Meski menuai protes, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terus melaju soal beleid pengelolaan gambut. Usai merampungkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 57 tahun 2016 tentang Perubahan atas PP No. 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, KLHK kini mematangkan sejumlah ketentuan teknis pengelolaan gambut.
Kontroversi pun dipastikan belum akan usai dalam waktu dekat. Titik kritisnya masih soal penetapan kriteria gambut rusak, di mana tinggi muka air dibatasi paling rendah 0,4 meter dari permukaan. Selain itu, kriteria penetapan zona lindung dalam Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) juga masih dipertanyakan.
Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, Karliansyah menyatakan, ketentuan teknis berupa Peraturan Menteri LHK saat ini sedang difinalisasi. “Awal tahun 2017 mudah-mudahan sudah bisa disahkan,” kata dia di Jakarta, Rabu (21/12/2016).
Nantinya, akan ada empat Permen LHK yang diterbitkan, yaitu Permen LHK tentang Pengelolaan Air Ekosistem Gambut, Permen LHK tentang Tata Cara Pemantauan Muka Air Tanah Terhadap Usaha dan/atau Kegiatan di Ekosistem Gambut, Permen LHK tentang Tata Cara Pemulihan Ekosistem Gambut dalam KHG, dan Permen LHK tentang Kriteria Pulih Fungsi Ekosistem Gambut.
Dari salinan draft yang diterima Agro Indonesia, ketentuan paling krusial yang diatur dalam Permen LHK tentang Pengelolaan Air Ekosistem Gambut adalah tentang kriteria kerusakaan gambut. Berdasarkan kriteria itu, gambut rusak jika muka air tanah lebih rendah 0,4 meter dari permukaan gambut, yang diukur dari titik penataan. Kriteria kerusakan gambut lainnya adalah tereksposnya sedimen berpirit dan/atau kwarsa di bawah lapisan gambut. Ketentuan ini ‘ditransfer’ langsung dari PP 57/2016 Pasal 23 ayat 3.
Untuk titik penataan, diatur setidaknya mewakili 15% dari luas keseluruhan petak produksi.
Karliansyah menjelaskan, penetapan batas muka air paling rendah 0,4 meter dari permukaan bukan tanpa alasan. Menurut dia, saat pembahasan PP 57/2016, sejumlah usulan diterima. Ada yang mengusulkan batas paling rendah, 0,4 meter; 0,6 meter; dan 0,8 meter. Meski demikian, akhirnya ditetapkan batas muka air paling rendah adalah 0,4 meter.
“Karena itu yang paling aman (mencegah kerusakan dan kebakaran lahan gambut),” kata Karliansyah.
Hasil penelitian
Lagipula, lanjut dia, penetapan itu bukan tanpa dasar. Ada penelitian yang dilakukan dengan melibatkan peneliti Jepang yang menyatakan batas kritis muka air gambut untuk mencegah kebakaran adalah 0,4 meter.
Penelitian yang dimaksud Karliansyah terbit di Jurnal Tropics, Volume 19 (4) yang terbit 1 September 2011. Penelitian tersebut bertajuk The effect of the precipitation pattern of the dry season on peat fire occurance in the Mega Rice Project area, Central Kalimantan, Indonesia. Penelitian dilakukan oleh Erianto Indra Putra dari IPB dan Hiroshi Hayasaka dari Universitas Hokkaido, Jepang.
Karliansyah menuturkan, usulan muka air pada rentang 0,6-0,8 meter dikarenakan areal gambut yang dibudidayakan tak memiliki tata kelola air yang baik. Menurut dia, dengan tata kelola air yang baik, maka air yang melembabkan gambut pada batas 0,4 meter dari permukaan tidak akan mematikan tanaman.
Karliansyah mengklaim hal itu sudah dibuktikan di beberapa pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) hutan tanaman industri (HTI), salah satunya milik kelompok Sumitomo. Dia menegaskan, saat ini sudah tersedia ilmu pengetahuan dan teknologi yang memadai yang memastikan tanaman tetap bisa tumbuh dengan baik dengan muka air gambut tak lebih rendah dari 0,4 meter. “Asal perusahaannya niat, bisa kok,” tegasnya.
