Dengan dalih memulihkan gambut, Badan Restorasi Gambut (BRG) mengambil langkah berani untuk menggusur jutaan hektare konsesi kelapa sawit. Tak cuma itu, lahan yang belum dibuka juga dimoratorium. Itu berarti tak boleh dikembangkan, meski konsesi lahan sudah di genggaman.
Yang memicu perdebatan, BRG justru mengundang pemilik modal untuk berinvestasi di gambut yang direstorasi. Makin panas karena BRG membidik sejumlah investor dan lembaga donor asing. Sebut saja, Hewlett Foundation, IKEA Foundation, Packard Foundation/Climate and Land Use Alliance (CLUA), Goldman Sachs, Tom Steyer, dan nama populer George Soros.
Undangan BRG untuk berinvestasi gambut disampaikan pada acara Building Investment Partnership for Peatland Conservation, Restoration and Development, in Indonesia-High Level Dialogue di sela World Economic Forum di New York Amerika Serikat 21 September 2016.
Kepala BRG Nazir Foead menyatakan, investasi terutama diarahkan pada lahan gambut yang belum dibebani izin. “Untuk yang sudah ada konsesinya, menjadi kewajiban perusahaan untuk melakukan restorasi,” katanya di Jakarta, Senin (26/9/2016).
Berdasarkan inventarisasi BRG, ada jutaan hektare gambut yang mesti direstorasi. Sekitar 2,4 juta ha berada di dalam konsesi perusahaan perkebunan dan kehutanan. Seluas 1,2 juta ha lahan gambut itu sudah dibuka dan berkanal. Sementara sisanya masih virgin alias perawan.
Di luar konsesi, ada lagi seluas 4 juta ha yang sebagian besar sudah dibuka dan berkanal. Lahan gambut tersebut sebagian adalah milik masyarakat, ada juga yang berstatus milik negara. BRG sendiri sudah mengeluarkan Peta Indikatif Restorasi Gambut, di mana ada 2,4 juta ha lahan gambut yang paling prioritas untuk direstorasi (lihat tabel).
Nazir menyatakan, undangan bagi investor dilayangkan karena restorasi gambut tak bisa hanya mengandalkan hibah dan dana CSR (corporate social responsibility). Apalagi, butuh dana besar untuk merestorasi gambut. Berdasarkan hitungan BRG, dibutuhkan dana yang dibutuhkan sekitar 350-1.000 dolar AS/ha. “Kalau mau berkelanjutan, restorasi harus menjadi bussiness case,” kata Nazir.
Ada tiga skema investasi yang ditawarkan oleh BRG. Skema pertama adalah perlindungan gambut. Skema ini diarahkan pada lahan gambut yang masih utuh dengan tujuan untuk mencegah dari degradasi, konservasi, dan peningkatan stok karbon.
Skema kedua adalah pemulihan gambut. Skema ini ditujukan untuk memulihkan gambut yang terdegradasi dan terbakar dengan pemblokiran kanal, pembasahan, dan revegetasi. Untuk skema perlindungan dan pemulihan gambut, investasi yang ditawarkan adalah Restorasi Ekosistem (RE).
Skema terakhir adalah skema produksi. Skema ini akan mendorong peningkatan pendapatan masyarakat dengan usaha yang berkelanjutan atau bisnis yang ramah gambut basah.
Menurut Nazir, komoditas yang bisa dikembangkan untuk skema produksi di antaranya adalah nanas, kelapa dan kopi. Sementara untuk komoditas perkayuan di antaranya adalah jelutung.
Bagaimana dengan sawit? Meski membuka peluang bagi komoditas lain, namun pintu rupanya tertutup untuk komoditas yang saat ini jadi andalan ekspor Indonesia ini. Menurut Nazir, sudah ada kebijakan dari Presiden Joko Widodo untuk moratorium kebun sawit. Presiden, kata dia, juga berpesan agar investasi yang dikembangkan tak lagi monokultur. “Sawit tidak masuk karena ada kebijakan moratorium,” katanya.
