Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terancam meningkat tahun ini seiring dengan proyeksi BMKG akan musim kemarau yang lebih kering. Penggunaan E4, teknologi Jepang untuk pemadaman yang lebih cepat bisa menjadi solusi.
BMKG memperkirakan musim kemarau tahun ini akan lebih kering dari biasanya. Jika tidak diantisipasi, situasi ini bisa memicu bencana karhutla serius seperti tahun 2015 dan 2019.
Untuk menghadapi berbagai tantangan pengendalian karhutla di Indonesia, grup ALSOK telah mengembangkan bahan pemadam kebakaran baru yang lebih efektif dan efisien. ALSOK adalah salah satu perusahaan keamanan terkemuka Jepang yang didirikan pada tahun 1965. Saat ini grup ALSOK menyediakan layanan keamanan yang komprehensif dan juga memproduksi peralatan pemadam kebakaran untuk melindungi nyawa manusia dan aset lainnya dari kebakaran.
Bahan pemadam api yang dikembangkan tersebut bernama “E4”. Bahan ini berbentuk cairan dan digunakan dengan cara diencerkan 100 kali dengan air, baik air sungai ataupun air dari kanal.
“Kami berharap E4 dapat digunakan di banyak hutan dan perkebunan serta dapat berkontribusi pada perlindungan alam dan kesehatan orang-orang di Indonesia,” ujar Masaki Nagasaka, Marketing Director PT. ALSOK BASS Indonesia.
E4 sangat efektif untuk pemadaman api, pencegahan kebakaran berulang, dan membuat sekat bakar. Selain itu, E4 memiliki salah satu keunggulan yaitu laju infiltrasi yang tinggi. Dengan sifat ini, air campuran E4 dengan cepat menembus ke dalam gambut dan secara efektif dapat memadamkan api di bawah permukaan sehingga dapat mencegah kebakaran berulang yang biasa terjadi pada gambut.
Pengujian yang dilakukan di tanah gambut pada tahun 2020, air campuran E4 yang diencerkan 100 kali lipat menunjukkan laju perembesan sekitar dua kali lipat dibandingkan dengan air kanal saja.
Pemadaman api yang efisien juga dapat menghemat jumlah air yang dibutuhkan. Kecepatan pemadaman api dan konsumsi air berbeda-beda tergantung situasi kebakaran. Namun, pada uji pemadaman api yang dilakukan di lahan simulasi Manggala Agni Daops Pontianak, Desember 2020, air campuran E4 tidak hanya mengurangi waktu pemadaman api sebesar 35% tetapi juga mengurangi konsumsi air sebesar 25% dibandingkan dengan hanya menggunakan air biasa untuk memadamkan api dengan ukuran yang sama.
Kinerja pemadaman api yang sangat baik dari E4 tidak hanya pada lahan gambut saja tetapi efektif juga untuk pemadaman kebakaran di lahan mineral.
Apalagi di lahan mineral, tantangan pengendalian karhutla juga tinggi. Titik karhutla di lahan mineral seringkali jauh dari sumber air sehingga perlu membawa sejumlah besar air dengan mobil yang bermuatan tangki untuk sampai lokasi kebakaran. Kemampuan E4 untuk menghemat air jelas sangat berkontribusi untuk mengurangi kesulitan dan kendala dalam mengangkut air pada kegiatan pemadaman kebakaran di lahan mineral.
Ramah Lingkungan
Selain itu, E4 juga ramah lingkungan. E4 tidak mengandung bahan kimia berbahaya. Biodegradabilitas pun tinggi. Sementara komponen surfaktan yang merupakan komponen utama E4 hampir terdekomposisi seluruhnya dalam waktu 3 hari setelah digunakan di lapangan sehingga tidak meninggalkan efek buruk di tanah atau vegetasinya.
Keuntungan lain E4 adalah mudah digunakan karena sifat fisiknya seperti air dan tidak memiliki sifat licin seperti deterjen yang mengganggu aktivitas pemadam kebakaran. Penggunaan E4 juga tidak memerlukan peralatan khusus seperti pompa bertekanan tinggi dan dapat digunakan dengan jenis alat apa saja seperti pompa mesin dan jetshooter jika diencerkan dengan air sebelum disemprotkan.
