BP: Perang Rusia Percepat Peralihan ke EBT

energi baru dan terbarukan

Perang Rusia di Ukraina akan mempercepat peralihan dunia dari penggunaan minyak dan gas (migas) ketika negara-negara di dunia memprioritaskan sumber-sumber energi baru dan terbarukan (EBT) sebagai cara meningkatkan ketahanan pasok energi sekaligus memangkas emisi karbon.

Itulah kesimpulan dari outlook energi tahunan terbaru yang dilansir para ekonom di BP Plc. Produsen migas raksasa ini menyaksikan terjadinya penurunan permintaan yang lebih tajam untuk bahan bakar fosil pada tahun 2035, dibandingkan dengan analisis mereka yang dilakukan setahun sebelum invasi Rusia ke Ukraina.

“Meningkatnya perhatian pada ketahanan energi akibat pecahnya perang Rusia-Ukraina memiliki potensi untuk mempercepat transiasi energi karena negara-negara berusaha meningkatkan akses ke energi yang diproduksi di dalam negeri. Nah, energi ini kemungkinan berasal dari EBT dan energi non-bahan bakar fosil lainnya,” ujar kepala ekonom BP, Spencer Dale, seperti dikutip Bloomberg, Senin (30/1).

Perang Rusia juga akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi (PDB) dunia lebih kecil sedikitnya 2% pada tahun 2025, dibandingkan dengan perkiran setahun silam, kata BP. Itu artinya emisi juga akan lebih rendah ketimbang perkiraan sebelumnya.

Prospek energi tahunan yang dikeluarkan perusahan migas besar Inggris ini mengajukan tiga skenario potensial yang berbeda dalam hal seberapa cepat aksi iklim pemangkasan emisi karbon. Ketiga skenario melihat permintaan minyak dan gas menurun karena tumbuhnya EBT serta transportasi kendaraan listrik dalam beberapa dasawarsa ke depan. Hanya saja kecepatan atau laju perubahannya tidak pasti.

Dalam skenario BP yang paling konservatif dari sisi sasaran iklim, permintaan minyak dunia masih akan ada di kisaran 73 juta barel per hari (bph), turun 25% dari tahun 2019. Untuk mencapai target emisi karbon net-zero di tahun itu, BP memperkirakan permintaan minyak harus kurang dari sepertiga jumlah tersebut.

Dalam semua skenario, dunia akan mengandalkan negara-negara pengekspor minyak (OPEC) untuk memperbesar pasok minyak mereka, mulai dari 45% sampai 65% pada tahun 2050. Kartel minyak itu (OPEC) akan terbukti tangguh karena mereka memiliki ongkos produksi yang lebih rendah ketimbang produsen minyak saingannya seperti AS, kata BP.

“Anggaran (bujet) karbon makin menipis habis,” ujar BP dalam laporannya. “Meskipun ambisi pemerintah meningkat tajam, emisi CO2 sudah meningkat setiap tahun sejak Perjanjian Paris tahun 2015. Makin lama penundaan untuk mengambil langkah-langkah yang tegas untuk mengurangi emisi yang berkelanjutan, maka makin besar kemungkinan biaya ekonomi dan sosial yang dihasilkan.” AI