Dua Program Jitu Kementan Atasi Keterbatasan Pupuk Subsidi

Langkah baru terkait kebijakan pupuk subsidi diambil Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Permentan Nomor 10 tahun 2022 tentang Tata Cara Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian.

Langkah tersebut mengubah penyaluran pupuk bersubsidi yang sebelumnya mencakup lebih dari 60 jenis komoditas. Kini, penyaluran hanya untuk 9 komoditas utama yang dibutuhkan sebagai bahan makanan pokok.

Dirjen Prasana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan, Ali Jamil menyebutkan, terdapat tiga perubahan kebijakan pemerintah dalam Permentan Nomor 10 Tahun 2022.

Pertama, perubahan jenis pupuk dari yang semula berupa Urea, SP-36, ZA, NPK, dan organik menjadi pupuk Urea dan NPK. Kedua jenis pupuk ini dianggap sebagai prioritas karena mengandung unsur hara makro esensial yang dibutuhkan dalam proses metabolisme dan biokimia sel tanaman, sehingga dianggap cukup untuk meningkatkan produktivitas dari 9 komoditas utama yang disubsidi.

Kedua, perubahan peruntukan menjadi melakukan usaha tani dengan lahan paling luas 2 hektare (ha) untuk 9 komoditas pangan pokok dan strategis, seperti padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, bawang putih, tebu rakyat, kopi, dan kakao.

“Langkah dan kebijakan ini ditetapkan agar produk hasil pertanian kita — yang terutama memiliki kontribusi sebagai bahan pangan pokok dan berdampak terhadap inflasi — bisa terus terjaga. Dengan demikian, diharapkan ketahanan pangan nasional Indonesia dapat terwujud,” jelasnya.

Ketiga, perubahan mekanisme pengusulan alokasi pupuk bersubsidi dilakukan dengan menggunakan data spasial atau data luas lahan dalam Sistem Informasi Manajemen Penyuluh Pertanian (Simluhtan).

Terkait dengan perubahan tersebut, tentunya akan mengalami kendala di tengah masyarakat. Apalagi, untuk alokasi pupuk subsidi tahun 2023 ini hanya sekitar 9 juta ton, yang sangat kurang jika dibandingkan dengan kebutuhan petani di Indonesia.

Ali Jamil menyarankan masyarakat memanfaatkan dua program Kementan dalam mengatasi keterbatasan pupuk subsidi. Pertama, dengan memanfaatkan program KUR (Kredit Usaha Rakyat) Pertanian, dan yang kedua melalui program Unit Pengelolan Pupuk Organik (UPPO).

“Karena anggaran kita terbatas, sehingga ada beberapa cara yang tentu sudah kita laksanakan berdasarkan apa yang sudah disampaikan oleh pak Menteri tadi melalui program yang namanya Kredit Usaha Rakyat (KUR),” papar Ali Jamil di Jakarta, Selasa (7/3/2023).

Ali Jamil melanjutkan, program KUR Pertanian tersebut oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) sangat didukung sebagai langkah untuk atasi keterbatasan pupuk subsidi tersebut.

“Oleh Bapak Presiden, KUR ini didorong. Oleh Bu Menteri Keuangan juga didorong. Oleh Pak Menko, dan kita semua di Kementerian, sangat mendukung itu, sehingga anggaran yang tersedia di Kementan untuk pupuk subsidi hanya sekian ‘X’, misalnya, itu pasti tidak cukup, karena luas pertanaman kita itu cukup besar. Jadi, intinya pupuk itu tidak cukup dari segi anggaran, sehingga dimanfaatkan lah yang namanya pola pembiayaan yang lain. Itu yang namanya KUR, kawan-kawan semua,” jelas Ali.

Jadi, lanjut Ali Jamil, sebenarnya petani tidak kesulitan membeli pupuk dari permodalan, karena permodalan bisa dari kredit usaha rakyat (KUR).

“Itu disiapkan oleh pemerintah, disiapkan oleh Bapak Presiden, disiapkan oleh negara untuk itu, sehingga apa yang disampaikan oleh Pak Menteri terkait dengan pembiayaan KUR salah satunya dimanfaatkan oleh petani kita untuk membeli pupuk. Tentu pupuk yang non-subsidi. Di luar yang subsidi,” terangnya.

Selain itu, kata Ali Jamil, masih dalam program Kementerian Pertanian untuk atasi keterbatasan pupuk subsidi yang juga sangat penting, yakni melalui program Unit Pengelolan Pupuk Organik (UPPO).

“Dalam program kita di Kementerian Pertanian, ada program yang namanya Unit Pengelolan Pupuk Organik (UPPO). Jadi sebenarnya, tentu pupuk ini tidak hanya pupuk kimia, harus dapat juga menggunakan pupuk organik juga,” kata Ali Jamil.

Dia menjelaskan lebih lanjut manfaat yang dapat diraskan petani jika menggunakan pupuk organik tersebut, yakni dapat memperbaiki kualitas pada tanah pertanian sehingga dapat mencegah degradasi lahan.

Pupuk organik pun dapat meningkatkan produksi pertanian, baik kualitas maupun kuantitas, mengurangi pencemaran lingkungan, dan meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan.

