Afrika Selatan menjadi contoh, termasuk buat Indonesia, bagaimana kerumitan dan masalah utang luar negeri saat mengubah ketergantungan pada batubara untuk pembangkit listrik dengan energi baru dan terbarukan (EBT) yang ramah lingkungan, seperti yang dimuat di harian Financial Times.
Dumisani Mahlangu duduk dalam kabin ekskavator, menggerakkan sekop alat berat yang berbobot 40 ton itu untuk mengeduk batubara di tambang terbuka di luar Johannesburg. “Batubara telah menjadikan saya seperti sekarang ini,” ujar pria yang mengaku dibayar bagus untuk pekerjaannya di negara di mana 1 dari 3 orang penduduknya tidak bekerja. “Saya mau jadi dokter, tapi Tuhan membawa saya ke pertambangan.”
Afrika Selatan (Afsel) merupakan satu dari banyak negara di dunia yang sangat bergantung pada batubara. Batubara memasok hampir 85% pembangkit listrik Afsel, dan menjadikan negara berpenduduk 60 juta jiwa ini sebagai pengemisi karbon terbesar nomor 13 di dunia, lebih besar dari Inggris.
Peringkat itu membuat negeri berpendapatan perkapita 7.000 dolar AS ini menjadi negeri paling boros dalam mengubah bahan bakar fosil menjadi output ekonomi. Namun ini juga berarti ada kemenangan cepat untuk dicapai jika pembiayaan bisa ditemukan untuk membantu Afsel — dan negara lainnya — melakukan transisi lebih cepat menuju energi bersih.
“Mitigasi 1 ton karbon di Afsel nilainya hanya sepersepuluh biaya mitigasi 1 ton karbon di Eropa,” ujar André de Ruyter, CEO Eskom, BUMN pembangkit listrik Afsel yang lapar batubara. “Jadi, proposisi atau dalil nilai untuk pembayar pajak Jerman (atau negara kaya lain) adalah, karena karbon merupakan fenomena global, maka berikan uang kita ke satu negara di mana Anda bisa memperoleh lebih banyak tonase dekarbonisasi per euro dibandingkan ke tempat lain.”
Dalil itu yang tahun lalu dibawa di COP-26 di Glasgow, ketika kelompok negara kaya — Inggris, Jerman, Prancis dan AS — serta Uni Eropa secara bersama-sama menjanjikan dana 8,5 miliar dolar AS untuk membantu Afsel lepas dari batubara.
Inisiatif yang dikenal dengan sebutan Kemitraan Transisi Energi yang Adil (JETP) itu dipaparkan sebagai model kerja sama utara-selatan dan jadi sebuah pola kemitraan masa depan dengan negara-negara lain yang sangat bergantung pada batubara, seperti Indonesia, Vietnam dan India.
Sudah setahun berjalan dan COP-27 akan dimulai di Mesir pada 6 November, kontur kemitraan Afsel mulai terbentuk. Persyaratan pembiayaan senilai 8,5 miliar dolar AS telah disepakati. Sementara Afsel telah membuat rencana transisi energi dalam 5 tahun senilai 95 miliar dolar AS, di mana dana 8,5 miliar dolar AS berperan sebagai katalis dalam menarik invetasi sektor swasta.
“Ini merupakan lima tahun pertama dari perjalanan banyak tahun,” ujar Daniel Mminele, mantan kepala bank Absa yang direkrut Cyril Ramaphosa untuk menjalankan tim gugus tugas keuangan iklim kantor presiden Afsel. Selain mengubah penggunaan batubara secara perlahan dengan energi terbarukan, rencana tersebut membayangkan penggunaan hidrogen dan produksi kendaraan listrik yang ramah lingkungan.
Namun, negosisasi antara Afsel dengan kreditor barat berjalan alot. Kongres Nasional Afrika (ANC), partai yang berkuasa, khawatir rusaknya industri batubara, satu dari segelintir usaha yang dimiliki oleh mayoritas warga kulit hitam.
“Kita harus melakukan hal ini dengan benar,” ujar Rudi Dicks, mantan ketua serikat pekerja yang kini memberi masukan Ramaphosa. “Di Inggris Anda sekadar menutup tambang dan bilang ‘Enyahlah ke neraka’.”
Afsel juga menginginkan proporsi dana hibah yang lebih besar, karena khawatir pinjaman yang diberikan akan menambah beban utang.
“Sejumlah negara pantas dipuji atas kesiapannya memberikan dana, tapi yang lainnya patut disesalkan karena masih dalam tahap omongan,” ujar Menteri BUMN Afsel, Pravin Gordhan.
