Bukan hanya di hulu, perubahan paradigma pemanfaatan hutan produksi juga sangat kentara di hilir. Pasca tiga tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, usaha kehutanan skala rakyat, khususnya untuk pemanfaatan hasil hutan kayu, makin memiliki daya saing dengan berbekal Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).
Sempat mendapat label sebagai “sunset industry”, nyatanya industri pengolahan kayu kini mulai tumbuh. Pelayanan dan kemudahan perizinan yang diberikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) cq. Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (Ditjen PHPL) ternyata sanggup merangsang perluasan industri yang ada. Industri baru juga bermunculan.
“Sampai saat ini sudah terdapat tambahan 101 unit izin perluasan industri pengolahan kayu dan 49 industri kayu baru,” kata Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), IB Putera Parthama.
Jika dihitung-hitung, nilai investasi industri pengolahan kayu yang ditanamkan dalam tiga tahun terkahir mencapai Rp6,385 triliun. Industri yang tumbuh didominasi kayu lapis, kayu gergajian dan barecore. Yang menarik, bahan baku kayu yang menjadi penyuplai industri tersebut bukanlah kayu yang bertasal dari hutan alam. Melainkan, kayu-kayu yang berasal dari hutan rakyat!
Kayu dari hutan alam memang sudah lama tak lagi menjadi andalan untuk memasok industri pengolahan kayu di tanah air. Data terbaru tahun ini menunjukan, industri tanah air hanya memanfaatkan 5,1 juta m3 kayu dari hutan alam. Sumber pasokan bahan baku kayu terbesar datang dari kayu tanaman, termasuk yang berasal dari hutan rakyat. Jumlahnya mencapai 32,5 juta m3. Selain kayu tanaman, sumber bahan baku lainnya adalah kayu eks tanaman perkebunan yang mencapai 921.475 m3, sementara limbah kayu yang dimanfaatkan berkontribusi sebanyak 229.543 m3.
Tumbuhnya industri tentu tak lepas dari terus meningkatnya daya saing produk olahan kayu Indonesia di pasar ekspor. Implementasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) terbukti meningkatkan kepercayaan dunia internasional bahwa produk kayu yang diekspor dari Indonesia hanya diproduksi dari sumber kayu legal dan lestari.
Apalagi, pada April 2016 lalu, SVLK akhirnya disetarakan sebagai lisensi FLEGT, sebuah perjanjian antara Indonesia-Uni Eropa (UE) untuk penegakan hukum, perbaikan tata kelola, dan perdagangan untuk sektor kehutanan. Penyetaran itu dibingkai kesepakatan kemitraan sukarela Indonesia-UE yang diteken Presiden Joko Widodo dengan Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker
Dengan penyetaraan itu, maka produk kayu Indonesia yang memiliki sertifikast SVLK mendapat jalur hijau untuk menembus pasar Eropa. Produk kayu Indonesia bebas dari proses uji tuntas (due dilligence) yang kini diberlakukan oleh otoritas UE untuk produk kayu yang masuk ke wilayah itu berdasarkan regulasi kayu impor UE. Ekspor perdana produk kayu yang dilengkapi lisensi FLEGT pun dilakukan November 2016.
Berbekal SVLK, nilai ekspor produk kayu Indonesia terus meningkat. Dalam periode 2015-2017 (sampai Oktober), nilai ekspor produk kayu telah mencapai 28,48 miliar dolar AS atau sudah 70,38% dari target yang ditetapkan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019 yang sebesar 40,37 miliar dolar AS.
Terus meningkat
Penyetaraan SVLK sebagai lisensi FLEGT pun memberi dampak cukup positif. Ekspor ke pasar Eropa terus membaik. Jika total ekspor produk kayu pada tahun 2015 dan 2016 masing-masing sebesar 872,2 juta dolar AS dan 868,8 juta dolar AS, tahun ini pasca penyetaraan SVLK sebagai lisensi FLEGT nilai ekspor produk kayu ke pasar Eropa sudah tembus 1,08 miliar dolar AS, sampai Oktober 2017.
