Perdagangan beras di Thailand, eksportir beras nomor dua di dunia setelah India, mengalami kekacauan setelah kebijakan India melarang ekspor beras memicu aksi borong beras (panic buying). Aksi-aksi penimbunan spekulatif langsung menghabiskan pasok beras di pasar, dan hanya menyisakan sedikit yang bisa diekspor.
Harga beras Thailand di dalam negeri melonjak tajam hamper 20% selama pekan lalu menjadi 21.000 baht/ton (597 dolar AS), naik dari sekitar 17.000 baht selama beberapa pekan sebelumnya.
Kondisi ini juga memicu naiknya harga beras patokan ekspor Thailand untuk kualitas broken (butir patah) 5% menjadi 610 dolar AS/ton, yang mencerminkan kenaikan harga beras global. Kondisi ini tercatat sebagai kenaikan harga tertinggi dalam 11 tahun. Meskipun pemerintah Thailand tidak punya rencana membatasi ekspor beras, namun kalangan eksportir beras Thailand masih enggan menjual barangnya karena ketidakpastian kondisi pasok.
Thailand biasanya memproduksi sekitar 20 juta ton beras, di mana separuhnya untuk konsumsi dalam negeri. Sedangkan separuh lagi biasanya diekspor.
“Thailand tidak pernah mengalami pasok beras yang ketat (sampai sekarang), karena kami punya banyak surplus beras setiap tahunnya,” ujar Ketua kehormatan Asosiasi Eksportir Beras Thailand, Chookiat Ophaswongse kepada Nikkei Asia, Kamis (17/8). “Tapi tahun ini, pasar beras Thailand mengalami kekacauan karena eksportir tidak bisa menawarkan harga beras yang dijual karena mereka khawatir dengan fluktuasi harga serta ketidakpastian pasok,” tambahnya.
Pada 20 Juli lalu, India mengumumkan melarang ekspor beras non-Basmati. Larangan itu memicu ketakutan anjloknya harga saham dan mendorong importir beras mencari pasok beras dari eksportir beras lainnya, antara lain Thailand dan Vietnam.
Aksi penimbunan diperkirakan membuat harga beras Thailand naik sehingga membuat tidak kompetitif di pasar ekspor dan menghapus peluang emas meningkatkan ekspor lebih banyak, di saat India absen di pasar beras internasional.
Eksportir beras Thailand enggan melakukan transaksi jika tidak ada jaminan pengiriman dengan harga yang sesuai dengan komitmen sebelumnya. Pasalnya, mereka akan kontan merugi, kata seorang trader di firma dagang internasional yang berbasis di Bangkok.
Di samping kenaikan harga yang disebabkan oleh aksi borong dan penimbunan, pola cuaca kering El Nino kemungkinan membatasi panen dan menggagalkan Thailand untuk bisa mengekspor beras lebih besar tahun ini dan tahun depan. Berkat lokasinya, Thailand menerima berkah hujan monsun tahunan. Mereka juga punya jaringan irigasi yang luas, sehingga memungkinkan untuk menanam padi sepanjang tahun.
Namun, El Nino diperkirakan bakal menurunkan curah hujan selama September dan Oktober, ketika padi sedang butuh air yang banyak. Kondisi itu bakal memangkas produktivitas tanaman ketika panen dilakukan November. Terlebih lagi, minimnya curah hujan akibat El Nino kemungkinan bakal memangkas ketinggian air di waduk-waduk utama, yang menjadi sumber air irigasi dan penting untuk penanaman musim kemarau.
Berapa besaran estimasi angka produksi yang persisnya belum tersedia. Namun Kementerian Pertanian baru saja memperkirakan produksi musim tanam November-Oktober 2023-2024 akan lebih rendah dari perkiraan.
Mengingat ketatnya pasok dan aksi penimbunan, Asosiasi Eksportir Beras Thailand mempertahankan target ekspor beras di posisi 8,5 juta ton karena tidak mungkin negeri Gajah Putih ini mampu meraup cuan besar dari larangan ekspor beras India. AI