Pertumbuhan ekonomi Indonesia terus terjadi setiap tahunnya. Bahkan dalam beberapa tahun belakangan ini tingkat pertumbuhannya cukup menggembirakan. Namun, tingkat pertumbuhan ekonomi itu belum bisa dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat Indonesia. Hanya sebagian kecil saja kelompok masyarakat yang menikmatinya.
Hal ini tercermin dari laporan Bank Dunia (World Bank) yang menyebutkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan selama 15 tahun di Indonesia tak sepenuhnya berdampak pada masyarakat miskin. Sebab, selama 10 tahun terakhir pertumbuhan ekonomi tersebut hanya menguntungkan 20% warga terkaya. Sementara 80% sisanya (sekitar 205 juta orang) masih tertinggal.
Dalam laporannya, Bank Dunia mengakui kalau setelah pulih dari krisis keuangan Asia pada 1997-1998 lalu, produk domestik bruto (PDB) riil per kapita Indonesia tumbuh rata-rata 5,4% per tahun selama rentang tahun 2000 hingga 2014. Pertumbuhan tersebut membantu banyak orang keluar dari kemiskinan. Hal itu dibuktikan dengan angka kemiskinan yang berkurang lebih dari separuhnya dari 24% saat krisis menjadi 11% pada 2014. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu juga membantu menciptakan kelas menengah yang lebih kuat dari yang pernah ada sebelumnya. Saat ini, terdapat 18% orang terkaya di Indonesia atau 45 juta orang yang mapan secara ekonomi dan menikmati kualitas hidup yang lebih tinggi. Segmen ini merupakan populasi yang berkembang paling pesat dengan peningkatan 10% per tahun sejak 2002.
Namun di sisi lain, data World Bank menujukan ketimpangan ekonomi di Indonesia meningkat pesat dan telah mencapai tingkat yang tinggi. Pada tahun 2002, 10% warga terkaya di Indonesia mengonsumsi sama banyaknya dengan total konsumsi 42% warga termiskin. Pada tahun 2014, mereka mengonsumsi sama banyaknya dengan 54% warga termiskin.
Pada tahun 2000, rasio gini sebesar 30 dan meningkat menjadi 41 pada tahun 2014. Angka tersebut bahkan merupakan angka tertinggi yang pernah tercatat. Bahkan kenaikannya pun lebih cepat dibandingkan dengan sebagian besar negara tetangga dan dibandingkan dengan negara Asia lainnya, seperti China dan India.
Besarnya ketimpangan ekonomi ini tentunya menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah saat ini untuk mengurangi gap antara golongan si kaya dengan si miskin.
Diperlukan kebijakan yang dapat memberikan kemudahan atau kelonggaran bagi kelompok masyarakat menengah ke bawah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya serta menjalankan kegiatan usahanya.
Pemerintah boleh saja memberikan tax holiday atau tax allowance kepada pelaku usaha kelas atas dalam menjalankan kegiatan usahanya, tetapi perlakuan serupa juga harus diberikan kepada pelaku usaha kelas usaha kecil dan menengah (UKM).
Saat ini masih banyak kendala yang dihadapi UKM di dalam negeri dalam menjalankan kegiatan usahanya, misalnya saja soal suku bunga pinjaman yang jauh lebih besar dengan suku bunga pinjaman yang diterapkan terhadap korporat.
Pengurangan kesenjangan juga dapat dilakukan pemerintah dengan menyediakan berbagai kebutuhan masyarakat dengan harga yang terjangkau oleh semua lapisan masyarakat, mulai dari kebutuhan pokok, kebutuhan pendidikan hingga kebutuhan lainnya.