Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan Indonesia memiliki terminologi dan definisi soal klasifikasi hutan yang secara ilmiah diakui oleh komunitas internasional. Terminologi dan definisi tersebut harus menjadi rujukan dalam pemantauan hutan di Indonesia
Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (IPSDH) Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) KLHK Belinda Arunarwati Margono menyatakan Indonesia menetapkan klasifikasi kelas hutan mengacu pada beberapa ketentuan termasuk Perdirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan No.P.1/VII-IPSDH/2015, Dokumen FREL (Forest Reference Emissions Level) 2016, SNI 8033, 2014, dan SNI 7645-1, 2014.
Klasifikasi kelas itu terbagi menjadi hutan alam yang mencakup hutan primer dan sekunder. Selain hutan alam, ada juga satu kelas hutan tanaman
“Hutan primer didefinisikan sebagai seluruh kenampakan hutan yang belum menampakkan bekas tebangan/gangguan. Sedangkan seluruh kenampakan hutan yang telah menampakkan bekas tebangan/gangguan disebut hutan sekunder. Secara sederhana, hutan alam merupakan gabungan antara hutan primer dan hutan sekunder, sedangkan hutan sendiri mencakup hutan primer, hutan sekunder, dan hutan tanaman,” papar Belinda, Kamis (4/6/2020).
Baca juga: Laju Deforestasi Indonesia Naik-Turun, Begini Penjelasan KLHK
Metodologi pemantauan hutan yang pemerintah Indonesia c.q KLHK, termasuk penggunaan definisi hutan primer, telah dipublikasikan kepada publik internasional melalui dokumen resmi negara berjudul “National Forest Reference Emission Level (FREL)” yang secara resmi dikeluarkan oleh KLHK pada 18 September 2015.
Dokumen tersebut telah diterima serta disetujui oleh UNFCCC melalui proses verifikasi internasional pada November 2016. Hal ini, kata Belinda, menunjukan bahwa metode dan data hutan Indonesia sudah diterima di dunia internasional.
“Maka definisi dan terminologi yang digunakan selain yang bersumber dari dokumen tersebut, harus diberikan keterangan dan informasi yang memadai agar tidak menimbulkan interpretasi yang salah,” katanya.
Belinda menuturkan, menyampaikan KLHK sejatinya punya sistem Pemantauan Hutan sendiri yang independen dan diakui di dunia internasional yaitu National Forest Monitoring System/NFMS SIMONTANA), dan dipakai dalam pelaporan-pelaporan ke dunia Internasional, seperti laporan ke FAO, UNFCCC (termasuk FREL), dan UNFF.
“Oleh karena itu, kami sebetulnya keberatan terhadap penggunaan informasi berbasis tutupan pohon (tree cover) yang sering di adopsi beberapa kalangan dan dikaitkan dengan perhitungan luas deforestasi di Indonesia. Karena itu tidak tepat. Dalam hal ini, apapun informasi yang keluar dan menggunakan terminologi yang tidak sama dengan yang official di Indonesia, perlu dilengkapi dengan penjelasan kepada publik mengenai perbedaan terminologi tersebut, agar tidak ada kesalahpahaman dalam memaknai arti,” kata Belinda.
Global Forest Watch
Sebelumnya, data University of Maryland yang dipublikasikan Global Forest Watch, Kamis (4/6/2020) mengungkapkan, daerah tropis kehilangan 11,9 juta hektare tutupan pohon pada tahun 2019. Hampir sepertiga dari kehilangan tersebut, yaitu 3,8 juta hektare, terjadi di hutan primer tropis lembab. Angka tersebut setara dengan kehilangan hutan primer (primary forest) seluas lapangan sepak bola setiap 6 detik sepanjang tahun.
Data tersebut juga menyebut Indonesia berhasil mempertahankan tren penurunan kehilangan hutan untuk tiga tahun berturut-turut. Kehilangan hutan primer di Indonesia menurun 5% dibandingkan tahun sebelumnya. Indonesia dinyatakan belum pernah mengalami kehilangan hutan primer yang begitu rendah sejak awal abad ini.
Meski demikian, dalam data tersebut Indonesia ditempatkan di posisi ketiga negara yang mengalami kehilangan tutupan hutan hutan primer tertinggi pada tahun 2019 dengan 324.000 hektare.
GFW sudah memberikan catatan, bahwa definisi hutan primer (primary forest) dalam data yang dipublikasikan adalah “hutan tropis alami lembab dewasa yang belum dibabat sampai habis dan ditanam kembali dalam sejarah yang belum terlalu lama.” Catatan lain yang juga dinyatakan adalah kehilangan tutupan pohon tidak sama dengen deforestasi.
Terkait hal itu, Belinda mengingatkan, terminologi primary forest ala GFW kurang tepat jika disandingkan dengan definisi di Indonesia. Pasalnya, apabila memperhatikan batasan yang dipakai tersebut, maka Primary Forest GFW sesungguhnya adalah hutan alam dan tidak sama dengan definisi hutan primer yang digunakan Pemerintah Indonesia c.q Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Belinda menjelaskan perbedaan terminologi ini penting untuk diklarifikasi karena pengertian yang beda dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda.
“Perlu kami luruskan bahwa istilah Primary Forest dimaksud GFW tidak seharusnya diterjemahkan langsung sebagai Hutan Primer, karena pengertiannya tidak sama dengan pengertian hutan primer yang berlaku umum dan standar di Indonesia,” tuturnya.
Untuk diketahui, saat pertama kali dirilis beberapa tahun silam, GFW menggunakan informasi canopy tree secara series untuk melakukan estimasi perubahan tutupan pohon (tree cover). Dalam hal ini, tree cover akan mencakup apapun vegetasi yang memiliki tinggi lebih dari 5 meter pada tahun pengamatan (tahun sumber data, misalnya untuk GFW menggunakan tahun awal pengamatan tahun 2000). Tree cover ini akan mencakup hutan alam, hutan tanaman, pohon karet, belukar tua maupun agroforestry dengan tanaman keras, ataupun kebun/perkebunan.
Dengan situasi tersebut, ketika muncul data tree cover loss, maka perubahan yang terdeteksi, terjadi pada semua vegetasi yang mempunyai tinggi lebih dari 5 meter tersebut. Situasi ini tidak sesuai dengan Indonesia, dimana yang dimaksud dengan perubahan tutupan hutan khususnya terkait gross deforestasi hanya fokus pada perubahan tutupan hutan yang terjadi pada hutan alam.
“Untuk inilah, maka Indonesia tidak bisa menerima informasi tree cover loss sebagai angka deforestasi,” kata Belinda.
Dalam perkembangannya, GFW juga melakukan penyempurnaan data mengikuti kondisi yang dihadapi. Untuk itulah, juga dibangun data set yang menggambarkan hanya sebaran hutan alam saja. Data set ini dinamai Primary Forest mask, dan data set inilah yang kemudian dipakai untuk membedakan keberadaan hutan alam terhadap vegetasi lainnya yang memiliki tinggi lebih dari 5 meter.
Perubahan tutupan hutan yang terjadi pada Primary Forest mask inilah yang kemudian dirilis GFW dalam bentuk Primary Forest loss. Namun demikian Primary Forest mask, pada dasarnya terdiri atas dua kelas utama juga, yaitu Primary Intact Forest dan Primary Degraded Forest. Primary Intact Forest mendekati apa yang di Indonesia sering dikenal sebagai hutan primer, sedangkan Primary Degraded Forest mendekati kelas hutan sekunder yang dipakai di Indonesia. Sugiharto