“Harus gunakan pupuk organik, karena memberikan banyak sekali manfaat, perbaikan tanah atau lahan pertanian. Pupuk ini tentunya bisa lebih produktif untuk hasil pertanian karena kualitas lahannya pun menjadi bagus. Maka dari itu, Kementerian Pertanian mendorong petani, melalui para penyuluh, untuk bisa menghasilkan pupuk organik,” katanya. PRP

Kementan Gandeng Ombudsman Optimalkan Pengawasan Distribusi Pupuk Bersubsidi

Kementerian Pertanian (Kementan) menggandeng Ombudsman untuk mengoptimalisasi pengawasan penyaluran pupuk bersubsidi. Sinergi tersebut menjadi salah satu langkah strategis untuk menjaga ketersediaan dan keterjangkauan pupuk bagi para petani.

Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo mengatakan, salah satu langkah yang telah disepakati dengan Komisi IV DPR-RI adalah melakukan perubahan kebijakan pupuk bersubsidi sebagai hasil pembahasan dengan seluruh pihak terkait, termasuk Ombudsman.

Adapun perubahan kebijakan tersebut tertuang pada Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 10 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian.

“Langkah ini untuk menjawab isu krisis pangan global sebagai dampak dari Pandemi COVID-19, geopolitik, dan adanya disrupsi rantai pasok global yang menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa,” katanya.

Syahrul menambahkan, sinergi pengawalan pupuk bersubsidi bersama dengan Ombudsman merupakan langkah penting, karena rakyat dan negara bergantung pada pangan dan pertanian.

“(Pangan dan pertanian) merupakan sektor yang banyak menyerap lapangan kerja. Maka dari itu, distribusi pupuk harus benar-benar dikawal,” tuturnya.

Perubahan ini, lanjut Mentan, juga tetap mempertimbangkan luas baku lahan sawah yang dilindungi (LP2B), sehingga penyaluran pupuk bersubsidi akan lebih tepat sasaran dan lebih akurat sesuai dengan rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

“Petani tetap berhak mendapatkan pupuk bersubsidi selama melakukan usaha tani subsektor tanaman pangan, hortikultura, dan atau perkebunan dengan luas lahan 2 ha yang setiap musim tanam tergabung dalam kelompok tani yang terdaftar,” jelasnya.

Ketua Ombudsman, Mokhamad Najih mengatakan, program pupuk bersubsidi memiliki fungsi yang sangat strategis dan penting dalam perlindungan atau pemberdayaan petani.

Menurutnya, keberhasilan program ini sangat bergantung pada kinerja dari Kementan, sehingga dapat meningkatkan produktivitas pertanian guna jaga ketahanan pangan.

“Maka dari itu, kami memberikan apresiasi kepada Kementan karena program ini dapat menekan pengeluaran petani dan meningkatkan produksi pangan. Selain itu, kehadiran Ombudsman sebagai lembaga eksternal sangat diperlukan untuk mengawal output penggunaan anggaran, mengawasi pelayanan, dan mencegah maladministrasi,” ujar Najih.

Anggota Ombudsman RI bidang Pengawasan Pelayanan Publik di Sektor Pertanian, Yeka Hendra Fatika menegaskan, Ombudsman, dari yang level pusat hingga kantor perwakilan di setiap daerah memiliki komitmen untuk mengawal pupuk bersubsidi.

Langkah itu, sebut dia, dilakukan agar kebutuhan petani kecil bisa terpenuhi. Dengan demikian, dia berharap sinergi dan koordinasi dengan Kementan bisa berjalan dengan baik.

“Sehingga, tata kelola pupuk bersubsidi semakin baik untuk ke depannya dan petani kecil di Indonesia mendapat perlindungan atas hak-haknya dalam memperoleh pupuk subsidi,” tambah Yeka.

Direktur Jenderal (Dirjen) Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan, Ali Jamil mengatakan, pihaknya siap untuk berkoordinasi secara intensif dengan seluruh stakeholder terkait. Khususnya, terkait pengawasan dari Ombudsman RI dan tim Satuan Tugas Khusus (Satgassus) Pencegahan Korupsi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).

Di samping itu, ada pula pengawasan internal dan kelompok pengamat, peneliti, dan pemerhati (KP3) yang sudah berjalan saat ini.

“(Koordinasi) ini dilakukan untuk memastikan perubahan kebijakan dapat diimplementasikan di tingkat lapangan dan berdampak pada capaian produksi pertanian, khususnya 9 komoditas, serta gejolak di tingkat petani dapat teratasi,” ujar Ali.

Ali berharap, Ombudsman dapat memahami perubahan kebijakan pupuk bersubsidi serta dampaknya bagi masyarakat petani, sehingga seluruh stakeholder yang terlibat bisa berkonsentrasi mengatasi keterbatasan penyediaan, mengawal pengelolaan, dan mengawasi penyaluran pupuk bersubsidi.

“Pemenuhan kebutuhan pupuk masyarakat petani di wilayahnya dapat teratasi dan penyaluran pupuk bersubsidi dapat tepat sasaran, sehingga penyimpangan penyaluran pupuk bersubsidi berkurang dan terjadi peningkatan produksi pangan,” katanya. YR