Proper
Sementara itu pada draft Permen LHK tentang Tata Cara Pemantauan Muka Air Tanah Terhadap Usaha dan/atau Kegiatan di Ekosistem Gambut, diatur bagaimana pemantauan, evaluasi pemantauan dan pembiayaan kegiatan pemantauan pengelolan gambut dilakukan. Ketentuan ini nantinya akan terkait erat dengan penilaian Proper (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan).
Karliansyah menuturkan, pemantauan akan dilakukan oleh Petugas Pengawas Lingkungan Hidup yang ada di Kementerian LHK maupun di Badan Lingkungan Hidup Daerah atau oleh petugas Kementerian LHK yang telah mendapat sertifikasi
Selanjutnya, berdasarkan draft Permen LHK tentang Tata Cara Pemulihan Ekosistem Gambut dalam KHG, akan diatur keharusan dilakukan upaya pemulihan pada gambut yang memenuhi kriteria kerusakan. Pada hutan konservasi, pemulihan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Sementara pada kawasan hutan lindung, hutan produksi, taman hutan raya, dan areal penggunaan lain (APL) — termasuk di lahan masyarakat dan hutan adat — pemulihan gambut menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Jika lahan atau hutan yang harus dipulihkan dibebani oleh kegiatan usaha, maka pemulihan menjadi kewajiban penanggung jawab usaha.
Ada beberapa cara pemulihan. Termasuk, suksesi alami, restorasi fungsi hidrologis ekosistem gambut, rehabilitasi vegetasi; dan/atau cara lain sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk rehabilitasi vegetasi, ada sejumlah jenis tanaman adaptif yang bisa dipilih. Namun, akasia — yang lazim ditanam untuk HTI pulp — dan sawit tak masuk dalam daftar.
Draft terakhir yang disiapkan adalah Permen LHK tentang Kriteria Pulih Fungsi Ekosistem Gambut. Ketentuan ini nantinya akan mengatur tentang kriteria pulih ekosistem gambut, indikator kinerja pemulihan ekosistem gambut; dan penilaian kinerja pemulihan ekosistem gambut
Karliansyah juga menyatakan, sebagai tindak lanjut dari PP 57/2016, Kementerian LHK juga sedang menyiapkan untuk penetapan KHG. “Mudah-mudahan dalam waktu dekat sudah keluar penetapannya,” katanya.
Dia menambahkan, draft penetapan KHG sudah mendapat persetujuan dari Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta Direktorat Jenderal Tata Ruang Kementerian Agraria dan Tata Ruang.
Nantinya, pada setiap KHG akan ada fungsi budidaya dan fungsi lindung. Sampai ada penetapan tentang zonasi di KHG, aktivitas pembukaan lahan gambut dihentikan.
Karliansyah menjelaskan, penetapan fungsi lindung akan mempertimbangkan keberadaan kubah gambut. Tak hanya satu, tapi seluruh kubah gambut dan 30% areal di sekitarnya pada KHG akan langsung ditetapkan sebagai fungsi lindung. “Karena setelah dilakukan uji di lapangan dan telah memberikan pembelajaran bahwa dalam satu KHG ternyata tidak hanya terdiri dari satu kubah gambut, namun bisa terdiri beberapa kubah gambut,” papar Karliansyah.
Dia menambahkan, areal gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter juga langsung ditetapkan sebagai gambut dengan fungsi lindung.
Pada gambut dengan fungsi lindung, tak boleh lagi ada kegiatan pembukaan lahan untuk kegiatan penanaman baru, meski lahan tersebut dibebani izin budidaya. Untuk yang sudah terlanjur dibudidayakan, masih diberi kesempatan daur tanamannya habis atau izin konsesinya selesai, mana yang lebih dulu tercapai. Setelah itu, lahan gambut harus dikembalikan sebagai fungsi lindung. Sugiharto
PP 57/2016 Musnahkan Potensi Ekonomi
Kalangan pakar kembali mengingatkan rezim pengelolaan gambut dengan batas muka air paling rendah 0,4 meter sebagai kriteria kerusakan sejatinya kurang tepat. Kebijakan itu dinilai berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan ketahanan pangan, sosial, ekonomi, politik dan keamanan kawasan budidaya.
