Mendapat tekanan dari Kementerian Pertanian, ternyata belum menggoyahkan Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP). Seperti menantang badai, perusahaan peserta IPOP memastikan tidak akan mundur dari kebijakannya.
Setidaknya itulah yang ditegaskan Managing Director Sustainability & Strategic Stakeholders Enggagement Golden Agri Resources (GAR) Agus Purnomo. “Ada atau tidak ada ikrar, perusahaan anggota IPOP akan tetap menerapkan kebijakan bebas deforestasi, pembukaan lahan tanpa bakar, dan tidak membuka lahan gambut,” kata dia pada sebuah sesi diskusi panel pada Global Landscape Forum, yang merupakan bagian dari Konferensi Perubahan Iklim COP 21 UNFCCC di Paris, Perancis, Minggu (6/12/2015).
GAR merupakan induk dari PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART) Tbk, salah satu mesin bisnis kelompok Sinar Mas di kebun sawit dan olahannya. Selain Kelompok Sinar Mas, anggota IPOP lainnya adalah Musim Mas, Asian Agri, Cargill, dan Wilmar.
Agus Purnomo, Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim saat Susilo Bambang Yudhoyono menjabat sebagai presiden menuturkan, sesungguhnya perusahaan anggota IPOP memiliki kebijakan kelestariannya sendiri-sendiri. Meski demikian, terdapat kemiripan satu dan lainnya. Itulah yang melatarinya terbentuknya IPOP. “Jadi, IPOP tidak mengeluarkan kebijakan atau aturan baru,” katanya.
Soal adanya permintaan untuk menunda IPOP seperti diminta Kementerian Pertanian, Agus yang biasa disapa Pungki itu menyatakan, pihaknya akan berkomunikasi dengan pihak Kementerian Pertanian.
Sementara itu Manajemen IPOP lebih memilih untuk tiarap. Direktur Eksekutif IPOP Nurdiana Darus tak mau menjawab pertanyaan yang dilayangkan Agro Indonesia. Meski demikian, dalam pernyatan sebelumnya, Manajemen IPOP menjelaskan bahwa (IPOP) bertujuan mendorong industri kelapa sawit Indonesia semakin efisien dan ramah lingkungan.
“Perusahaan yang terlibat dalam dalam ikrar ini bermaksud merangkul seluruh pemangku kepentingan di sektor perkelapa-sawitan Indonesia, termasuk di dalamnya pemerintah, sektor privat, hingga para petani independen. Tentunya ada proses dan dinamika untuk menuju industri sawit berkelanjutan, ini yang membutuhkan sinergi dan penyikapan bersama,” papar Manajemen IPOP dalam pernyatannya.
Dijelaskan, IPOP ditandatangani dalam kegiatan bertajuk Sustainable Development: The Indonesian Way of Doing Business in the New Millenium or Doing Business in Sustainable Indonesia yang diinisiasi oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, di New York, 24 September 2015, di sela ajang UN 2014 Climate Summit. Saat itu, perusahaan yang terlibat penandatanganan adalah Golden Agri Resources Ltd. (GAR), Wilmar International Ltd., Cargill dan Asian Agri. Belakangan, Musim Mas ikut bergabung pada bulan Maret tahun ini.
Ikrar tersebut adalah penegasan komitmen dari semua lembaga yang menandatanganinya untuk bersama-sama mengedepankan produksi minyak kelapa sawit berkelanjutan yang terlepas dari praktik deforestasi, mampu memberikan lebih banyak manfaat sosial, serta menjadikan pasar minyak kelapa sawit Indonesia semakin kompetitif. “Semua tadi tidak berdiri terpisah dari regulasi dan sertifikasi Pemerintah Indonesia yang sudah ada, dan bertujuan meningkatkan produktivitas para petani,” tulis manajamen IPOP lagi.
Menurut pernyatan tersebut, aspek yang ada dalam IPOP pada dasarnya sejalan dengan berbagai inisiasi seperti Partnership for Indonesia’s Sustainable Agriculture (PISAGro) dengan visinya mewujudkan peningkatan produktivitas komoditas pertanian secara berkelanjutan, peningkatan pendapatan petani swadaya, serta penurunan emisi gas rumah kaca, masing-masing 20% pada tahun 2020. Seluruhnya selaras dengan upaya pemerintah membangun kemandirian pangan dan energi. “Jadi, memang dilakukan sesuai dengan ketentuan Pemerintah Indonesia, dan mengikutsertakan para petani sebagai stakeholder terbesar industri kelapa sawit.”
Manajemen IPOP juga menegaskan, kelapa sawit adalah satu dari sedikit komoditas sektor perkebunan paling efisien yang mampu menghasilkan produk akhir untuk bahan pangan, energi dan barang kebutuhan sehari-hari. Indonesia sendiri adalah pemain utama kelapa sawit dunia.
Greenwash
Namun, janji sepertinya tinggal janji. Meski sudah menghentikan pembelian dari pemasok-pemasok yang disebut tak sejalan dengan IPOP, namun kenyataannya raksasa-raksasa sawit anggota IPOP malah masih mempraktikan pembukan lahan dengan deforestasi, memanfaatkan lahan gambut, bahkan juga diduga melakukan pembukaan lahan dengan membakar.
Setidaknya, itulah yang muncul dalam laporan Greenomics Indonesia soal implementasi IPOP pada salah satu perusahaan anggota IPOP, Wilmar. Greenomics Indonesia sudah membangun inisiatif pemantau IPOP, untuk menyoroti implementasi kebijakan tersebut oleh masing-masing perusahaan.
