Keberadaan biodiesel di dalam negeri kini tengah menghadapi tantangan berupa pemberian subsidi terhadap komoditas tersebut oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit.
Permasalahan soal subsidi terhadap biodiesel dimunculkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pekan lalu yang menyebutkan pengelolaan kelapa sawit rawan korupsi karena lemah tata kelola.
Dalam salah satu pernyataannya, KPK menyebutkan kalau penggunaan dana pungutan ekspor kelapa sawit hanya ditujukan kepada subsidi biodiesel saja. Padahal seharusnya dana tersebut terbagi untuk penanaman kembali, peningkatan sumber daya manusia , peningkatan sarana dan prasarana, advokasi dan riset.
Kita tahu bahwa program biofuel merupakan program pemerintah yang ditujukan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap importasi bahan bakar dari minyak bumi.
Program biofuel diluncurkan pemerintah pada tahun 2014 dengan komoditas kelapa sawit sebagai sumber energi alternatif berupa biodiesel. Saat itu pemerintah mentargetkan pencampuran biodiesel sebesar 5 % ke bahan bakar solar.adapun target produksi biodiesel di tahun itu dipatok sebanyak 1,8 juta kiloliter.
Mengingat biaya produksi biodiesel dari kelapa sawit lebih mahal dibandingkan produksi solar dari minyak bumi, pemerintah memberikan subsidi kepada produsen biodiesel di dalam negeri melalui APBN.
Namun subsidi dari APBN itu kemudian dicabut di tahun 2015 karena meningkatkan defisit anggaran. Sebagai gantinya, Presiden menerbitkan Perpres Nomor 61/2015 Tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Lewat Perpres itu, muncullah SK Menkeu mengenai penarikan pungutan ekspor produk kelapa sawit dan turunannya serta mulnya Permentan yang mengatur soal pengelolaan perkebunan kelapa sawit.
Dana yang berasal dari pungutan ekspor itu dikelola oleh sebuah badan yang dibentuk pemerintah, yakni Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit.
Dalam perjalanannya, BPDP memang lebih banyak terfokus pada pemberian dana subsidi terhadap perusahaan yang memproduksi biodiesel.
Untuk tahun 2016, guna mendukung program B 20 (pencampuran 20 % biodiesel di solar), BPDB menyiapkan dana sekitar Rp15 triliun. Besarnya dana itu tentunya disesuaikan dengan target produksi biodiesel yang ditetapkan pemerintah.
Dengan harga minyak bumi yang masih rendah, tentunya kucuran subsidi terhadap produsen biodiesel masih harus diberikan. Jika tidak, produsen biodiesel, yang sebagian besar adalah produsen kelapa sawit dan produk turunannya, enggan memproduksi biodisel.
Yang jadi masalah, dari mana sumber dana subsidi tersebut. Jika BPDP tidak lagi menfokuskan pada pemberian dana subsidi untuk biodiesel, maka pemerintah harus mampu menutupi kekurangan dana subsidi itu dari APBN.
Jika tidak, maka Program biodiesel di dalam negeri akan terhenti dan Indonesia tetap harus bergantung kepada impor minyak bumi untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak.