Dokumen Cukup Hasil Fotokopi

Kayu lapis

Pemerintah melakukan debirokratisasi dan deregulasi terhadap kebijakan ekspor produk kehutanan. Hal itu dilakukan melalui penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 89/M-DAG/PER/10/2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Kehutanan.

Permendag baru tersebut diluncurkan sebagai pengganti dari Permendag Nomor 66/M-DAG/8/2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 97/M-DAG/PER/12/2014 Tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan.

Dalam Permendag Nomor 89 itu, ada perubahan krusial yang dilakukan Kemendag, yakni kegiatan ekspor oleh industri hilir hasil hutan tidak lagi perlu dilengkapi dengan dokumen V-Legal tetapi cukup disertai dengan dokumen yang dapat membuktikan bahwa bahan bakunya berasal dari kayu yang diperoleh dari penyedia bahan baku yang sudah memiliki S-LK atau sesuai dengan ketentuan penatausahaan hasil hutan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menurut Direktur Ekspor Hasil Pertanian dan Kehutanan Kementerian Perdagangan, Nurlaila, dengan adanya aturan baru itu, industri hilir hasil kehutanan yang termasuk dalam golongan B, dapat melakukan ekspor dengan melampiri dokumen berupa fotokopi S-LK atau Deklarasi Kesesuaian Pemasok (DKP) bahan baku.

“Dokumen itu bisa juga berupa nota pembelian dari pemasok yang ber S-LK atau ber-DKP atau dokumen lainnya yang membuktikan bahwa bahan baku kayu yang digunakan adalah legal,” ujarnya kepada Agro Indonesia, pekan lalu.

Kegiatan ekspor hasil kehutanan oleh industri hilir memang telah menjadi persoalan pelik yang melibatkan sejumlah instansi pemerintah dan pengusaha, khususnya IKM di sektor industri furnitur dan mebel. Pengusaha menilai kebijakan pemerintah yang mengharuskan industri hilir juga mengikuti proses SVLK sebagai persyaratan ekspor, sangat memberatkan dan menghambat kegiatan ekspor. Terlebih aturan itu belum diwajibkan di negara tujuan ekspor.

Keluhan IKM itu lalu ditanggapi pemerintah melalui kesepakatan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dengan menerbitkan aturan yang menyatakan untuk bisa melakukan ekspor, IKM produk hasil kehutanan cukup menyertakan dokumen deklarasi ekspor (DE) saja.

Melalui Permendag Nomor 97/M-DAG/PER/12/2014, kebijakan DE itu memiliki masa berlaku selama satu tahun yang akan berakhir pada Desember 2015. Selain memberikan kemudahan berupa DE, Kementerian Perdagangan dan Kementerian LHK juga terus mendorong pelaku usaha untuk melakukan proses SVLK.

Kemudian pada akhir Agustus 2015, Kemendag mengeluarkan lagi aturan baru berupa Permendag Nomor 66/M-DAG/PER/8/2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 97/M-DAG/PER/12/2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan.

Beberapa poin penting yang terdapat dalam Permendag 66/2015 adalah perubahan pada pasal 20 dari Permendag 97 dengan menghapus ayat dua dari pasal tersebut.

Melalui Permendag 66, ketentuan mengenai Deklarasi Ekspor — yang digunakan sebagai dokumen pelengkap pabean berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2015, yang sebelumnya ada di ayat dua Pasal 20 Permendag 97 — dihapus.

Namun, beberapa hari setelah Permendag 66 diteken Mendag Thomas Lembong, Presiden Jokowi meluncurkan paket kebijakan jilid I yang berfokus pada debirokratisasi, deregulasi dan pemberian insentif. Kemendag pun diberi mandat untuk melakukan simplifikasi terhadap sejumlah kebijakan Kemendag yang selama ini dinilai kurang mendukung kegiatan usaha.

Karena itulah, ungkap Nurlaila, Kemendag mengeluarkan lagi kebijakan debirokratisasi dan deregulasi, sesuai yang diminta Presiden Jokowi, antara lain berupa penerbitan Permendag 89/M-DAG/PER/10/2015. “Permendag 89 diluncurkan sesuai mandat yang diberikan Kemendag untuk melakukan debirokratisasi dan deregulasi perizinan,” papar Nurlaila.

Karena sifatnya debirokratisasi dan deregulasi, maka berbagai aturan yang selama ini dinilai menghambat pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan ekspor-impornya dipangkas, dan yang masih belum jelas, diperjelas.

Dalam hal ini, ungkap Nurlaila, aturan ekspor produk hasil kehutanan untuk kelompok B atau sektor hilir, diperjelas lagi, di mana DE tidak lagi digunakan, tetapi cukup dengan persyaratan dokumen dari pemasok untuk membuktikan bahan baku yang dipakai adalah legal.