Menurut Nazir, ada perusahaan sawit yang mengklaim mampu mengelola perkebunannya dengan ramah gambut. Jika hal itu benar, perusahan itu bisa saja menjadi model bagi perusahaan lain untuk mengelola kebunnya. Dia mengingatkan, sesuai Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, maka muka air gambut paling rendah 40 centimeter dari permukaan gambut. “Ini untuk menjaga gambut tetap basah. Jika tidak bisa, silakan ganti komoditasnya,” katanya.
Gantang asap
Undangan investasi BRG boleh jadi seperti menggantang asap. Ekonom Sustainable Development Indonesia (SDI), Dradjat H Wibowo mengingatkan, tanpa perlu diundang, investor akan menyuntikan dananya jika memang menguntungkan. “Untuk komoditas seperti kelapa atau nanas, saya melihat saat ini belum menguntungkan,” katanya.
Dia menuturkan, investasi komoditas dipengaruhi beberapa faktor, termasuk pasar dan kekuatan modal. Saat ini, permintaan pasar akan nanas dan kelapa di tanah air tidaklah besar. Kalaupun untuk ekspor, produksi nanas dari negara-negara subtropis sudah terlanjur menguasai pasar. Sementara kelapa, meski secara agronomi cocok, namun kenyataannya tak ada investasi besar yang ditanamkan untuk perkebunan kelapa di gambut.
“Kalau skala kecil, mungkin komoditas itu bisa dikembangkan. Tapi kita bicara restorasi gambut yang jutaan hektare,” katanya.
Dradjad menyatakan, jika ada pelaku usaha yang bermodal kuat dan mau berupaya keras untuk mengembangkan komoditas tersebut, mungkin investasi komoditas tersebut bisa berhasil.
Tanpa adanya investor swasta, maka upaya restorasi gambut bisa memanfatkan dana pemerintah. Namun yang jadi soal, kantong pemerintah saat ini saat ini sedang cekak.
Menurut Drajat, memanfatkan investasi swasta atau dana pemerintah jauh lebih realistis ketimbang menggantungkan harapan pada donor asing. Menuntut LSM yang selama ini meributkan soal pengelolaan gambut di tanah air agar mau mengucurkan dana tidaklah mungkin. Pasalnya, LSM umumnya lebih kuat berkampanye ketimbang soal pendanaan. Sementara berharap donor dari negara lain, juga bukan pilihan. “Kalaupun ada jumlah yang dihibahkan tak seberapa,” katanya. Sugiharto
Lima Model Pendanaan
Kepala BRG Nazir Foead mengakui, perlu kajian kelayakan bisnis tersendiri untuk berinvestasi di gambut. Meski demikian, dia meyakinkan bahwa bisnis di gambut sangat potensial. Untuk komoditas nanas, misalnya. Meski produktivitasnya lebih rendah dari tanah mineral, dan jenisnya berbeda, namun permintaan pasarnya cukup besar. “Produsen nanas terbesar di tanah air sudah menyatakan ketertarikannya,” katanya.
Demikian juga untuk kelapa. Menurut dia, kebutuhan dunia akan kelapa saat ini terus meningkat. Sebagai gambaran, harga minyak kelapa saat ini mencapai 400 dolar AS/ton. Air kelapa bahkan punya bandrol lebih wow, mencapai 4.400 dolar AS/ton. “Tanaman kelapa lebih ramah gambut karena bisa ditanam dengan muka air kurang dari 40 centimeter,” katanya.
Untuk melancarkan misi investasi ini, BRG menawarkan lima model pendanaan yang mungkin bisa dilakukan. Pertama adalah grant funding, yang bersumber dari dana hibah. Kedua adalah impact/concessionary investment, di mana donor dan investor berkolaborasi untuk mengelola kawasan yang berdampak luas. Model ketiga adalah commercial investment yang murni bisnis, kemudian carbon market (pasar karbon), dan government fund di mana pemerintah menyediakan pembiayan mikro.
“Kami akan membuat satuan tugas yang menyusun roadmap kelima model itu dan mendorong implementasinya,” katanya.
Nazir menyatakan, pihaknya berkoordinasi dengan instansi dan kementerian terkait untuk memastikan misi ini sukses. Dia juga menambahkan, dana repatriasi dari program pengampunan pajak (tax amnesty) juga menarik jika diinvestasikan di gambut. Sugiharto