Dalam laporannya yang dirilis 5 November 2015, Grenomics Indonesia menelanjangi PT CSC, yang merupakan anak usaha Genting Plantations, salah satu pemasok utama Wilmar.
“PT CSC terbukti masih membabat hutan HCV dan HCS. Bukti-bukti citra satelit membuktikan rantai pasok Wilmar masih masih terkait dengan deforestasi,” kata Direktur Eksekutif Greenomis, Vanda Mutia Dewi.
Sebelumnya, PT CSC pernah tertangkap basah Greenomics membabat kawasan hutan bernilai karbon tinggi (high carbon stock/HCS) dan hutan bernilai konservasi tinggi (high conservation value/HCV) pada September 2014.
Dalam prosesnya, Wilmar memfasilitasi dialog untuk merespons temuan tersebut. Pada Oktober 2014, Genting Plantation menyatakan untuk menunda sementara pembukaan kebun baru sampai tuntasnya kajian HCS dan HCV. Kajian dibuat oleh AidEnvironment dan diklaim tuntas pada Maret 2015. Genting Plantation pun kemudian menyatakan status pemantauan PT CSC sudah selesai (closed for monitoring).
Namun, fakta lapangan menyatakan berbeda. Kajian citra satelit yang dilakukan Greenomics mengungkapkan PT CSC terus memangkas hutan, sampai September 2015.
Berdasarkan citra satelit, Genting Plantation bahkan membabat vegetasi tebal di kedua sisi sempadan sungai sejauh 100 meter, yang berdasarkan ketentuan hukum Indonesia harus dipertahankankan. Kewajiban itu juga sudah ditegaskan pada izin pelepasan kawasan hutan bagi PT CSC.
“Kenyataan yang terungkap dari citra satelit itu menunjukan, PT CSC bukan hanya melanggar komitmen RSPO dan IPOP, tapi juga tak mematuhi peraturan perundang-undangan,” kata Vanda.
Bukan PT CSC. Ternyata banyak perusahaan pemasok dan anak usaha dari grup perusahaan IPOP yang melanggar janji yang dibuat. Setidaknya, 9 perusahaan yang berhasil diungkap Greenomics ternyata terus membabat hutan alam di konsesinya, dan baru dihentikan begitu diungkapkan ke publik.
Vanda memperingatkan IPOP jangan sekadar menjadi greenwashing bagi raksasa-raksasa sawit. “Dengan kata-kata yang indah, mereka mengklaim pasokannya sudah bebas deforestasi,” kata vanda.
Vanda menyatakan, Greenomics mencoba mengambil peran pemantauan di tingkat lapangan tentang bagaimana IPOP diimplementasikan. Dia memandang, kelemahan IPOP saat ini adalah tidak adanya pemantauan yang baik.
Menurut Vanda, seluruh hasil pemantauan Greenomics dipresentasikan ke pemerintah, perusahaan yang menandatangani IPOP dan GAPKI sebagai bahan masukan. Greenomics juga mempublikasikan laporan-laporan hasil monitoring untuk meminta IPOP meng-address temuan lapangan tersebut guna dicarikan solusi menurut versi IPOP. “Sayangnya, dari kasus yang kami ekspos, hingga sekarang belum ada solusi IPOP yang jelas dan konkret,” cetus Vanda. Sugiharto
Melanggar Kedaulatan dan Hambat Ekonomi Rakyat
Penandatangan Indonesia Palm Oil Peldge (IPOP) oleh lima raksasa perkebunan kelapa sawit nasional memang kontroversial. Apalagi jika Astra Agro Lestari, yang masuk dalam rombongan kedua bersama Musim Mas, juga ikut. Pasalnya, keenam raksasa ini menampung hampir 90% seluruh tandan buah segar (TBS) dan minyak sawit mentah (CPO) Indonesia, termasuk di dalamnya TBS dari 4,5 juta hektare (ha) kebun sawit yang dikelola rakyat.
Itu sebabnya, pemerintah cq. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) berang karena mengaitkan deforestasi dan penggunaan lahan gambut yang dinilai melanggar kedaulatan Indonesia. Bahkan, IPOP bisa memberangus pekebun rakyat.
“Praktis pengembang kebun sawit baru terhenti, dan banyak daerah bakal zero growth. Apakah ini yang disebut pro rakyat?” ujar Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, San Afri Awang saat diskusi “IPOP dari Perspektif Lingkungan Hidup dan Kehutanan” di Jakarta, Jumat (28/8/2015).
Meski janji bebas deforestasi sangat positif dari sisi perlindungan hutan, namun itu juga bisa menghambat pertumbuhan ekonomi rakyat. Pasalnya, dengan metode HCS yang diterapkan IPOP, maka tak boleh lagi ada pembukaan sawit pada lahan yang memiliki stok karbon minimal 30 ton/ha. Ini mencakup lahan dengan tutupan vegetasi hutan sekunder dan belukar tua.
Padahal, lahan yang banyak dimanfaatkan oleh rakyat untuk menanam sawit umumnya memiliki tutupan hutan pada kategori yang dilarang menurut HCS tersebut. Demikian juga pada kawasan hutan produksi konversi yang sudah dilepas Kementerian LHK untuk perkebunan. “Jadi, praktis pengembang kebun sawit baru terhenti, dan banyak daerah yang bakal zero growth. Apakah ini yang disebut pro rakyat?” kata San Afri. AI