Pengusaha dukung

Aturan yang diluncurkan Kemendag itu langsung ditanggapi positif pelaku usaha di sektor hilir industri kehutanan. Ketua Dewan Pembina Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI), Sunoto menilai, aturan yang dikeluarkan pemerintah itu akan memudahkan kegiatan ekspor produk hasil hutan Indonesia.

“Kami siap memenuhi aturan tersebut dalam melakukan kegiatan ekspor,” ujar Sunoto kepada Agro Indonesia.

Dia menilai, aturan yang diterapkan Kemendag merupakan suatu hal yang positif karena tetap menunjukkan kesungguhan pemerintah untuk menjaga terjadinya aksi pembalakan liar melalui persyaratan dokumen bahan baku yang legal. Pada saat yang sama, pengusaha juga tetap diberi kemudahan di sektor hilir untuk melakukan kegiatan ekspor.

“Kami tentu saja akan mematuhi aturan itu dengan menyertakan dokumen dari pihak pemasok yang menunjukkan kalau bahan baku yang kami pakai adalah legal,” jelasnya.

Sunoto mengingatkan, upaya untuk mendorong pelaku usaha di dalam negeri berkembang dengan baik merupakan suatu keharusan bagi pemerintah, terlebih tidak lama lagi Indonesia akan menerapkan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Penerapan MEA atau perjanjian kerja sama lainnya, ungkap Sunoto, berpotensi menjadikan Indonesia sebagai pasar bagi produk-produk asing. “Karena itu, diperlukan upaya dari pemerintah untuk mendorong pelaku usaha di dalam negeri bisa berdaya saing tinggi dengan produk asing lainnya,” tegasnya. B Wibowo

Tak Perlu Berkilah Tidak Diajak Pembahasan

Ketua Tim Deregulasi Kementerian Perdagangan (Kemendag) Arlinda menegaskan, semua Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) yang dikeluarkan dalam rangka kebijakan debirokratisasi dan deregulasi yang dicetuskan Presiden Jokowi, sudah dibahas dan dipertimbangkan bersama dengan kementerian atau lembaga pemerintah dan asosiasi terkait.

Dia menyebutkan, penerbitan Permendag Nomor 89 Tahun 2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Kehutanan juga dilakukan pelalui pembahasan bersama instansi lain. Aturan itu telah dibahas bersama Kantor Menko Perekonomian dengan melibatkan Kementerian Perindustrian, Bea dan Cukai, Kementerian LHK dan asosiasi terkait.

Dalam pembahasan itu, ungkap Arlinda, Kantor Menko Perekonomian telah memberikan garis besar mengenai kebijakan-kebijakan yang perlu dilakukan oleh instansi lainnya.

“Jadi, tidak benar kalau setiap aturan yang dikeluarkan Kemendag dilakukan tanpa adanya pembahasan dengan pihak lain, apalagi dengan pihak-pihak yang berkaitan erat dengan aturan itu,” tegasnya.

Dia juga mengimbau kalau pihak-pihak yang tidak bisa menerima aturan yang dikeluarkan Kemendag itu tak perlu berkilah bahwa mereka tidak diajak melakukan pembahasan dan menjadikan isu ini untuk menjatuhkan pemerintah sendiri.

Akomodatif

Arlinda sendiri menilai isi Permendag 89 Tahun 2015 cukup akomodatif karena telah memenuhi keinginan pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan ekspor produk hasil kehutanan.

Misalnya, soal ketentuan SVLK. Arlinda menyatakan, Menteri Perdagangan Thomas Lembong sangat peduli dengan keberadaan SVLK. Hal ini dibuktikan dengan adanya persyaratan dokumen yang menyatakan kalau bahan baku yang dipakai adalah legal bagi industri hilir yang ingin melakukan ekspor.

Begitu juga dengan keinginan industri hilir agar dimudahkan kegiatan ekspornya, Kemendag juga mengakomodirnya dengan tidak mengharuskan mereka untuk melakukan proses SVLK terhadap hasil produk yang akan diekspornya.

Walaupun tidak mengharuskan proses SVLK terhadap industri hilir yang ingin melakukan ekspor, Arlinda menegaskan hal itu bukan berarti akan adanya celah bagi kayu ilegal untuk digunakan dalam kegiatan ekspor. “Dalam Permendag 89 itu terdapat proses verifikasi dan post-audit yang begitu ketat,” katanya.

Dia juga menjelaskan, aturan yang diluncurkan Kemendag tidak akan menganggu kegiatan ekspor produk hasil kehutanan, bahkan justru akan meningkatkan ekspor. Belum dijadikannya S-LK sebagai dokumen kepabeanan dalam kegiatan ekspor ke Uni Eropa jadi patokannya. “Kebijakan debirokratisasi dan deregulasi yang dikeluarkan Kemendag tidak akan menganggu kegiatan ekspor produk hasil hutan, karena SVLK belum jadi dokumen kepabeanan di sana,” tuturnya. B Wibowo