Pretoria juga mengeluh karena Eropa malah memperlambat transisi energi dan menekan Afsel untuk mempercepat transisi energi sendiri. “Eropa, yang dikenal sebagai penyokong utama garis keras dari sisi emisi, kini dalam masalah. Mereka tetap mengoperasikan PLTU batubara mereka dan mengimpor batubara, termasuk dari Afsel,” tegas Gordhan.
Infrastruktur tua
Meski demikian, pemikiran agar Afsel bergerak menuju energi terbarukan sangatlah kuat. Pembangkit listrik tenaga batubara yang sudah uzur — rata-rata sudah berusia 42 tahun — nyaris berhenti. Sistem kelistrikan, dengan permintaan puncak mencapai 38 gigawatt (GW), beroperasi dengan kapasitas 58% — tidak cukup untuk mempertahankan lampu terus menyala.
Pemadaman bergilir tiap 5 jam sekali merusak industri dan hidup pun sengsara. Lampu lalulintas berhenti, memacetkan jalanan. Rumah potong hewan tak mampu beroperasi. Ketika listrik padam, pelaku kejahatan mencuri kabel-kabel listrik, yang ujungnya makin menyulitkan sistem kelistrikan.
Solusi paling jelas adalah menambah energi terbarukan yang murah secepat mungkin. Dengan retata sinar matahari 2.500 jam dalam setahun, Afsel jadi salah satu dari tiga teratas penghasil pembangkit listrik tenaga surya. Diperkirakan negeri ini punya cukup angin untuk menghasilkan listrik 6.700 GW — sekitar 175 kali lipat kebutuhan listrik saat ini.
Afsel sudah mengalami sendiri kerusakan akibat cuaca ekstrem. Pada April, lebih dari 250 orang tewas dan pabrik mobil diterjang banjir lumpur dan air ketika hujan dengan curah 200 milimeter mengguyur Durban, kota pesisir, dalam sehari.
Afsel merupakan satu dari 17 negara pemilik megadiversitas, yang berarti perubahan iklim mempengaruhi ekosistemnya secara berbeda. “KwaZulu Natal Utara akan mengalami angin topan,” ujar Menteri Lingkungan Barbara Creecy. “Wilayah Western Cape makin kering dan kering, yang sangat serius karena wilayah itu merupakan sentra gandum Afsel. Dan wilayah lain negara ini bakal makin basah dan sangat panas, sehingga Anda tidak akan bisa menanam jagung lagi. Jadi, bagaimana Anda akan memberi makan rakyat?
Dan ancaman lainnya juga muncul. Ketika Eropa mulai mengenakan pajak yang disebut karbon ikutan di perbatasannya mulai tahun 2035, hampir separuh ekspor mineral dan manufaktur Afsel terancam.
Dengan ancaman bahaya yang bermunculan, tahun lalu Afsel di COP-26 memperbarui target emisinya, dengan janji memangkas total gas rumah kaca dari 550 megaton menjadi antara 350 juta ton dan 420 juta ton pada 2030. Batas atas kisaran itu cocok dengan target pembatasan kenaikan suhu global 20 Celsius. Sementara batas bawah kisaran konsisten dengan target 1,50C. Afsel membuat tawaran implisit ke dunia, kata Creecy: “Untuk mencapai batas bawah, kami akan butuh pertolongan.”
Respons internasional adalah dana JETP 8,5 miliar dolar AS. “Kami percaya ini akan mempercepat penonaktifan batubara,” ujar Mafalda Duarte, kepala Dana Investasi Iklim (CIF), pendanaan multilateral yang jadi bagian dari kelompok tersebut. Pada Oktober, CIF menyepakati pinjaman 500 juta dolar AS untuk transisi energi Afsel, serta 500 juta dolar AS untuk Indonesia.
Namun, sejak kesepakatan Afsel diumumkan, saat itu masing-masing pihak mengklaim — paling tidak secara pribadi — bahwa pihak lainnya bertindak dengan itikad buruk.
“(Pinjaman) Ini kecil,” ujar Crispian Olver, direktur eksekutif komisi iklim kepresidenan Afsel, menyoal fakta bahwa sebagian besar dari dana 8,5 miliar dolar AS adalah pembiayaan konsesi dan jaminan pinjaman (concessionary finance and loan guarantees), bukan hibah. “8,5 miliar dolar AS, kalaupun semuanya berbentuk hibah, tidak akan melunasi utang,” katanya, seraya berpendapat kubu Utara dunia, yang membangun kemakmuran dari bahan bakar fosil, harus membayar transisi energi itu kepada kubu Selatan dunia.
Afsel mencatat ketidaksukaannya dengan Rishi Sunak, PM Inggris yang mengepalai kelompok JETP, yang mengatakan tidak akan hadir dalam COP-27 di Sharm el-Sheikh, Mesir. Namun, Sunak belakangan mengubah sikapnya dan menyatakan akan datang ke COP-27 dalam cuitannya di Twitter.
