Eksportir Australia Siap Pasok Sapi Perah ke Indonesia

Sapi perah yang dikumpulkan oleh SAILS untuk pengiriman ekspor pada Januari 2024. Foto: Beef Central

Dua eksportir ternak terkemuka Australia sepakat membentuk perusahaan patungan untuk memasok sapi perah ke Indonesia. Langkah itu ditempuh untuk menggaet peluang program susu gratis untuk siswa sekolah yang diluncurkan oleh Presiden Prabowo Subianto.

Tony Gooden dari Frontier Agri International dan Andy Ingle dari Southern Australian International Livestock Services (SAILS) mengonfirmasi pembentukan kemitraan komersial baru ini dalam sebuah wawancara dengan Beef Central pekan lalu.

Frontier Agri adalah eksportir utama sapi Australia ke Indonesia dan Vietnam. Perusahaan ini telah mengekspor lebih dari 100.000 ekor sapi ke Indonesia tahun 2024 dan hampir 1 juta ekor dalam 11 tahun beroperasinya.

Sementara SAILS adalah eksportir besar sapi perah dan sapi bakalan Australia. Sejak membeli bisnis ekspor “Landmark International” dari Nutrien pada Mei 2020, SAILS telah mengekspor 195.000 sapi perah dan sapi bakalan (pedaging), terutama dari Australia, tetapi juga dari Selandia Baru, Uruguay, dan Chili.

Gooden dan Ingle adalah pemain lama dalam industri ekspor ternak dan keduanya memulai karir mereka di bisnis ternak internasional Elders. Mereka juga pernah bekerja di bawah payung Nutrien dan mengatakan bahwa mereka memiliki pendekatan budaya dan struktural yang serupa dalam transaksi bisnis.

Para eksportir mengatakan, usaha patungan ini memanfaatkan kekuatan kolektif mereka yang mencakup hubungan yang telah lama terjalin dengan pelanggan di Indonesia dan pengalaman mendalam dalam mencari dan mengekspor sapi perah Australia.

Permintaan sapi perah meningkat

Permintaan sapi perah Indonesia diperkirakan akan meningkat dalam beberapa tahun mendatang di bawah kebijakan utama Presiden Prabowo Subianto untuk menyediakan makan siang gratis secara teratur, termasuk susu, kepada sekitar 82 juta anak sekolah di Indonesia.

Prabowo mengatakan, Indonesia akan membutuhkan lebih dari 1 juta sapi perah antara tahun 2025 sampai 2028 untuk mewujudkan rencana tersebut.

Pemerintah Prabowo siap mengalokasikan anggaran Rp71 triliun untuk mendukung program makanan sekolah gratis yang jadi andalan selama kampanye, termasuk Rp14 triliun untuk pengadaan susu segar.

Pemerintah juga dilaporkan telah mengarahkan sumberdaya untuk mempersiapkan lahan seluas 1,5 juta hektare (ha) bagi investor domestik dan asing yang bersedia membangun peternakan sapi perah, meningkatkan investasi di sektor pengolahan susu Indonesia, dan terlibat dalam pembicaraan dengan pengolah susu multinasional besar yang sudah mapan.

Sebelumnya Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengatakan bahwa pemerintah Prabowo juga akan mempermudah proses impor sapi perah untuk mendukung rencana makanan sekolah gratis.

Impor 1 juta ekor sapi perah dalam tiga tahun dan mengelola persyaratan tambahan untuk peternakan dan pengolahan susu jelas bukan pekerjaan ringan dan merupakan tugas logistik besar.

Terlepas apakah volume yang diisyaratkan itu memadai atau tidak, tetapi Presiden Prabowo tampaknya tidak meragukan kekuatan keinginannya untuk bertindak dalam mengimpor sapi perah untuk menggerakkan Indonesia menuju tujuan swasembada produksi protein.

