Mengubah Desa menjadi objek wisata yang menarik dan punya nilai ekonomis tinggi menjadi tren kekinian di Malang Raya. Pemerintah di lingkup terkecil yakni Pemerintah Desa (Pemdes) berlomba-lomba untuk bersolek, merias desanya agar memunculkan nilai lebih melalui Desa dengan konsep desa wisata.
Adalah Heri Mulyono, pramuwisata wisatawan mancanegara yang 9 tahun lalu menyulap Desa Ampelgading Kecamatan Tirtoyudo yang berpenduduk 8,295 Jiwa menjadi desa wisata berkonsep perkebunan kopi dengan mengembangkan gastronomi yang menjadi ciri khas pedesaan untuk menghadirkan wisatawan mancanegara. Nah bagaimana Heri mengembangkan potensi wisata di desanya untuk mendongkrak pendapatan dan sekaligus membuka lapangan kerja bagi kaum millennial di Ampelgading? Berikut petikan wawancara Agro Indonesia dari Malang-Jawa Timur.
Apa yang bisa dikembangkan dalam desa wisata?
Pertama adalah memahami sumber daya alam yang dimiliki desa tersebut. Artinya, jika desa telah memiliki sumber daya alam yang berlimpah, hal tersebut dapsat dikembangkan serta diolah sedemikian rupa sehingga menjadi bermanfaat untuk menambah pendapatan asli desa (PAD).
Aspek Kedua yang tidak kalah penting adalah pembangunan sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang unggul dan kreatif akan mampu berinovasi. Aspek ini sangat berpengaruh jika memang pada aspek pertama dinilai belum cukup. Secara sederhana, inovasi mampu menjadi leading jika aspek sumber daya alam dirasa tidak cukup.
Seperti di kawasan Ampelgading. Meski terdengar asing, daerah Ampelgading Malang ternyata menyimpan objek wisata alam yang begitu indah. Ampelgading juga memiliki potensi kopi sehingga cocok untuk dikembangkan sebagai desa wisata kopi.
Daerah ini merupakan jalur wisata di sisi selatan yang sangat kaya sebagai perkebunan bersejarah penghasil biji kopi Robusta. Namun sayangnya tidak begitu banyak kedai kopi di kawasan ini. Untuk mengembangkan potensi biji kopi, perlu sentuhan mengembangkan desa wisata kopi yang pada gilirannya bisa menarik perhatian pelancong sekaligus memperkenalkan produk biji kopi yang ditanam dan dihasilkan dari Ampelgading.
Anda menghadirkan wisatawan mancanegara dan turut memperkaya cita rasa kopi, bagaimana awalnya?
Iya, selama sembilan tahun kami telah melakukan promosi baik di pasar lokal maupun mancanegara. Kegiatan promosi ini banyak dibantu oleh teman-teman seprofesi pramuwisata sehingga dapat dipasarkan melalui travel mart diantaranya TBI Brussel dan Matta fair Kuala Lumpur.
Hal yang telah kami dapatkan adalah terjadinya perubahan pola pikir petani kopi yang sebelumnya menjual hasil perkebunan kopinya dalam bentuk biji, akhirnya menjadi produk barang jadi. Akan tetapi tidak semua desa dapat memahami arti tujuan “Desa Wisata”. Termasuk sang Kepala Desa yang menjadi pemimpin di desa. Oleh karena itu, program “Desa Wisata” juga memicu terjadinya konflik di masyarakat karena tidak ditangani oleh pemimpin yang baik.
Namun, lanjut Heri, kami akhirnya memutuskan bersama dengan orang-orang yang sepaham untuk tidak hanya fokus dalam satu Desa , tetapi tim kami saat ini sudah mendampingi 21 Desa di wilayah Malang agar satu Desa dengan Desa lainnya dapat saling belajar.
Wisata perkebunan apa yang anda kedepankan?
