Antivirus Corona, Ekaliptus vs Kayu Putih Mana yang Lebih Unggul?

Produk ekaliptus inovasi Balitbangtan

Produk antivirus corona berbahan dasar minyak tanaman ekaliptus (eucalyptus sp) viral beberapa waktu belakangan. Sejatinya ada produk lain yang juga memiliki potensi setara namun memiliki keunggulan karena tanaman bahan baku merupakan endemik Indonesia. Produk itu adalah minyak kayu putih.

Antivirus berbahan dasar minyak ekaliptus viral setelah diperkenalkan Kementerian Pertanian dalam beragam bentuk produk inovasi. Mulai dari roll on, inhaler, hingga yang memicu pro kontra: kalung ekaliptus.

Kepala Balai Besar Penelitian Veteriner Badan Litbang Pertanian Dr Indi Dharmayanti, menjelaskan bagaimana pihaknya mulai melakukan penelitian antivirus corona berbahan dasar minyak ekaliptus.

Menurut dia minyak esensial dari berbagai sumber tanaman, yang biasa disebut minyak atsiri,  dari berbagai publikasi ilmiah terbukti memiliki kemampuan antimikroba, antioksidan, dan anti virus. Minyak atsiri juga memiliki kemampuan sebagai virucidal (mematikan virus) dan mampu menghambat replikasi virus.

Indi melanjutkan, Di tengah pandemi COVID-19 saat ini, beberapa bahan herbal yang dikenal memiliki aktivitas sebagai antivirus dipertimbangkan sebagai salah satu pilihan dalam pencegahan dan pengobatan COVID-19.

“Diantara bahan herbal itu adalah ekaliptus yang memiliki beberapa bahan aktif diantaranya 1,8 cineole,” katanya dalam diskusi virtual Pojok Iklim, Rabu (17/6/2020).

Ekaliptus termasuk ke dalam family Myrtaceae yang terdiri dari sekitar 900 spesies dan subspesies. Diantaranya adalah Eucalyptus globulus, Eucalyptus radiata, dan Eucalyptus citriodira. Dalam minyak esensial ekaliptus yang disebut eucalyptol, ditemukan 1,8 cineole dalam konsentrasi tinggi.

Indi kemudian mengungkap laporan penelitian yang dilakukan oleh Sharma dan Kaur berjudul “Eucalyptol (1,8-cineole) from Eucalyptus Essential Oil a Potensial Inhibitor of Covid-19 Corona Virus Infection by Molecular Docking Studies” yang dipublikasikan sebuah jurnal internasional. “Ternyata 1,8 cineole dapat binding dengan main protesease (MPro) COVID-19,” katanya.

Lebih lanjut Indi menjelaskan, MPro sangat conserved diantara semua jenis virus corona. “Sehingga, pengembangan agen antivirus tunggal yang menargetkan MPro atau dalam kombinasi dengan terapi potensial lainnya efektif terhadap semua penyakit yang disebabkan oleh virus corona,” jelas dia.

Berdasarkan studi-studi tersebut, Balitbangtan kemudian mengembangkan formula berbasis ekaliptus. Balitbangkan punya lebih dari 5 varian formula tersebut. Selanjutnya dilakukan uji netralisasi virus dengan virus avian influenza (flu burung) H5N1 dan virus corona model.

Metode yang digunakan adalah in vitro (dalam kaca) menggunakan telur ayam berembrio SPF dan sel vero. “Hasil penelitian kami menunjukan formula ekaliptus Balitbangtan 1-5 mampu menghambat 100% pertumbuhan dari virus avian influenza H5NI dan virus Gamma corona,” kata Indi.

Indi menegaskan dari studi molekuler yang telah dilakukan dan riset yang dilakukan oleh Balitbangtan, memberi informasi yang menjanjikan terkait penggunaan minyak ekaliptus yang mengandung 1,8 cineole pada terapi virus corona dan influenza. Meski demikian, Indi menyatakan penelitian lebih mendalam terkait aktivitas antivirus  minyak atsiri ekaliptus secara in vivo (menggunakan organisme hidup) dibutuhkan.

Dari hasil riset tersebut, Balitbangtan kemudian mengembangkan berbagai produk inovasi seperti roll on, inhaler dan yang menjadi perbincangan kalung antivirus.

Petani memetik daun kayu putih dari tanaman yang dikembangkan oleh BBPPBPTH (Biotifor).

Kayu putih

Dalam forum diskusi yang sama, Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Benih Tanaman Hutan (Biotifor) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dr Nur Sumedi mengungkapkan kandungan senyawa 1,8 cineole yang ada pada minyak atsiri ekaliptus sesungguhnya juga terkandung pada minyak atsiri yang berasal dari tanaman kayu putih.

