Teka-teki Long COVID-19 dan Sakitnya Jutaan Orang

virus corona

COVID-19 memang sudah mereda dan menjadi endemi. Namun, buat ilmuwan dunia, penyakit yang telah merenggut nyawa jutaan orang di seluruh dunia ini masih menyisakan misteri panjang. Pasalnya, jutaan orang yang selamat dari infeksi COVID banyak yang mengalami penyakit susulan dan akan membebani sistem kesehatan.

Dua bulan setelah terinfeksi COVID-19 pada Agustus 2021, Heather Marti (52) mulai mengalami beragam gejala penyakit yang mengubah hidupnya. Administrator program sebuah universitas di Virginia Barat ini mengalami sejumlah penyakit, mulai dari nyeri otot yang menyiksa, masalah pencernaan, sakit kepala seperti migren selama berminggu-minggu, kabut otak dan “kelelahan mental ekstrem seperti yang dialami pasien dengan cidera otak traumatis.”

“Seluruh kabel di tubuh saya berantakan. Jika Anda membuka keran air, malah pintu yang terbuka. Tidak ada sistem di tubuh saya yang tidak terpengaruh,” ujar perempuan ini mencoba menjelaskan kerusakan yang dialaminya.

Untuk mencari jawabannya, Marti tidak sendirian. Empat tahun pasca pandemi COVID-19, upaya ilmuwan untuk mengungkap penyebab “long COVID” dan mengembangkan obat untuk mengatasi kondisi tersebut terus berlanjut.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bulan Februari ini memperkirakan sekitar 6% dari mereka yang pernah tertular COVID akan mengalami efek penyakit COVID berkepanjangan (long COVID), yang didefinisikan sebagai kelanjutan atau perkembangan gejala 3 bulan setelah infeksi awal virus SARS-CoV-2, di mana gejala-gejala itu berlangsung paling tidak sekitar 2 bulanan. WHO memperkirakan, di Eropa saja setidaknya ada 17 juta orang masuk dalam kategori “penderita jangka panjang” dalam dua tahun pertama pandemi itu berlangsung.

“Kami memang tidak memperkirakan adanya penyembuhan yang sederhana, sebuah solusi jitu, karena kami paham dari penyakit kompleks lainnya hal itu jarang terjadi,” papar Melissa Heightman seraya menyebut beberapa faktor di balik kondisi itu seperti dikutip The Financial Times. Dia salah satu orang pertama yang membuka klinik COVID berkepanjangan (long COVID) di RS University College London di Inggris.

Salah satu kejutan besar yang dialami ilmuwan yang mencoba mengungkap penyebab masalah ini adalah banyak orang yang menderita long COVID ternyata tidak mengalami sakit parah saat awal terinfeksi COVID-19.

Walter Koroshetz, yang ikut memimpin program penelitian nasional di National Institutes of Health (NIH) AS untuk mengungkap “mekanisme biologis” di balik COVID berkepanjangan itu dan mengembangkan potensi obatnya. Dia mengatakan, rumah-rumah sakit telah mendirikan klinik untuk mendukung mereka yang akhirnya harus dirawat intensif. Dia yakin hanya pasien COVID yang paling parah yang perlu diperhatikan terus-menerus.

Namun, faktanya tidak demikian. “Orang-orang mulai berdatangan… di mana tak pernah dirawat di ICU” — tanda awal dari risiko efek samping COVID berkepanjangan bahkan dalam kasus infeksi COVID ringan dan sedang.

Meskipun jumlah penderitanya yang tinggi tidak diperkirakan, namun kumpulan gejala membingungkan yang muncul setelah terinfeksi virus sudah sangat familiar di kalangan ahli penyakit menular.

Koroshetz mengatakan, Inisiatif Pemulihan NIH — di mana Marti jadi salah satu dari 30.000 peserta — juga berharap dapat memberikan jawaban bagi mereka yang menderita myalgic encephalomyelitis, yakni pasca terinfeksi virus lainnya yang biasa dikenal sebagai sindroma kelelahan kronis.

Virus tak benar-benar hilang

Para peneliti percaya bahwa orang yang mengidap long COVID, paling tidak yang mengalami infeksi parah, kemungkinan tidak pernah berhasil menghilangkan virus corona itu secara penuh dari tubuhnya, sehingga virus tersebut dapat terus bereplikasi atau tetap ada di dalam tubuh meski hasil tes mengatakan negatif. Hal ini dapat menyebabkan “aktivasi sistem kekebalan yang terus-menerus dan menyebabkan semua gejala kronis ini,” papar Koroshetz.

Sebuah studi NIH, yang didasarkan pada hasil otopsi, menemukan bukti bahwa banyak orang yang kehilangan nyawa hingga 280 hari setelah terinfeksi dengan penyakit parah, meninggal dengan jejak aktif virus COVID.

