Terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 89/M-DAG/PER/10/2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan memberi kejutan bagi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Berdasarkan ketentuan itu, ekspor produk mebel dan kerajinan untuk tujuan ekspor tak dikenakan kewajiban penggunaan dokumen v-legal, yang merupakan bagian dari Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).
Strategi lain pun ditempuh. Pendekatan pasar dengan mendesak Uni Eropa untuk segera mensahkan dokumen v-legal sebagai lisensi FLEGT, sebagai bagian dari perjanjian kemitraan sukarela untuk penegakan hukum, perbaikan tata kelola, dan perdagangan sektor kehutanan (FLEGT-VPA) Indonesia-Uni Eropa. Berbekal lisensi FLEGT, produk kayu Indonesia cukup lewat jalur hijau untuk menembus Eropa.
Keterkejutan diungkapkan oleh Staf Ahli Menteri LHK bidang Ekonomi Sumber Daya Alam, Agus Justianto. Menurut dia, dalam pembahasan rancangan permendag tidak dicapai kesepakatan tentang pembebasan produk mebel dan furnitur dari penggunaan dokumen v-legal. “Pembahasannya masih soal penggunaan dokumen Deklarasi Ekspor. Terus terang kami terkejut,” kata dia, Senin (26/10/2015).
Pembebasan mebel dan kerajinan dari penggunaan dokumen v-legal diatur dalam Pasal 4 ayat 2 Permendag No 89/M-DAG/PER/10/2015. Selain mebel dan kerajinan, produk yang termasuk dalam 15 nomor pos tarif yang diklasifikasikan dalam kelompok B, bebas dari penggunaan dokumen v-legal. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan, meski tidak diwajibkan menggunakan dokumen v-legal, ekspor produk dalam kelompok B harus disertai dokumen yang yang membuktikan bahwa bahan bakunya telah memperoleh sertifikat legalitas kayu (S-LK) atau sesuai dengan ketentuan penatausahaan hasil hutan dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Agus mengingatkan, SVLK adalah bagian dari perbaikan tata kelola hutan di tanah air. Sistem itu memastikan produk kayu yang diperdagangan berasal dari sumber yang legal dan lestari. Itu sebabnya, seluruh rantai pasokan kayu dari hulu hingga hilir harus dipastikan legalitas seluruhnya. “Kalau di hilir ada produk yang dikecualikan, sistem ini tak akan berjalan sempurna karena ada celah masuk kemungkinan terjadi sumber ilegal,” kata Agus, yang juga pejabat Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan Kementerian LHK.
Agus sendiri mengaku bingung soal bagaimana implementasi Permendag tersebut nantinya. Sebelumnya, ekspor seluruh produk berbasis kayu melewati sistem informasi legalitas kayu (SILK) yang terhubung dengan Inatrade dan Indonesia National Single Windows (INSW) yang menjamin kelancaran ekspor.
“Ini perlu penjelasan, karena nanti di bea cukai mereka harus bisa memastikan apakah produk kayu disertai dokumen yang berasal dari SVLK atau tidak. Selama ini, untuk memastikannya, ada dokumen V-Legal. Nah, kalau dihilangkan, untuk mengetahui bahan baku legal atau tidak, siapa yang verifikasi?” ujar dia bertanya.
Agus tak yakin jika Bea dan Cukai akan sanggup melakukan verifikasi untuk seluruh dokumen ekspor produk kayu yang dibebaskan dari impelementasi SVLK. Berdasarkan data SILK, nilai ekspor menggunakan dokumen V-Legal meningkat. Dari 6 juta dolar AS pada tahun 2013 menjadi 6,6 juta dolar AS (2014) hingga 8,2 juta dolar AS (per 1 Oktober 2015).
FLEGT
Tak diakomodasi dalam Permendag tak lantas Kementerian LHK menarik mundur upaya mendorong penggunaan kayu legal. Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian LHK, Putera Parthama menyatakan akan mendesak UE untuk segera mensahkan v-legal sebagai lisensi FLEGT. Menurut dia, dinamika yang berkembang saat ini tak lepas dari berlarutnya pengakuan v-legal sebagai lisensi FLEGT.
“Dengan pasar yang mensyaratkan penggunaan v-legal, maka otomatis semua produk kayu Indonesia akan menggunakan dokumen tersebut,” kata Putera.
Meski bukan atas permintaan Uni Eropa, negosiasi FLEGT-VPA Indonesia-UE memang tak bisa dilepaskan dari pengembangan SVLK sejak 10 tahun lalu. Dalam negosiasi tersebut, Indonesia berjanji untuk menghentikan pembalakan liar dan perdagangan kayu ilegal. Sementara UE berkomitmen untuk hanya menerima kayu legal. Berdasarkan agenda negosiasi, pengesahan v-legal sebagai lisensi FLEGT bisa dilakukan mulai awal tahun 2016.
“Jika v-legal bisa segera diakui sebagai lisensi FLEGT, maka kita juga bisa memaksa UE untuk memenuhi komitmennya hanya membeli kayu legal. Jadi, kita diuntungkan,” katanya.
Terkait hal itu, Putera mengaku sudah melakukan pertemuan dengan Duta Besar UE untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, Vincent Gurend. Menurut Putera, pihak UE memahami dinamika yang terjadi di Indonesia. Pihak UE, kata Putera, juga memahami keinginan Indonesia untuk pengesahan lisensi FLEGT, namun perlu dikomunikasikan dengan 28 negara anggota terlebih dahulu.