“Perubahan PP 71/2014 menjadi PP 57/2016, secara substansial tidak menjawab persoalan pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya berkelanjutan. Padahal, sebagian areal gambut berpotensi untuk budidaya berkelanjutan,” kata Sekjen Himpungan Ilmu Tanah Indonesia (HITI), Usnaini.
Menurut dia, PP 57/2016, lebih menguatkan upaya konservasi lahan gambut, sementara usaha-usaha budidaya yang sudah dilakukan petani, pekebun, masyarakat maupun dunia usaha dilemahkan.
Upaya konservasi, katanya, memang sangat diperlukan. Tetapi, potensi budidaya berkelanjutan harus terus dikembangkan, mengingat kebutuhan lahan budidaya berkelanjutan terus meningkat untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, seperti pangan dan lapangan kerja.
Sementara itu, Sekjen Himpunan Gambut Indonesia, Suwardi menilai, munculnya PP 57/2016 tak bisa dilepaskan dari campur tangan pihak asing yang ingin melemahkan perkebunan kelapa sawit nasional, serta sektor kertas yang lebih berdaya saing di pasar internasional.
Industri sawit dalam negeri, tambahnya, mampu memproduksi minyak sawit mentah sekitar 4 ton/hektare/tahun, sedangkan produksi minyak nabati negara lain hanya 0,5 ton/hektare/tahun. Begitu juga produksi kayu akasia, sebagai bahan baku kertas. Di Indonesia, untuk menghasilkan 120 ton/hektare hanya perlu waktu lima tahun, sedangkan di negara-negara Eropa membutuhkan waktu tanam hingga 25 tahun.
“Oleh karena itu, kalau PP 57/2016 ini diterapkan, akan habis potensi ekonomi yang dihasilkan dari industri sawit serta kertas. Begitu juga usaha budidaya pangan yang dilakukan petani maupun pekebun akan habis,” katanya.
Suwardi mengatakan, gambut harus dikelola secara seimbang, yakni antara konservasi dan budidaya sehingga tidak merugikan salah satu pihak.
Pakar gambut IPB Basuki Sumawinata menambahkan, salah satu revisi yang telah diusulkan kalangan akademisi sejak lama adalah terkait ketinggian muka air 0,4 meter — yang berpotensi mematikan budidaya komoditas unggulan seperti sawit dan akasia. “Pemerintah seharusnya merevisi penetapan batas muka air gambut paling rendah 0,4 meter dari permukaan gambut. Ketentuan itu tidak tepat karena kerusakan gambut tak bisa hanya sekadar diukur dari tinggi rendahnya muka air,” katanya.
Sebagai solusi, katanya, pihaknya menyarankan agar ketinggian muka air 0,4 meter direvisi menjadi rentang, misalnya pada 0,6-0,8 meter. Sebaiknya muka air dipertahankan pada ketinggian 0,6-0,8 meter, untuk memperlambat subsidensi. Apalagi, saat ini banyak kawasan gambut telah beralih fungsi menjadi permukiman dan perkotaan.
Padahal, jika mengacu ketentuan tersebut, sekitar 30% dari kawasan hidrologis gambut langsung ditetapkan sebagai fungsi lindung, yang terlarang untuk kegiatan budidaya.
Basuki berpendapat, kriteria baku ke gambut juga bisa dipakai sebagai pengganti tinggi muka air. Gambut dikatakan rusak atau hidrofobik jika tidak lagi memiliki kemampuan untuk menyimpan air. Kriteria ini dilengkapi nilai rerata kadar air kritis terjadinya hidrofobisitas. Sugiharto