Pemberian obat antivirus yang lebih lama bisa membantu menghapus sisa-sisa virus yang ada. Beberapa pasien dalam uji coba Pemulihan kini mengkonsumsi  Paxlovid hingga 28 hari — jauh melampaui jangka waktu 5 hari pemberian obat yang biasanya untuk pasien berisiko tinggi ketika mereka tertular COVID-19.

Pendekatan kedua didasarkan pada teori bahwa long COVID pada dasarnya merupakan kelainan autoimun. Hal ini menunjukkan sistem kekebalan tubuh penderita “meningkat” ke titik di mana mereka beralih dari metode perlindungan ke mode serangan, sehingga melemahkan sel-sel yang sehat. Para peneliti Inisiatif Pemulihan akan menguji pengobatan autoimun gamma globulin intravena (IVIG), yang menurut Koroshetz “mengatur ulang sistem kekebalan tubuh dan merupakan semacam penekan kekebalan.”

Janet Diaz, pimpinan perawatan kritis di WHO, mencatat bahwa bersamaan dengan pendekatan ini, obat-obatan seperti Metformin untuk penderita diabetes, serta suplemen makanan sedang diuji pada pasien penderita long COVID untuk melihat apakah obat-obatan tersebut meringankan gejala.

Penelitian yang dipimpin Prof. Onur Boyman dari Zurich University dan dipublikasikan bulan lalu di jurnal Science menyebutkan, perubahan protein darah ditemukan pada orang-orang yang menderita long COVID, yang memberikan peluang baru untuk penelitian lainnya.

Heightman dan rekan-rekannya di UCLH berfokus membantu pasien mengatasi gejala seperti gangguan pernapasan, dan teknik untuk mengatasi kelelahan serta dampak psikologis dari kondisi tersebut.

Kelelahan ekstrem yang menjadi ciri khas long COVID dalam jangka panjang tampaknya menjadi salah satu indikator terpenting seberapa cepat seorang pasien akan pulih, demikian temuan para ahli. “Ketika mereka mengalami kelelahan yang parah, pemulihan bisa sangat lambat,” kata Heightman.

Meski penyakit long COVID klasik dikaitkan dengan konstelasi gejala tertentu, yang misterinya masih coba dipahami para ilmuwan, namun beberapa peneliti berfokus pada hubungan yang jelas antara infeksi dan peningkatan kondisi yang sudah lazim, seperti penyakit jantung, stroke, dan diabetes.

Jantung, stroke dan diabetes

Ziyad Al-Aly, kepala Litbang di Veterans Affairs (VA) St Louis Health Care System dan ahli epidemiologi klinis di Washington University di St Louis menemukan, pasien dalam database ekstensif VA yang telah pulih dari COVID secara signifikan lebih mungkin menderita serangan jantung dan stroke, atau mengalami diabetes ketimbang yang tidak pernah tertular COVID.

Gambaran serupa juga terlihat pada data dari sejumlah negara, termasuk Jerman dan Inggris. “Bukti global yang digabungkan menunjukkan bahwa infeksi SARS-CoV-2 menyebabkan peningkatan risiko penyakit kronis,” tambahnya.

Namun, Al-Aly dan rekannya sedang memeriksa apakah orang yang terinfeksi varian Omicron, varian yang dominan sejak akhir tahun 2021, memiliki kemungkinan lebih kecil untuk menghadapi risiko kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tertular varian lain sebelumnya — baik karena mutasi, perlindungan yang ditawarkan oleh vaksinasi yang meluas, atau faktor yang tidak diketahui. Mereka berencana untuk mempublikasikan kesimpulan itu akhir tahun ini.

Heightman mengatakan, virus “tipe liar” yang awal “tampaknya yang paling buruk”, sementara vaksinasi tampaknya tidak hanya mengurangi kemungkinan long COVID pada mereka yang mengalami infeksi terobosan, tetapi juga “kita memiliki sinyal yang yang makin tinggi bahwa hal itu dapat mengurangi keparahan (kondisi) penyakitnya juga”.

Meskipun para peneliti berharap hal ini dapat meringankan beban jangka panjang akibat COVID, namun Al-Aly khawatir dampak jangka panjang dari COVID terhadap kesehatan akan menyebabkan kejadian beberapa penyakit, seperti stroke, kini meningkat secara permanen.

Dia mengingatkan, masih sedikit tanda-tanda pemerintah memahami sepenuhnya dampak buruk masalah ini terhadap sistem laynan kesehatan.

“Kita nyaris menerima fakta bahwa itu akan kejadian,” katanya, seraya menambahkan “tidak banyak kekhawatiran mengenai tingkat pengeluaran [yang diperlukan] untuk sumberdaya layanan kesehatan. Orang-orang berada pada tahap di mana mereka ingin benar-benar move-on.” AI