Keunggulan-keunggulan tersebut menjadikan cairan pemadam yang dikembangkan ALSOK itu menyandang predikat Easy, Effective, Eco-friendly, Extinguisher, yang menginspirasi nama E4.
E4 telah digunakan oleh PT. Wana Subur Lestari (WSL) dan PT. Mayangkara Tanaman Industri (MTI) yang merupakan perusahaan HTI anggota Sumitomo Forestry Group di Kalimantan Barat sejak tahun 2020.
“Kami melaksanakan pengelolaan tinggi muka air tanah yang tepat dan juga melakukan pemantauan dengan tenaga manusia maupun teknologi pemantauan dengan real-time, tetapi kebakaran di area gambut dan area dengan sumber air yang terbatas tetap merupakan ancaman besar. Efektifitas E4 sudah diverifikasi. Kami akan lebih memanfaatkannya untuk penanggulangan kebakaran pada tahun ini,” ujar Tsuyoshi Kato, Presiden WSL dan MTI.
Ancaman
Sekadar mengingatkan, karhutla melalap 2,6 juta hektare pada tahun 2015 dan 1,6 juta hektare pada tahun 2019. Tak hanya hutan alam yang menjadi rumah bagi flora dan fauna yang berharga, karhutla juga menyambar hutan tanaman, perkebunan, dan areal pertanian komersial.
Karhutla juga menyebabkan asap tebal yang membumbung jauh hingga ke Negara tetangga sehingga menggangu aktivitas kehidupan. Selain itu, karhutla melepas emisi gas rumah kaca (GRK) dalam jumlah besar yang bisa memicu perubahan iklim global. Ini menjadikan karhutla bukan saja persoalan domestik tapi sudah menjadi isu Internasional.
Kerugian lain karhutla adalah dari sisi kesehatan. BNPB memperkirakan 919.516 orang di seluruh Indonesia menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) akibat karhutla pada musim kemarau parah dari Februari hingga September 2019.
Ancaman karhutla pada kesehatan masyarakat semakin meningkat seiring dengan pandemi COVID-19 sejak awal tahun 2020. Beruntung, tahun lalu kemarau cukup basah sehingga kabut asap tak ikut memperparah keadaan.
Kini, dengan kemarau yang diproyeksikan akan lebih kering, muncul kekhawatiran serangan ganda kabut asap dan COVID-19. Oleh karena itu, kolaborasi semua pihak untuk pengendalian karhutlaadalah keniscayaan.
Termasuk mereka pemegang konsesi pemanfaatan lahan. Perusahaan kehutanan dan perkebunan perlu melakukan upaya ekstra untuk pengendalian karhutla. Upaya pemadaman lebih awal sebelum api menyebar secara luas menjadi sangat serius untuk meminimalisir skala kebakaran.
Pengendalian karhutla yang memadai semakin penting pada lahan gambut. Ini tidak lepas dari sifat sifat gambut yang mudah terbakar saat kering. Risiko kebakaran gambut semakin meningkat ketika tinggi muka air tanah (TMAT) turun di bawah 40 cm akibat pengelolaan air yang tidak tepat.
Jika terbakar, api di lahan gambut tidak hanya menghanguskan tanaman dan serasah tetapi menjalar hingga jauh ke bawah permukaan. Kalau sudah begini, api akan sulit dipadamkan sepenuhnya. Air yang disemprot bakal menguap sebelum mencapai bagian yang terbakar di bawah permukaan.
Kalaupun karhutla di permukaan gambut padam, sewaktu-waktu api bisa muncul kembali. Api malah juga bisa muncul di tempat lain karena menjalar di bawah permukaan.
Oleh karena karakteristik tersebut, butuh air dalam jumlah besar untuk pemadaman karhutla gambut. Persyaratan ini membuat karhutla gambut yang sudah terlanjur meluas semakin sulit dikendalikan.
Kini harapan semakin besar untuk pengendalian karhutla yang penuh tantangan dengan teknologi yang dikembangkan perusahaan Jepang. E4 bisa menjadi solusi baru untuk mengatasi musim kemarau yang parah tahun 2021 dan meminimalkan risiko kerusakan lingkungan dan kesehatan.
Sugiharto