Pemerintah secara mengejutkan menghapus persyaratan dokumen sertifikat legalitas kayu (V-Legal) untuk ekspor furnitur, bahkan kemungkinan semua produk kayu ekspor. Padahal, dokumen tersebut merupakan bagian dari pemberlakuan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), yang menjadi tonggak bersejarah pengelolaan hutan lestari dan diakui oleh market internasional.
Perjuangan Indonesia mengatasi stigma buruk dalam mengelola hutan serta memperdagangkan kayu haram bukan kerja sebentar dan ringan. Butuh belasan tahun sejak dimulai tahun 2001 sampai kemudian lahir Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), yang mulai diberlakukan dari hulu-ke-hilir secara bertahap pada 2012 untuk semua produk kehutanan. Lewat Permendag No. 84/M-DAG/PER/12/2016 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan, semua produk kayu, apakah bubur kayu (pulp), kayu lapis (plywood), kayu pertukangan (woodworking) hingga mebel (furniture) wajib menyertakan dokumen V-Legal dalam proses ekspor.
Namun, tidak semua pelaku industri produk kehutanan yang setuju aturan kewajiban penyertaan V-Legal dalam proses ekspornya. Produsen furnitur, yang diwadahi Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), terus menentang aturan tersebut. Aturan SVLK dinilai menghambat dan berdampak negatif terhadap kinerja ekspor mebel dan kerajinan nasional. “HIMKI mengusulkan agar SVLK hanya berlaku di hulu, tidak di hilir. Kalaupun memang SVLK diperlukan, pemberlakuannya jangan mandatory (wajib), tapi voluntary (sukarela),” tegas Sekjen HIMKI, Abdul Sobur, Sabtu (14/3/2020).
Hebatnya, protes HIMKI itu mendapat respons positif Presiden Joko “Jokowi” Widodo, yang kebetulan adalah rimbawan. Melalui rapat koordinasi bidang ekonomi para pembantunya di kabinet, lahirlah Permendag Nomor 15 Tahun 2020 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan, yang diteken Menteri Perdagangan Agus Suparmanto pada 27 Februari 2020 dan mulai berlaku tiga bulan sejak aturan ini diundangkan. “Jangan sampai ada prosedur yang menghambat ekspor maupun impor,” tegas Mendag di sela Rakor Kemendag, pekan lalu.
Lewat Permendag 15/2020 ini, maka eksportir kayu pertukangan (woodworking) dengan nomor HS 4407, 4409, 4418 dan 9406 tak perlu lagi melampirkan dokumen V-Legal karena syarat yang ada di Permendag 84/2016 itu — yang telah diubah Permendag No. 38/M-DAG/PER/6/2017 — dihapus. Bahkan, ini yang membingungkan, Pasal 19 Permendag 15/2020 mencabut Permendag 84/2016 yang telah diubah beberapa kali itu. Padahal, Permendag 84/2016 juga memuat produk industri kehutanan lainnya yang wajib melampirkan dokumen V-Legal, terutama kayu lapis.
Menanggapi beleid baru ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkesan hati-hati. Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan KLHK, Rufi’ie memilih jawaban aman dengan dalih masih mempelajari lebih detil isi Permendag 15/2020. “Masih kami pelajari untuk menentukan langkah yang harus diambil,” katanya, Rabu (11/3/2020). Sementara peneliti Yayasan Auriga Nusantara, Syahrul Fitra mengaku, koalisi LSM sedang melakukan kajian mendalam Permendag 15/2020. Dia mempertanyakan tujuan Kemendag menghapus kewajiban dokumen V-Legal karena SVLK justru meningkatkan daya tawar produk Indonesia. “Hilangnya V-Legal berarti posisi tawar Indonesia bisa turun,” katanya. AI