Pemerintah kembali menggulirkan isu sensitif bagi-bagi tanah lewat bendera reforma agraria. Kali ini, luas yang bakal diserahkan ke petani marjinal mencapai 9 juta hektare (ha), di mana separuhnya atau 4,5 juta ha berasal dari kawasan hutan, HGU yang akan habis masa berlakunya serta lahan terlantar. Isu deforestasi dan kerusakan hutan pun mencuat.
Bagi-bagi lahan alias reforma agraria benar-benar isu seksi. Bahkan, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) punya rencana spektakuler: mendistribusikan 9 juta ha lahan untuk meningkatkan kesejahteraan petani marjinal. Jika masing-masing kepala keluarga (KK) petani ditarget dapat lahan seluas 2 ha, maka lewat reforma agraria ini bakal ada 4,5 juta KK petani yang kebagian lahan gratis.
Luar biasa, memang. Rencana itu tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang disiapkan Bappenas sebagai perwujudan Nawa Cita pemerintah Jokowi. Yang jadi soal, bagi-bagi lahan sampai jutaan hektare ini bukan perkara mudah. Bahkan, pemerintahan SBY untuk mewujudkan food estate di Merauke seluas 500.000 ha saja keok, bahkan setelah digeser ke Kalimantan sekalipun.
Kini, dengan tema besar peningkatan kesejahteraan rakyat marjinal, setidaknya 4,1 juta ha hutan bakal dilepas dan jadi tanah objek reforma agraria. Persoalannya, di mana saja lahan hutan yang akan dikonversi itu? Belum jelas, memang. Itu sebabnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya pun terkesan menghindar saat ditanya. “Jangan yang itu dulu deh. Jangan yang panas,” kata Siti kepada Agro Indonesia, Senin (2/3/2015).
Yang menarik pernyataan Direktur Pengukuhan, Penatagunaan, dan Tenurial Kawasan Hutan Kementerian LHK, M. Said. Petani yang haus lahan ada di Jawa. Sayangnya, hutan yang dilepas berstatus hutan produksi konversi (HPK) dan itu tak ada di Jawa.
Ini yang membuat kecut pengusaha hutan. Apalagi jika dikaitkan dengan terbitnya Peraturan Bersama Mendagri, Menhut, Menteri PU dan Kepala BPN No.79 tahun 2014, No.PB.3/Menhut-II/2014, No.17.PRT/M/2014, No.8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada Dalam Kawasan Hutan. “Kami memang khawatir klaim tanah di hutan akan meningkat,” kata Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Irsyal Yasman di Jakarta, Jumat (6/3/2015).
Tapi di mata Koordiantor Institut Hijau Indonesia, Chalid Muhammad, yang paling mengkhawatirkan adalah potensi deforestasi besar-besaran. Selain itu, dia juga khawatir ‘penumpang gelap’ reforma agraria. “Jangan sampai petani yang mendapat lahan diboncengi oleh cukong perkebunan,” katanya. AI