Para kreditor Barat sudah menegaskan dari awal bahwa dana hibah akan dibatasi. Salah satu kreditor menuduh Afsel terlibat “drama”. Duarte mengatakan, karena grace period yang panjang dan suku bunga sangat rendah, maka secara efektif separuh dari pinjaman CIF adalah hibah. “Ini jauh lebih hemat biaya ketimbang Afsel meminjam di pasar,” paparnya.
Hanya saja, kecurigaan tetap ada. “Anda akan tetap menggunakan batubara di Eropa,” ujar Tiro Tamenti, GM tambang batubara New Vaal. Perusahaan ini berupa tambang terbuka, yang seperti kebanyakan industri batubara Afsel, mayoritas dimiliki warga kulit hitam. “Apakah Anda menawarkan pil yang Anda sendiri tidak mau menelannya?”
Di Afsel, para pekerja tambang, supir truk, perusahaan tambang batubara dan sindikat seperti mafia telah menyusup masuk ke dalam industri, di mana mereka menentang transisi cepat ke energi baru terbarukan (EBT).
Menteri Energi Gwede Mantashe, yang juga mantan pekerja tambang batubara, menyebut dirinya sebagai “fundamentalis batubara”, meskipun dia juga mengakui Afsel butuh transisi, meski dengan kecepatannya sendiri.
Bahkan pihak pendukung adopsi EBT yang lebih cepat, termasuk Gordhan, menegaskan batubara harus ditangani hati-hati. “Ini harus jadi sebuah transisi yang ‘adil’ di mana artinya adil buat pekerja, adil buat masyarakat, adil buat penambang,” ujarnya.
Kreditur internasional mendukung konsep ‘keadilan’ itu. Namun, secara pribadi banyak yang mempertanyakan kemampuan Pretoria mengatasi versted interest di indusyri batubara dan menjalankan rencana yang secara politik sensitif buat ANC, yang punya hubungan kuat dengan serikat pekerja tambang. “Buat Afsel,” kata salah satu pejabat Barat yang terlibat dalam negosiasi keuangan, “itu selalu jadi masalah politik.”
Risiko Pemecatan
Mpumalanga merupakan provinsi batubara. Provinsi di wilayah timur ini memiliki lebih banyak tambang batubara dan pembangkit listrik tenaga batubara yang diselimuti asap dibandingkan dengan seluruh Afsel sendiri. Wilayah paling miskin dan pengangguran lebih tinggi dibandingkan dengan rerata nasional sebesar 34% ini bergantung pada batubara untuk menyerap 100.000 pekerja langsung, plus ribuan lagi untuk industri penyokong.
Salah satu pembangkit listrik paling tua di sini adalah Komati. Dioperasikan tahun 1961, dan mencapai puncaknya 10 tahun silam, menghasilkan listrik hampir 1 GW. Sejak itu, 9 unit pembangkitnya secara bertahap dinonaktifkan sampai tersisa satu yang memasok listrik byar-pet. Pada Senin (31/10), tepat pukul 12.41, pembangkit ini juga dimatikan.
Ketika hitung mundur penonaktifan makin dekart, Komati mendadak disibuki kunjungan dari petinggi dan konsultan yang mencoba mencari tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. “Hanya satu orang saja yang tidak datang, yakni Ratu,” seloroh Jurie Pieters, Plt. GM Komati, yang mengawasi pemadaman pada Senin.
Mandy Rambharos, yang mengelola transisi energi Eskom yang adil mengatakan: “Kami bisa memasang gembok dan pergi.” Nyatanya tidak. Sebaliknya, Komati digunakan untuk mendemonstrasikan bagaimana sebuah pembangkit listrik tua bisa digunakan kembali dan merealisasikan transisi yang adil. Pada 2035, Eskom berencana mematikan 9 pembangkit listrik yang sebagian besar di Mpumalanga, yang memghentikan daya listrik 15 GW dan bakal merumahkan 55.000 pekerja.
Di antara tamu yang datang mengalir ke Komati adalah Presiden bank Dunia David Malpass, yang akan membawa cek senilai 497 juta dolar AS untuk membantu penggunaan kembali pembangkit tersebut. Eskom berencana memasang 150 MW pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), di mana sebagian panel surya ditempatkan langsung ditumpukan abu tua, serta 150 MW batere penyimpan dan 70 MW pembangkit tenaga angin. Mereka ingin menanam tumbuhan di bawah panel surya dalam teknik yang disebut agrivoltaic, meskipun rencana ini terhenti akibat aturan soal kandungan lokal yang rumit. Namun, semua 193 karyawannya sudah ditawarkan pekerjaan alternatif Eskom. AI