‘Kami ingin mendukung program ini’

“Kami ingin mendukung program ini,” tandas Tony Gooden kepada Beef Central.

“Memang jelas sekali ada peluang komersial di sana, tetapi kami ingin melihat kebijakan ini berhasil dan mencapai tujuannya.

“Indonesia adalah industri peternakan yang sangat penting, tahun ini akan mengambil hampir 600.000 sapi Australia.”

Sebagian besar peternakan sapi perah di Indonesia terletak di dataran tinggi Jawa Tengah dan Timur, di mana suhu dan iklim sangat cocok untuk produksi sapi perah, kata Gooden.

Sementara Ingle mengatakan, jenis sapi perah yang diekspor dari Australia ke Indonesia akan sangat bergantung pada daerah dan lingkungan tempat mereka akan ditempatkan.

“Kami akan berbicara dengan pelanggan dan memberi saran tentang hewan terbaik untuk daerah mana, apakah mereka murni Holstein atau Jersey atau hewan silang Holstein/Jersey.

“Ada beberapa wilayah iklim yang berbeda di sana. Jelas setiap proyek perlu memiliki dukungan teknis dan saran serta dilihat secara individual.”

Gooden mengatakan, mitra Indonesia telah mengindikasikan bahwa pemerintah berencana untuk memulai dengan volume awal yang dapat dikelola antara 30.000 dan 40.000 ekor sapi.

Dukungan pra dan pasca-penjualan sangat penting

Meski program yang dijalankan pemerintahan Prabowo merupakan peluang empuk, namun sejumlah pihak juga khawatir, terutama di antara anggota Dewan Eksportir Ternak Australia tentang potensi pemain jangka pendek yang tidak berkomitmen pada investasi pra atau pasca-penjualan. Para pemain jangka pendek ini sekadar mencoba “memanfaatkan peluang” dan mengirim sapi yang salah ke tempat yang salah dan berpotensi menghasilkan hasil yang buruk.

Ekspor sapi bakalan Australia ke Indonesia diatur oleh Standar Australia untuk Ekspor Ternak (ASEL) hingga titik kedatangan di negara tujuan ekspor, tetapi tidak oleh Skema Jaminan Rantai Pasokan Ekspor (ESCAS) — yang membuat eksportir bertanggung jawab atas kesejahteraan sapi penggemukan dan sapi potong Australia dari titik pendaratan hingga titik pemotongan di pasar tujuan.

CEO Dewan Eksportir Ternak Australia (ALEC), Mark Harvey-Sutton mengatakan kepada Beef Central bahwa anggota ALEC memegang Kode Etik yang mencakup kebijakan khusus terkait pengelolaan ternak bakalan di negara tujuan.

“Komitmen Presiden Prabowo merupakan peluang signifikan bagi Australia sebagai negara dan bagi industri kami, dan sangat penting bahwa kami bersama-sama, sebagai Pemerintah Australia dan industri, mendukung ambisi Indonesia untuk meningkatkan kebutuhan gizi penduduknya. Kami sangat mendukung ambisi Indonesia dan siap serta bersedia membantu sebagai industri.

“ALEC berpendapat ada kebutuhan untuk strategi yang selaras antara industri Australia dan pemerintah Australia yang mendukung pelaksanaan program di Indonesia dengan cara yang memastikan akses pasar kami yang berkelanjutan serta hasil kesejahteraan hewan yang positif secara bersamaan.

“Secara historis, industri kami tidak mendukung ESCAS untuk ternak bakalan karena tidak praktis untuk diterapkan dan diatur. Cara kami mengelola ini adalah dengan industri yang memiliki kebijakan khusus negara untuk eksportir yang mengirim ternak pembibitan yang berusaha menetapkan harapan seputar pengawasan dan pengelolaan ternak. Kami menahan anggota untuk mematuhi kebijakan ini melalui Kode Etik kami. Ini adalah bagian integral dari menjadi anggota ALEC,” tandasnya. AI