mengalami perampasan tanah. Sekarang kami menghadapi perampasan karbon,” tegas Adesina kepada Financial Times (FT), mengomentari rendahnya harga yang dibayar untuk kredit karbon Afrika.

“Biaya untuk memperoleh izin di Eropa mungkin bisa mencapai 200 euro/ton,” katanya. “Atau Anda bisa mendapatkannya di Afrika hanya dengan harga 3 dolar AS. Negara-negara kehilangan hutan yang luas, tanah yang luas, karena apa yang saya sebut sebagai perampasan karbon.”

Adesina, yang akan melepas jabatannya setelah 10 tahun di AfDB pada September 2025, tidak menyebutkan nama perusahaan-perusahaan yang dimaksud. Namun, sejauh ini ada beberapa perusahaan yang memperdagangkan karbon Afrika — yang dikaitkan dengan upaya menghindari deforestasi, misalnya melalui program kompor yang bertujuan untuk mengurangi emisi dengan memungkinkan konsumen memasak tanpa menggunakan kayu bakar. Beberapa program tersebut sudah dipertanyakan atau didiskredit, sehingga harga kreditnya pun turun.

Data dari MSCI Carbon Markets menunjukkan, harga kredit yang mewakili satu ton CO2 rata-rata 4,80 dolar AS tahun lalu, turun dari 6 dolar AS dari tahun sebelumnya, dengan premi untuk proyek yang menghilangkan gas rumah kaca dari atmosfer. Beberapa pengembang Barat mengklaim dapat menyimpan CO2 secara permanen di bawah tanah — yang menghasilkan kredit yang jauh lebih mahal.

“Harga CO2 yang tersimpan di hutan-hutan Afrika hanya ditawarkan 1 dolar AS/ton.” Rudolph Merab, Kepala Otoritas Pengembangan Kehutanan Liberia

“Kami belum menerima satu sen pun dari karbon yang kami serap dari hutan,” kata Rudolph Merab, seorang mantan pengusaha kayu yang kini menjabat sebagai Kepala Otoritas Pengembangan Kehutanan Liberia. Kepada FT dia mengeluh hanya ditawari harga 1 dolar AS/ton CO2 yang disimpan di kawasan hutan negara Afrika Barat itu.

Reformasi Perhitungan

Adesina juga menyatakan, Afrika seharusnya mereformasi cara penghitungan PDB-nya dengan lebih banyak memperhitungkan kekayaan alamnya. Jika dihitung dengan tepat, katanya, hal ini dapat memungkinkan negara-negara Afrika untuk meminjam lebih banyak dengan suku bunga yang lebih wajar.

“Kami memiliki minyak, gas, mineral, logam. Kami memiliki keanekaragaman hayati, kami memiliki karbon, kami memiliki semua hal yang vital untuk pembangunan Afrika. Semua itu bernilai triliunan dolar, tetapi tidak satupun dari hal-hal ini yang dihitung dalam perhitungan PDB Afrika.”

Afrika juga perlu memanfaatkan sepenuhnya sumberdaya hidrokarbonnya, dan tidak boleh lagi “terjebak dalam ideologi” mengenai energi terbarukan, tandasnya. Menurut Adesina, keputusan apakah AfDB akan melonggarkan kriteria investasi — yang saat ini melarang pembiayaan eksplorasi minyak dan gas di hulu — tergantung pada penerusnya.

“Afrika tidak bisa duduk diam di atas sumberdaya yang besar dan (tetap) miskin,” katanya. “Buat saya, itu tidak bisa dinegosiasikan. Afrika tidak punya akses ke listrik, tetapi tidak dibolehkan menggunakan gasnya,” ujarnya, merujuk pada pembatasan finansial oleh banyak bank dan lembaga global terhadap proyek gas alam.

Adesina, yang berbicara sehari sebelum Presiden Donald Trump meluncurkan serangkaian tarif balasan, mengatakan bahwa Afrika harus beradaptasi dengan dunia yang lebih penuh gesekan perdagangan dan lebih sedikit bantuan dengan menggunakan keuangan secara lebih efisien. Dia tidak percaya Afrika sedang “diserang oleh pemerintah AS.” Hanya saja, tambahnya, Afrika harus mengadopsi strategi baru.

“Anda tidak mengontrol apa yang terjadi, tetapi Anda pasti harus mengontrol respons Anda,” katanya. “Ini seperti seorang pilot (yang) menghadapi turbulensi. Kamu tidak terbang ke dalam turbulensi, tapi kamu harus menavigasinya.”

AfDB yang berbasis di Abidjan ini memiliki akses ke modal lebih dari 300 miliar dolar AS, yang tersedia untuk disalurkan ke proyek-proyek infrastruktur, energi, pertanian, dan lainnya.

Pengurangan tajam bantuan dari AS dan Eropa seharusnya menjadi keputusan untuk bertindak, katanya. “Saya tidak bisa mengambil kemurahan hati Anda dan memasukkannya ke neraca saya. Afrika tidak akan merengek untuk membangun. Afrika harus melakukannya melalui perdagangan dan investasi.”

Mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair, melalui Institut Perubahan Global yang didirikannya untuk memberi nasihat pada 20 negara Afrika, dan baru saja bertemu Adesina di London minggu ini, mengatakan bahwa Barat harus mengalihkan bantuan yang menyusut untuk pembangunan jangka panjang.

“Ada kesempatan, jika Barat ingin… menangani isu-isu yang benar-benar menyelesaikan beberapa masalah struktural yang dimiliki ekonomi Afrika, daripada proyek-proyek paliatif besar — yang memang penting karena menyelamatkan nyawa, tetapi dalam jangka panjang tidak benar-benar mempengaruhi perubahan struktural yang diperlukan,” katanya.

Adesina sependapat dengan Blair bahwa Afrika perlu menangani tingkat utang yang tinggi. Selain itu, AfDB juga mendukung pembentukan Mekanisme Stabilitas Pembiayaan Afrika yang akan “memberikan dukungan refinancing utang kepada pemerintah Afrika yang tidak likuid dan berisiko menghadapi kesulitan utang.”

Dia juga mengungkapkan bahwa AfDB telah membuat modal yang terbatas dapat dimanfaatkan lebih jauh melalui kesepakatan dengan investor swasta untuk mengalihkan risiko beberapa pinjamannya dari neraca bank.

Afrika, katanya, harus menarik lebih banyak modal, meskipun dia juga mengatakan Afrika harus terus mengadvokasi terjadinya perubahan struktural pada sistem keuangan internasional yang terlalu mahal menilai risiko Afrika. Dia mendukung proposal untuk membentuk lembaga pemeringkat Afrika yang dapat memberikan argumen tandingan terhadap Moody’s, S&P Global Ratings, dan Fitch, yang menurutnya, “tidak memiliki metodologi yang tepat (atau) penilaian yang tepat terhadap profil risiko Afrika.”

Pemilihan untuk mengganti Adesina akan berlangsung pada pertemuan tahunan bank ini di Abidjan, Pantai Gading pada bulan Mei.  AI