Dengan Mobil Listrik, Target Penurunan Emisi GRK Bisa Dicapai

Pemerintah optimis dapat merealisasi komitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (CO2) sebesar 29 % pada tahun 2030 sekaligus menjaga ketahanan energi seiring akan diproduksinya mobil listrik di negeri ini. Apalagi hasil studi menyebutkan mobil listrik mampu menghemat energi hingga 80 % dibandingkan mobil konvensional yang menggunakan bahan bakar minyak (BBM).

“Berdasarkan penelitian, rata-rata mobil listrik jenis hybrid itu bisa hemat 50 persen, sedangkan yang plug-in hybrid bisa lebih hemat lagi hingga 75-80 persen,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto pada acara “Final Report 1st Round Electrified Vehicle Comprehensive Research & Study di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Selasa (06/11/2018).

Menurut Airlangga, penggunaan mobil listrik bisa menghemat BBM hingga dua kali lipat dibanding saat memakai bahan bakar B20. “Kalau program B20 saja sudah bisa menghemat sekitar 6 juta kiloliter BBM, maka dengan hybrid atau plug-in hybrid akan ada dua kali penghematan,” tuturnya.

Selain itu, dengan peneraapan mobil listrik juga diharapkan target 20 % untuk produksi kendaraan emisi karbon rendah atau Low Carbon Emission Vehicle (LCEV) di tahun 2025 dapat tercapai.

Airlangga menjelaskan, riset dan studi pada tahap pertama ini merupakan laporan dari tiga perguruan tinggi, yakni Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Mereka telah melakukan ujicoba terhadap mobil listrik Toyota jenis hybrid atau plug-in hybrid.

“Tujuan studi dan riset tersebut adalah membahas tentang karakteristik teknis, kemudahan pengguna, dampak lingkungan, sosial dan industri, serta kebijakan dan regulasi yang akan ditetapkan ketika teknologi itu sudah berkembang,” paparnya.

Lebih lanjut, studi dan riset juga sejalan dengan hal yang didorong oleh Kemenristekdikti terkait dengan kemampuan mobil listrik nasional (molina). “Saat ini, roadmap pengembangan industri otomotif nasional sedang kami dorong, termasuk peraturan pemerintah atau perpres terkait pengembangan kendaran listrik dan fasilitas-fasilitasnya,” imbuhnya.

Dalam upaya pengembangan kendaraan listrik, Kemenperin telah mengusulkan kepada Kementerian Keuangan mengenai pemberian insentif fiskal berupa tax holiday, Bea Masuk Ditanggung Pemerintah, serta pembiayaan ekspor dan bantuan kredit modal kerja untuk pengadaan battery swap. “Dari sisi fasilitas nonfiskal seperti penyediaan parkir khusus, keringanan biaya pengisian listrik di SPLU hingga bantuan promosi,” ujar Menperin.

Setelah tahap pertama ini, Kemenperin akan melanjutkan laporan hasil riset mobil listrik terkait dengan aplikasi, ketahanan dan ketersediaan infrastruktur. Tahap kedua akan dilakukan oleh Universitas Sebelas Maret (UNS), Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) dan Universitas Udayana yang ditargetkan rampung pada Januari 2019.

“Di tahap kedua, riset yang sama juga akan dilakukan oleh perguruan tinggi selanjutnya, dengan demikian terjadi integrasi di kampus mulai dari riset sampai dengan aplikasi sehingga ekosistem itu bisa terpetakan di perguruan tinggi. Untuk Perpres-nya, rencananya akan dikeluarkan pada tahun ini,” jelasnya.

Sementara itu Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir mengatakan secara internal proses studi saat ini sudah selesai. Artinya, tinggal dikolaborasikan dengan industri supaya bisa memanfaatkan inovasi mobil listrik tersebut. “Tidak akan bisa jalan jika tidak ada industri yang akan menggunakan inovasi ini,” ujarnya.

Nasir menambahkan, pemerintah juga berencana untuk memfasilitasi dan memediasi antara akademisi dengan industri yang akan memanfaatkan hasil studi tersebut. Salah satunya, melalui pemberian insentif industri seperti super tax deduction. “Kalau ini bisa dilakukan, saya optimistis bisa berhasil,” tegasnya.

Salah satu komponen penting dalam produksi mobil listrik adalah ketersedian baterai. Terkait hal ini, Menperin Airlangga Hartarto menjelaskan kalau industri batu baterai yang akan dikembangkan di Indonesia adalah berbahan baku nikel kobalt; “ Nikel kobalt masih dalam studi  karena ini murni Indonesia juga,” paparnya.

Menurutnya, beberapa perusahaan kini telah melakukan studi untuk memproduksi batu baterai dari nikel kobalt itu, seperti Inalum.” PT Timah juga bisa karena kobalt bisa diekstrasi dari timah . Jadi ada beberapa teknologi yang bisa dikembangkan,” jelasnya.

Sedangkan terkait limbah yang dihasilkan dari mobil listrik, Airlangga menjelaskan kalau hal itu akan dibahas dengan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK). Apalagi Kementerian LHK juga diberikan mobil listrik sehingga instansi itu juga bisa memberikan masukan.   Buyung N