Saat ini, SVLK sudah mendapat pengakuan dari Australia sebagai sistem penjaminan yang dapat memenuhi pemberlakuan undang-undang (UU) larangan pembalakan liar atau Illegal Logging Prohibition Act (ILPA) yang dituangkan dalam Country Specific Guidelines (CSG).
Upaya lainnya adalah terus melakukan pendekatan kepada pelaku usaha kehutanan untuk implementasi SVLK. Putera menyatakan, SVLK penting untuk perbaikan tata kelola hutan di tanah air. “Tata kelola hutan yang baik bisa mencegah kejadian buruk seperti kebakaran hutan,” katanya.
Melemahkan
Sementara itu, Zainuri Hasyim dari Jaringan Independen Pemantau Kehutanan (JPIK), menyatakan, Permendag No. 89 tahun 2015 adalah bukti bahwa Menteri Perdagangan tidak mengindahkan masukan dan harapan banyak pihak untuk ikut serta memperkuat upaya perbaikan tata kelola kehutanan yang telah dilakukan selama ini.
“Alih-alih berupaya memperkuat SVLK, Menteri Perdagangan justru mendukung upaya pelemahan tata kelola kehutanan, bahkan membuka kembali ruang perdagangan kayu ilegal,” katanya.
JPIK merupakan salah satu jejaring pemantau independen yang diakomodasi dalam SVLK. Terakomodasinya pemantau independen menjadi salah satu keunikan SVLK sekaligus keunggulannya memastikan seluruh seluruh sistem berjalan transparan dan akuntabel.
Menurut Zainuri, kewajiban melampirkan dokumen yang membuktikan bahwa bahan baku industri mebel telah memperoleh S-LK sama sekali tidak cukup untuk menjamin bahwa keseluruhan pasokan bahan baku yang digunakan industri mebel adalah legal. Pasalnya, karena tidak ada verifikasi independen oleh auditor terhadap dokumen-dokumen tersebut seperti dalam skema SVLK. “Ini membuat peluang pencucian kayu dapat terjadi sepanjang rantai pemasok,” katanya. Sugiharto
Permendag 89/2015 Diskriminatif
Ketua Asosiasi Pengusaha Kayu Gergajian dan Kayu Olahan Indonesia (ISWA), Soewarni menyatakan, Permendag No. 89 tahun 2015 diskriminatif. Pasalnya, ketentuan tersebut membedakan perlakuan tata cara ekspor kayu untuk produk mebel dan kerajinan dengan membebaskanya dari kewajiban penggunaan dokumen v-legal.
Keistimewaan tersebut diberikan dengan justifikasi pelaku usaha mebel dan kerajinan adalah industri kecil dan menengah. “Padahal, anggota saya juga sebagian besar IKM,” kata Soewarni, Kamis (29/10/2015).
Meski banyak anggota IKM, toh ISWA tetap mendukung penuh implementasi SVLK. Hal itu, kata Soewarni, dikarenakan sistem tersebut mendukung perbaikan tata kelola perusahaan yang baik. Dia menjelaskan, SVLK mengharuskan pelaku usaha mencatat semua mutasi bahan baku kayu, bahkan di dalam pabrik. Ini bertujuan untuk mencegah kebocoran dari kayu ilegal. “Kewajiban ini bagus buat industri karena administrasi bahan bakunya semakin jelas,” katanya.
Dia juga mengingatkan, SVLK sudah dibangun sejak 10 tahun lalu dan telah mendapat pengakuan dari berbagai negara. Jika sistem tersebut ditinggalkan, Indonesia bakal kehilangan muka di dunia internasional. “Kita bisa losing face,” katanya.
Soewarni memahami ada kelompok usaha yang kesulitan memenuhi persyaratan SVLK. Persyaratan itu sendiri sebenarnya merupakan kewajiban standar mereka yang mengoperasikan industrinya. Persyaratan itu misalnya izin gangguan (HO) atau izin terkait ketenagakerjaan. Untuk itu, dia menyarankan agar SVLK bisa diperbaiki dengan fokus kepada persyaratan legalitas kayu. “Ngurus SVLK-nya sebenarnya mudah. Tapi izin seperti HO, izin lingkungan, dan izin lain yang kerap sulit dihadapi oleh pelaku usaha,” katanya.
Soewarni menilai ada yang perlu diperjelaskan dari Permendag 89/2015 terkait kewajiban menyertakan dokumen yang membuktikan bahwa bahan baku produk mebel telah memperoleh sertifikat legalitas kayu (S-LK) atau sesuai dengan ketentuan penatausahaan hasil hutan dan peraturan perundang-undangan lainnya. “Ini seperti jebakan batman. Dibebaskan dari v-legal, tapi harus punya dokumen yang membuktikan legalitas bahan baku,” katanya.
Kritik lain yang disampaikan Soewarni terkait terbitnya Permendag 89/2015 adalah hilangnya ketentuan tentang Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan (ETPIK). Padahal, registrasi ETPIK penting sebagai bagian dari pendokumentasian pelaku-pelaku ekspor produk kayu. “Tanpa ETPIK, tukang bakso nanti bisa mengajukan ekspor kayu,” katanya.
Berdasarkan Permendag 89/2015. Ekspor produk kayu bisa dilakukan oleh industri pemilik Tanda Daftar Industri (TDI) atau Izin Usaha Industri (IUI), dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP). Ekspor juga bisa dilakukan bagi pengusaha dagang pemegang TDP dan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP). Sugiharto