Saat ini yang terbanyak adalah perkebunan kopi dan kakao yang banyak dihasilkan di Ampelgading Tirtoyudo. Kedua tanaman ini tidak hanya memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi, namun memiliki perjalanan sejarah yang sangat Panjang dan mampu mempengaruhi peradaban manusia. Itulah daya tariknya terutama bagi wisatawan dari Eropa.
Berapa anda merogoh kocek untuk biaya pemeliharaan kebun?
Kami tidak pernah menghitung karena semuanya masih kami biayai dengan kantong pribadi. Hal ini dikarenakan sebagian besar “Desa Wisata” yang kami dampingi tidak mendapatkan dukungan dari Kepala Desa. Hal ini merupakan kendala yang paling besar bagi kami ketika kami memiliki ide untuk mendirikan “Desa Wisata”, masalahnya rata-rata ada pada Kepala Desanya.
Konsep Desa Wisata awalnya datang dari mana?
Konsep ini sebetulnya lahir dari keprihatinan kami yang sangat mendalam. Kami pernah menjadi bagian masyarakat buruh perkebunan. Kemiskinan selalu mewarnai hari-hari pada kehidupan kami. Tetapi kenyataan ini hamper tidak ada yang menyentuh. Akhirnya kami melihat pariwisata merupakan salah satu jalan untuk mengatasi kemiskinan itu. Setelah memiliki bekal pengetahuan yang cukup, akhirnya kami memutuskan mendirikan “Desa Wisata” dengan memanfaatkan perkebunan sebagai atraksi wisatanya. Konsep wisata berbasis perkebunan sudah banyak bertebaran seperti di Kintamani, Lampung, dan sebagainya. Yang membedakan, kami menambahkan gastronomi sebagai ikon kami.
Desa wisata yang kami kelola merupakan desa wisata satu-satunya di Kabupaten Malang yang pengunjungnya semua marupakan wisatawan mancanegara.
Berapa investasi yang anda tanamkan untuk mewujudkan Desa Wisata ini?
Baik, investasi yang kami tanamkan tidak dapat kami hitung karena tidak ada modal secara langsung. Dari penghasilan yang kami terima, sedikit demi sedikit itulah kami mulai bisa membangun infrastruktur seperti gazebo,peralatan makan untuk tamu dan sebagainya. Karena benar-benar semua tidak ada modal yang siap dan kami tidak pernah membayangkan apa saja yang harus kami biayai. Modal yang sangat mahal bagi kami adalah semangat dan pengalaman kerja sebelumnya.
Harapan ke depan seperti apa dan adakah bantuan dari Pemerintah Desa atau Kabupaten?
Selama ini yang kami kelola adalah biaya pribadi. Alhamdulillah setelah adanya tamu yang dating, kami dapat menyisihkan dana untuk pengembangan. Harapan kami yakni mendapatkan support dari pemerintah. Selama ini pemerintah justru mensupport DEsa Wisata yang telah benar-benar maju.
Apa yang menjadi angan-angan anda selanjutnya dengan desa wisata perkebunan ini?
Setiap perkebunan memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai agrowisata, semuanya tergantung pada inovasi yang kita lakukan. Dan pasarnya tentunya sangat besar. Untuk Desa Wisata yang kami kelola, kita tidak cukup melihat kopi sebagai sebuah produk akan tetapi kopi sebetulnya merupakan tanaman yang mampu menentukan alur sejarah dan peradaban manusia di suatu tempat. Secara kebetulan saya pernah membantu penelitian seorang Doktor dari Perancis Mrs.Lauren Hudson, ternyata perkebunan merupakan salah satu penyebab mobilitas suku-suku di Indonesia ke tempat lainnya.
Angan-angan saya adalah menjadikan Desa Wisata sebagai basis perekonomian daerah yang mampu mensejahterakan penduduknya. Hal ini mengingat, saat ini banyak kaum millennial yang berprofesi sebagai barista dengan berbagai macam inovasi terkini. Akan tetapi barista hanya berbicara tentang bagaimana mengolah produk untuk siap dikonsumsi saja. Untuk itu, kami akan mengajarkan kaum millennial bagaimana kopi menjadi sejarah Panjang dalam peradaban manusia. ***
Shanty