Alsintan Solusi Atasi Masalah Tenaga Kerja Pertanian

Kementan dorong massalisasi alsintan

Keberadaan alat dan mesin pertanian (Alsintan) di tengah sawah telah menghantarkan pertanian Indonesia menjadi modern, dan tentunya berhasil meningkatkan produksi serta menyejahterakan petani.

Penggunaan Alsintan telah terjadi secara masif, mulai dari alat pengolahan lahan sampai dengan tahap panen dan pasca-panen. Kegiatan usaha pertanian telah berubah dari sistem tradisional menuju pertanian yang modern (modernisasi pertanian).

Program mekanisasi pertanian Kementerian Pertanian (Kementan) tidak hanya berperan nyata dalam meningkatkan produksi pangan. “Namun di sisi lain juga terbukti menjadi solusi dalam kelangkaan tenaga kerja pertanian,” kata Mentan Amran Sulaiman.

Direktur Alat dan Mesin Pertanian, Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian,  (PSP), Kementan, Andi Nur Alamsyah mengatakan, jumlah terbanyak tenaga kerja pada sektor tanaman pangan adalah petani berusia lebih kurang 60 tahun, kemudian disusul usia antara 40- 45 tahun.

Dampak nyata adanya kelangkaan dan usia lanjut tenaga petani untuk mendukung budidaya tanaman padi adalah rendahnya kapasitas kerja tanam padi per satuan luas lahan dan mahalnya biaya tanam.

Menurut dia, masalah yang muncul pada kegiatan tanam dapat ditangani dengan menerapkan mesin tanam pindah bibit (transplanter, Red.) padi. Mesin transplanter adalah sebagai solusi peningkatan kerja kegiatan tanam padi.

“Hemat tenaga kerja, mempercepat waktu penyelesaian kerja tanam per satuan luas lahan. Dan faktor tersebut akhirnya mampu menurunkan biaya produksi budidaya padi,” katanya,  di Jakarta, Jumat (4/1/2019).

Dampak nyata penggunakan mesin tanam padi ini, sambungnya, terlihat dari hasil pengamatan di tingkat petani. Pengguna mesin transplanter menunjukkan bahwa rata-rata kinerja 1 mesin transplanter dengan 1 orang operator dan 2 asistennya dapat menggantikan antara 15 hingga 27 hari orang kerja (HOK), sedangkan kemampuan kerja tanam mencapai 1 hingga 1,2 ha/hari.

“Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian Kementan telah menghasilkan mesin transplanter yang dinamai mesin Transplanter Jarwo 2:1. Secara umum rata-rata biaya tanam padi secara manual sekitar Rp1,72 juta/ha, sedangkan dengan mesin transplanter jarwo 2:1 sekitar Rp1,1/ha,” ujar Andi Nur Alam.

Menurut dia, keuntungan lain dari cara tanam dengan mesin transplanter munculnya usaha pembibitan padi, karena mesin memerlukan bibit khusus, yaitu umur bibit harus kurang dari 18 hari dan bibit harus ditaruh pada kotak mesin (tipe dapog, Red.) sesuai ukuran mesinnya. Rata-rata kebutuhan bibit sebanyak 250 sampai 300 dapog/ha.

Petani sudah profesional

Andi Nur Alam membeberkan, petani sudah profesional atau lihai menggunakan mesin transplanter. Ini terungkap dari hasil pemberdayaan yang dilakukan Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian, Badan Litbang Kementan.

Di antaranya, Gapoktan Madiun Bersatu di Dusun Parit Madiun, Kecamatan Sei Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Petani sudah sangat menggantungkan kegiatan tanam pada mesin transplanter Jarwo 2:1.

Biaya tanam padi secara manual dengan metode tanam Jarwo sebesar Rp1,8 juta/ha dan dengan Jarwo Transplanter hanya Rp1,4 juta/ha. Produktivitas padi dengan metode tanam Jarwo meningkat rata-rata dari 3,3 ton/ha menjadi sekitar 4,7 ton/ha.

“Begitu juga di Kabupaten Subang, ongkos tanam manual sebesar Rp3,5 juta/ha dibanding untuk Jarwo Transplanter hanya Rp1,8 juta/ha. Rata-rata produktivitas padi yang menerapkan metode tanam Jarwo mencapai 7,6 ton/ha,” katanya.

Fakta lainnya, sambung Andi Nur Alam, dirasakan juga oleh Kelompok Tani Suka Maju, Dusun Kalikebo, Kecamtan Trucuk, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Dengan menggunakan mesin transplanter, biaya tanam secara manual untuk cara jarwo Rp2 juta/ha.

“Sedangkan dengan transplanter sebesar Rp1,9 juta/ha dengan rata-rata produktivitas padi dengan metode tanam Jajar Legowo mencapai 7,5 ton/ha,” sambungnya.

Dia menegaskan, rata-rata persepsi petani pengguna mesin transplanter jarwo 2:1 yakni sebagai solusi mulai munculnya kelangkaan tenaga kerja tanam, sekaligus meningkatkan efisiensi waktu dan biaya tanam — yang akhirnya akan menurunkan biaya usahatani padi.

Selain itu, dengan menggunakan mesin transplanter, usaha pembibitan secara dapog dianggap sebagai peluang bisnis bagi petani sehingga dapat membuka peluang kerja tenaga tanam yang tersisih oleh adanya mesin transplanter.

“Untuk itu, dalam meningkatkan hasil panen petani, Kementan terus meningkatkan jumlah bantuan alat mesin pertanian. Tahun ini, pemerintah memberikan sekitar 80.000 unit alat mesin pertanian untuk disebar di seluruh wilayah di Indonesia,” tegasnya.

Hal senada dikatakan Kepala Bidang KSPHP, Balai Besar Pengembangan Mekanisasi, Agung Prabowo bahwa penggunaan alat mesin pertanian secara nyata telah meningkatkan produksi pangan salah satunya padi.

Contoh nyatanya, panen perdana di area pengembangan pertanian modern di Desa Kalikebo, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, menghasilkan padi 10 ton/ha. “Ini bukti nyata penggunaan alat mesin pertanian. Produksi naik dan petani tentunya sejahtera,” katanya. PSP