Ekspor Kayu tak Perlu ETPIK

Kementerian Perdagangan kembali membuat perubahan kebijakan terkait ekspor produk industri kehutanan. Belum sebulan ekspor furnitur dan kerajinan dibebaskan dari kewajiban sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK), yakni tak perlu melakukan deklarasi ekspor (DE), mendadak aturan itu dianulir. Kini, ekspor furnitur harus menggunakan dokumen yang menjelaskan asal-usul kayu dari pemasok yang sudah memegang sertifikat legalitas kayu (S-LK).

Ketika Permendag No.66/M-DAG/8/2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan diumumkan awal Oktober, kegaduhan terjadi. Padahal, Permendag itu disebut Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) sebagai bagian dari kebijakan deregulasi paket I. Ada apa? Ternyata, aturan main sementara tentang deklarasi ekspor, yang jadi bagian SVLK, dihapus total. Artinya, berbeda dengan ekspor produk industri kehutanan lainnya, persyaratan SVLK tak berlaku untuk furnitur.

Namun, ketika protes bermunculan, terutama dengan kemungkinan masuknya kayu ilegal, Thomas tak kuasa bertahan. Meski baru diumumkan awal Oktober, meski sudah diteken 27 Agustus 2015, Permendag 66/2015 dianulir lewat Permendag No. 89/M-DAG/PER/10/2015. Jika Permendag 66/2015 membebaskan total ekspor furnitur dari aturan SVLK, termasuk aturan DE sampai Desember 2015, maka Permendag 89/2105 harus melampirkan dokumen yang menjelaskan asal-usul kayu dari pemasok yang sudah memiliki sertifikat legalitas kayu (S-LK).

Loh, deregulasi lagi? Tidak juga, ternyata. Pasalnya, menurut Direktur Ekspor Hasil Pertanian dan Kehutanan Kementerian Perdagangan, Nurlaila, industri hilir hasil kehutanan yang termasuk dalam golongan B bisa mengekspor cukup dengan melampiri dokumen fotokopi S-LK atau Deklarasi Kesesuaian Pemasok (DKP) bahan baku. “Dokumen itu bisa juga berupa nota pembelian dari pemasok yang ber S-LK atau ber-DKP atau dokumen lainnya yang membuktikan bahwa bahan baku kayu yang digunakan adalah legal,” ujarnya.

Perubahan kebijakan ini lagi-lagi mengejutkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Bahkan, Staf Ahli Menteri LHK bidang Ekonomi Sumber Daya Alam, Agus Justianto mengaku bingung dengan implementasinya karena terkait dengan sistem informasi legalitas kayu (SILK) yang nyambung ke Inatrade dan Indonesia National Single Windows (INSW).

“Ini perlu penjelasan, karena nanti di bea cukai mereka harus bisa memastikan apakah produk kayu disertai dokumen yang berasal dari SVLK atau tidak. Selama ini, untuk memastikannya, ada dokumen V-Legal. Nah, kalau dihilangkan, untuk mengetahui bahan baku legal atau tidak, siapa yang verifikasi?” katanya bertanya.

Tapi itu belum seberapa. Permendag 89/2015 malah menghapus ketentuan Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan (ETPIK). Ekspor produk kayu bisa dilakukan industri pemilik TDI atau IUI dan TDP. Bahkan, ekspor juga bisa dilakukan pedagang pemegang TDP dan SIUP. Ini yang mengejutkan Ketua Asosiasi Pengusaha Kayu Gergajian dan Kayu Olahan Indonesia (ISWA), Soewarni. “Tanpa ETPIK, tukang bakso nanti bisa mengajukan ekspor kayu,” katanya. AI