Dampak positif SVLK dirasakan oleh semua jenis industri pengolahan kayu, termasuk furnitur dan kerajinan yang didominasi rakyat. Ini bisa terlihat dari kinerja ekspor produk tersebut yang ikut meningkat. Tahun 2015 dan 2016, nilai ekspor produk furnitur ke Eropa masing-masing tercatat 262,9 juta dolar AS dan 203,8 juta dolar AS. Kini di tahun 2017, sampai Oktober, nilai ekspor produk furnitur ke Eropa tercatat 461,9 juta dolar AS.
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Rufi’ie menyatakan, saat ini adalah momentum yang tepat untuk terus mendorong kinerja ekspor produk funitur dan produk kayu lainnya di pasar ekspor. Dunia internasional kini makin percaya bahwa produk kayu asal Indonesia dihasilkan secara legal dan lestari.
Dia mengajak semua pihak untuk bahu-membahu agar seluruh pelaku usaha perkayuan di tanah air, khususnya usaha kecil dan menengah, bisa memenuhi indikator yang ditetapkan pada SVLK. “Seluruh pemangku kepentingan, termasuk juga pemerintah daerah, harus mendukung agar usaha kecil dan menengah untuk lulus dalam sertifikasi SVLK,” katanya
Rufi’ie juga mengingatkan agar pelaku usaha perkayuan yang mendapat sertifikat legalitas kayu untuk konsisten mengikuti ketentuan dalam SVLK. Ini untuk menjaga kepercayaan global yang sudah diraih. AI
Deregulasi Aturan Demi Usaha Skala Rakyat
Untuk memastikan implementasi SVLK berdampak pada pelaku usaha kehutanan skala rakyat, Ditjen PHPL Kementerian LHK memberikan fasilitasi sertifikasi. Selain itu, juga dilakukan deregulasi agar usaha kehutanan skala rakyat tetap bisa memenuhi persyaratan tanpa mengurangi akuntabilitas SVLK.
Sampai saat ini jumlah industri yang telah memiliki sertifikat SVLK mencapai 3.007 unit, termasuk industri skala rakyat. Sementara luas hutan rakyat yang telah disertifikasi mencapai 716.784 hektare (ha).
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Rufi’ie mengungkapkan, usaha kehutanan berskala kecil dan menengah semakin antusias dengan SVLK. Ini dikarenakan sistem ini terbukti mampu mendukung peningkatan kapasitas kelembagaan dan menaikan daya saing produk yang dihasilkan.
Menurut Rufi’ie, pihaknya menerima banyak permohonan dari kelompok-kelompok usaha kehutanan skala kecil dan menengah untuk mendapat dukungan dalam proses sertifikasi SVLK. “Ini menunjukan bahwa masyarakat sangat antusias,” kata dia.
Menurut Rufi’ie, selain Kementerian LHK, kementerian dan lembaga lain juga menyediakan anggaran untuk membiayai sertifikasi usaha skala rakyat. “Beberapa lembaga sertifikasi juga menyediakan sertifikasi gratis sebagai bagian dari program CSR-nya,” kata Rufi’ie.
“Untuk tahun 2018, fasilitasi bagi usaha skala rakyat direncanakan untuk 19 provinsi mencakup 150 kelompok usaha atau sekitar 750 unit usaha,” katanya.
Usaha skala rakyat memang diprioritaskan untuk mendapat manfaat dari SVLK. Untuk itu, kata Sekretaris Ditjen PHPL Kementerian LHK Sakti Hadengganan, deregulasi terhadap ketentuan yang dinilai menghambat usaha skala rakyat memperoleh sertifikat SVLK pun dilakukan.
Soal masa berlaku sertifikasi misalnya, kini telah diatur bahwa masa berlaku sertifikasi bagi usaha skala rakyat mencapai 6 tahun dengan penilikan setiap dua tahun sekali. Masa sertifikasi yang lama tentu saja akan mengurangi biaya yang dibutuhkan untuk proses sertifikasi.
Selain itu, sejumlah perizinan yang menjadi prasyarat sertifikasi SVLK kini telah dihapus atau disederhanakan pemerintah. Sebut saja ETPIK, Izin Gangguan (HO), SIUP dan TDP. Ini membuat usaha skala rakyat semakin mudah untuk menjalani proses audit sertifikasi SVLK.
Sakti menambahkan, kemudahan dalam proses SVLK bagi usaha skala rakyat lainnya adalah dalam pemanfaatan kayu dari hutan rakyat yang cukup menggunakan deklarasi kesesuaian pemasok. AI