“1,8 cineole juga banyak ditemukan di tanaman kayu putih, yang merupakan tanaman asli Indonesia. Ini penting karena kita mencari tanaman menjanjikan yang asli biodiversitas kita sendiri,” katanya.

Ya, ekaliptus dan kayu putih sejatinya adalah tanaman yang berbeda. Dalam taksonomi, ekaliptus dan kayu putih memang berada dalam family yang sama yaitu Myrtaceae meski demikian spesies keduanya berbeda. Kayu putih punya nama latin Melaleuca cajuput.

Yang juga perlu diketahui, tidak semua tanaman ekaliptus punya kadar 1,8 cineole yang tinggi. Ekaliptus penghasil 1,8 cineole tinggi adalah Eucalyptus globulus yang merupakan tumbuhan asli Australia yang sayangnya karena perbedaan iklim tak cocok tumbuh di Indonesia.

Di Indonesia ekaliptus yang banyak ditanam adalah Eucalyptus pelita. Tanaman ini dibudidayakan di Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk keperluan bahan baku industri bubur kayu (pulp) dan kertas. Tapi, kadar 1,8 cineole pada Eucalyptus pelita tidaklah tinggi.

Menurut Nur Sumedi, senyawa 1,8 cineole memang memiliki banyak manfaat pada kesehatan. Diantaranya sebagai pengobatan pendamping pada penyakit-penyakit inflamasi saluran pernafasan seperti asma. Senyawa itu juga dilaporkan dapat mencegah infeksi virus influenza yang dapat menyebabkan pneumonia. Hasil penelitian juga menunjukan penyertaan 1,8 cineole dalam vaksin influenza memberikan perlindungan silang terhadap infeksi virus.

Soal kemampuan 1,8 cineole terkait COVID-19, penelitian yang telah dilakukan menguatkan potensi minyak atsiri yang mengandung 1,8 cineole sebagai pencegah virus COVID-19. Meski demikian, katanya masih perlu dilanjutkan dengan pembuktian empiris. “Terutama untuk uji in vivo maupun uji klinis lainnya,” kata Nur Sumedi.

Dia mengungkapkan, penelitian terhadap manfaat 1,8 cineole yang telah ada dilakukan pada virus Beta corona dan Gamma corona. Senyawa tersebut menjadi penyerta bersama senyawa lain. “Pada akhirnya agar lebih obyektif maka penyertaan 1,8 cineole adalah sebagai penyokong anti COVID-19. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan,” katanya.

Swasembada

Bisa menjadi penyokong anti COVID-19 semakin memperkuat potensi tanaman kayu putih. Pengembangan tanaman tersebut perlu dilakukan mengingat saat ini ada kesenjangan antara pasokan yang berasal dari produksi di tanah air dengan kebutuhan pasar.

Menurut Nur Sumedi, pasokan minyak kayu putih produk dalam negeri saat ini baru sekitar 650 ton per tahun. Sementara kebutuhan pasar mencapai 3.500 ton. Pemenuhan kebutuhan itu dipenuhi dari substitusi berupa minyak ekaliptus impor. Nilai impor minyak ekaliptus pun sangat besar, mencapai Rp1 triliun per tahun.

“Perlu dilakukan swasembada minyak kayu putih untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor minyak ekaliptus sebagai minyak ekaliptus,” katanya.

Untuk mencapai swasembada minyak kayu putih, Biotifor KLHK telah melakukan penelitian pemuliaan kayu putih. Tujuannya adalah meningkatkan rendemen dan kadar 1,8 cineole pada  tanaman kayu putih. Pemuliaan dilakukan dengan melalui seleksi populasi dan individu dengan cara uji keturunan.

Dari pemuliaan yang dilakukan telah dihasilkan benih unggul F1 (keturunan pertama) yang memiliki memiliki rendemen sebanyak 1,2%. Selanjutnya juga telah dihasilkan benih unggul F2 yang memiliki rendemen 2%. Saat ini sedang dilakukan uji terhadap 20 klon unggul dengan potensi rendemen 2%-3%.

Menurut Nur Sumedi, untuk mendorong swasembada minyak kayu putih, pihaknya bekerja sama dengan kelompok tani dan pihak swasta. “Benih unggul yang telah dihasilkan bisa dimanfaatkan untuk membangun kebun kayu putih,” katanya.

Secara ekonomi, budidaya tanaman kayu putih sesungguhnya menjanjikan baik dalam skala petani maupun perusahaan. Pemeliharaan awal dilakukan selama 2 tahun. Setelah itu daun tanaman kayu putih sudah bisa dipanen selama 35 tahun. “Petani yang sudah membudidayakan tanaman kayu putih seperti di Biak Numfor, kehidupannya sudah meningkat. Dari lahan seluas 5 hektare, bisa untuk menghidupi 5-10 anggota kelompok tani,” katanya. Sugiharto