Pengelolaan Hutan Menjadi Multibisnis Berbasis Rakyat

Hutan Mangrove di KPH Banawa Lalundu, Sulawesi Tengah

Di masa lalu, pemanfaatan hutan produksi identik dengan korporasi. Maklum, investasi skala besar dibutuhkan pemerintah untuk pemanfaatan hutan di masa itu. Maka ratusan ribu bahkan jutaan hektare (ha) hutan pun diserahkan pengelolaannya kepada korporasi.

Namun, kini paradigma pemanfaatan hutan produksi telah berubah. Ini terlihat dari 3 tahun capaian kinerja kebijakan pengelolaan hutan produksi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Pemerintah menggelar karpet merah bagi rakyat di dalam dan sekitar hutan untuk memanfaatkan hutan produksi demi peningkatan kesejahteraan. Ini bukan berarti pemanfaatan hutan oleh koporasi lantas ditinggal. Korporasi justru diharapkan berperan sebagai mitra sejajar dan menjadi lokomotif penarik usaha perhutanan sosial yang dikembangkan rakyat.

Dengan kebijakan tersebut, konfigurasi bisnis kehutanan pun dipastikan berubah dengan tetap mendukung komitmen penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% pada tahun 2030. Komitmen penurunan emisi GRK itu seperti tertuang dalam dokumen kontribusi nasional yang diniatkan (NDC)  — yang menjadi bagian dari kesepakatan global untuk pengendalian perubahan iklim, Persetujuan Paris.

Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, IB Putera Parthama menjelaskan, untuk memperluas akses pemanfaatan hutan produksi bagi rakyat, maka operasionalisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi sebuah keniscayaan. “Keberadaan KPH sangat penting dan krusial,” katanya, beberapa waktu lalu.

Sebagai unit pengelola hutan di tingkat tapak, KPH bisa memetakan detil potensi hutan secara seimbang antara sosial, ekonomi, dan keseimbangan ekosistem. Ada tiga tipe KPH berdasarkan tiga fungsi kawasan hutannya, yakni KPH Produksi, KPH Lindung, dan KPH Konservasi. KPH merupakan organisasi kerja di bawah pemerintah daerah. Sayangnya, di masa lalu, pembangunan KPH sedikit tertinggal.

Untuk itu, pembangunan dan operasionalisasi KPH kini digencarkan, termasuk KPH Produksi yang berada di bawah pembinaan Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (Ditjen PHPL) Kementerian LHK. Putera menyatakan, keberadaan KPH Produksi di tingkat tapak menjadi ujung tombak untuk menggeser paradigma pengelolaan hutan dari timber management menjadi multibisnis berbasis masyarakat.

Dalam tiga tahun terakhir, jumlah KPH Produksi yang telah memperoleh pengesahan Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RPHKP) bertambah sangat progresif. Sampai 2014, baru ada 46 RPHJP KPH Produksi yang disahkan. Tiga tahun kemudian, sampai tahun 2017, jumlah dokumen RPHJP KPH produksi yang telah disahkan sudah mencapai 86 dokumen.

Untuk diketahui, RPHJP adalah dokumen yang disusun KPH yang memuat aspek pengelolaan hutan berdasarkan tata hutan dan rencana kehutanan dengan memperhatikan aspirasi, peran serta dan budaya masyarakat serta kondisi lingkungan. Sebuah KPH yang yang telah memperoleh pengesahan RPHJP berarti sudah benar-benar beroperasi di lapangan, termasuk soal pemberdayaan masyarakat.

Berdasarkan penataan ruang pemanfaatan yang sudah dilakukan di KPH Produksi, tersedia ruang yang sangat luas bagi masyarakat untuk melakukan berbagai usaha perhutanan sosial. Pada blok, pemanfaatan kawasan, hasil hutan bukan kayu (HHBK), dan jasa lingkungan di hutan produksi, dan pada blok pemanfaatan di hutan lindung, tersedia ruang seluas 1,9 juta ha untuk pemanfaatan HHBK dan usaha jasa lingkungan seperti ekowisata dan tata air.

Sedangkan pada blok pemberdayaan masyarakat di hutan produksi, tersedia ruang seluas 1,03 juta ha yang bisa dimanfaatkan untuk pengembangan usaha perhutanan sosial melalui berbagai skema seperti hutan tanaman rakyat (HTR), Hutan Desa (HD), dan Hutan Kemasyarakatan (HKm).

Pengarusutamaan 

Untuk mendukung operasionalisasi KPH, Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (Ditjen PHPL) Kementerian LHK bahkan melakukan pengarusutamaan (mainstreaming) KPH dalam pengalokasian anggaran. Sekretaris Ditjen  PHPL Sakti Hadengganan menjelaskan, kebijakan anggaran Ditjen PHPL tiga tahun terakhir memang ditujukan untuk meningkatkan kualitas pengelolaan hutan di tingkat tapak melalui KPH Produksi. “Ini sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat berbasis desa di sekitar KPH Produksi,” tandas Sakti.

Sebagai gambaran, sekitar 46% atau sebesar Rp232,73 miliar anggaran Ditjen PHPL di tahun 2015 diarahkan untuk mendukung operasionalisasi KPH Produksi. Misalnya penyusunan rencana, sarana dan prasarana, peningkatan kapasitas dan fasilitas. Selain itu juga untuk perlindungan dan penanaman di areal KPH.

Tahun 2016, sebanyak 42,69% (Rp140,95 miliar) anggaran Ditjen PHPL diarahkan untuk mendukung operasional KPH Produksi dan pengembangan usaha produktif masyarakat yang ada di KPH Produksi. Tahun ini, anggaran Ditjen PHPL yang diarahkan untuk mendukung kegiatan di KPH Produksi mencapai 59,19% atau Rp265,54 miliar.

Anggaran yang dialokasikan tersebut selain dimanfaatkan untuk mendukung operasional KPH Produksi, juga untuk peningkatan SDM di KPH atau masyarakat. Anggaran yang dialokasikan itu juga untuk mendukung berbagai usaha produktif masyarakat. AI

Mengembalikan Kejayaan Industri Kehutanan

Pengelolaan hutan produksi oleh korporasi pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) harus selaras dengan agenda perhutanan sosial yang didorong pemerintah. Dengan demikian, hutan produksi akan mengembalikan potensi kekayaan sektor kehutanan Indonesia, sekaligus mendongkrak kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menjelaskan, industri kehutanan dari hulu hingga hilir memiliki peran penting bagi Indonesia. Karena itu, pemerintah memberikan dukungan agar sektor ini bisa kembali berjaya seperti di masa lalu, yakni mampu menjadi penyumbang devisa nomor dua setelah migas.

“Namun, pemanfaatan hutan produksi jangan sampai mengabaikan persoalan lingkungan,” kata Menteri Nurbaya pada sebuah kesempatan.

Untuk itu, langkah-langkah peningkatan pemanfaatan hutan produksi harus diharmonisasikan dengan pembangunan kehutanan dan lingkungan hidup, termasuk perhutanan sosial.

Industri kehutanan harus saling mendukung dengan pertumbuhan hutan rakyat. Dampaknya, selain hutan rakyat yang semakin luas, industri kehutanan pun bisa terus meningkatkan kapasitas produksinya.

Untuk itu, Kementerian LHK mendorong pengelompokan antara kelompok atau koperasi hutan tanaman rakyat (HTR) dengan industri. Industri juga berperan sebagai off-taker dari produksi masyarakat. “Jadi, didekatkan antara kelompok koperasi dengan industri,” kata Menteri Nurbaya. AI