Pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) adalah sebuah keniscayaan saat perubahan iklim sudah semakin nyata. Penggunaan EBT akan memangkas pelepasan emisi gas rumah kaca (GRK) sehingga laju kenaikan suhu bumi bisa ditekan dan dampak negatif perubahan iklim bisa dihindari.
Indonesia sendiri cukup ambisius untuk berkontribusi untuk mengerem perubahan iklim. Pada konferensi perubahan iklim di Paris, Perancis tahun 2015, Presiden Joko Widodo telah menyatakan komitmen untuk mengurangi emisi GRK sebanyak 29% dengan upaya sendiri atau 41% dengan dukungan Internasional pada tahun 2030. Komitmen itu dituangkan dalam dokumen kontribusi Nasional yang diniatkan (Nationally Determined Contributions/NDC) yang menjadi bagian dari traktat pengendalian perubahan iklim global, Persetujuan Paris.
Dari target sebanyak 29% tersebut, sektor energi berkontribusi sebesar 11%. Salah satu caranya tentu saja dengan memanfaatkan EBT sebanyak-banyaknya. Sebagai contoh, dalam rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2018-2027, kontribusi EBT dalam bauran energi pembangkitan tenaga listrik ditargetkan naik mencapai 23% pada tahun 2025.
Salah satu sumber EBT yang sangat potensial adalah biomassa. Letak Indonesia yang berada di wilayah tropis membuat tumbuhan kayu penghasil biomassa, bisa tumbuh dengan cepat.
Biomassa yang berasal dari pepohonan bisa dicacah menjadi kayu serpih (wood chip) dan serbuk (sawdust) untuk kemudian diubah menjadi pelet kayu (wood pellet). Produk itu bisa dimanfaatkan sebagai campuran dengan batubara (co firing) untuk membangkitkan energi listrik. Produk wood pellet bahkan bisa dimanfaatkan secara mandiri (tanpa perlu dicampur dengan batubara) karena memiliki nilai kalor yang memadai.
Biomassa kayu juga bisa diubah menjadi biofuel dengan memanfaatkan teknologi yang sudah tersedia. Selain itu, pemanfaatannya juga bisa lewat teknologi tepat guna, seperti kompor biomassa untuk rumah tangga. Teknologi Gasifikasi biomassa untuk pembangkit listrik mini 50 kW juga bisa dikembangkan.
Meski potensial, sayangnya pemanfaatan biomassa sebagai sumber energi belum berkembang maksimal. Untuk pembangkitan listrik misalnya, realisasinya masih di bawah 10% dari bauran energi. Perkembangan pemanfaatan biomassa untuk pembangkitan listrik masih kalah dengan batubara. Padahal batubara, sebagaimana energi berbasis fosil lainnya, punya dampak buruk pada perubahan iklim karena melepas emisi GRK.
Untuk mendorong pemanfaatan energi berbasis biomassa, sejumlah pemangku pihak dan pemerhati mendeklarasikan Masyarakat Energi Biomassa Indonesia (MEBI), di Jakarta, Selasa (15/9/2020). Dalam deklarasi yang digelar bersamaan dengan Musyawarah Nasional I MEBI itu terpilih sebagai Ketua Umum MEBI adalah Ir. Djoko Winarno, MM, IPU dan Wakil Ketua Umum Dr. Ir. Bambang Widyantoro MM.
Kepada Agro Indonesia, Bambang Widyantoro menuturkan energi berbasis biomassa adalah energi masa depan. Dia mengajak investor untuk menanamkan modalnya untuk pengembangan hutan tanaman untuk pengembangan bahan baku biomassa.
“Seharusnya investor biomassa untuk energi mulai investasi dari sekarang, karena diprediksi tahun 2025 negara-negara Asia Timur dan Eropa akan sangat mengandalkan energi biomassa,” kata Pria ramah yang pendidikan formalnya sejak sarjana hingga doktor diselesaikan di IPB itu.
Menurut mantan Direktur Utama PT Inhutani III itu, pengembangan energi biomassa juga bisa berdampak positif bagi perputaran ekonomi masyarakat. Untuk tahu lebih detil bagaimana kiprah MEBI dan potensi energi biomassa, berikut petikan wawancara Agro Indonesia dengan ayah dari 3 orang anak yang kini juga aktif sebagai Wakil Ketua Bidang Produksi Hutan Alam Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI):
Apakah bisa dijelaskan soal pembentukan MEBI?
Begini, MEBI dibentuk berdasarkan keinginan dari para pengembang energi biomassa karena perjuangan visi dan misinya belum ada yang menggerakkan sehingga makin tertinggal. MEBI memiliki visi “Menjadi Organisasi Profesional Terdepan dalam Pengembangan dan Pemanfaatan Biomassa untuk Mendukung Ketahanan Energi dan Ekonomi Nasional Secara Berkelanjutan”.
Sementara Misi MEBI diantaranya adalah membangun kapasitas sumber daya manusia dan inovasi teknologi dalam pengembangan biomassa secara efisien dan efektif untuk mencapai kemandirian energi; Mendorong optimalisasi peningkatan nilai tambah dalam penggunaan energi dan pemanfaatan produk biomassa yang ramah lingkungan, serta peningkatan aksesibilitas energi biomassa dengan harga terjangkau kepada seluruh masyarakat; serta mendorong pemanfaatan biomassa dalam pengembangan bio-ekonomi yang berorientasi pasar dalam negeri dan ekspor untuk pertumbuhan ekonomi nasional dan regional untuk kesejahteraan masyarakat.
MEBI juga punya misi untuk Mendukung pengembangan energi biomassa dalam pencapaian target bauran energi terbarukan nasional dan penurunan emisi gas rumah kaca, dan akselerasi pemanfaatan dan konservasi energi biomassa; Mendorong penerapan riset untuk optimalisasi pemanfatan biomassa sebagai sumber energi terbarukan guna menjamin ketersediaan energi nasional; dan Menjembatani para pemangku kepentingan dan sebagai media konsultatif dalam pengembangan biomassa untuk energi terbarukan.
Siapa saja yang terlibat di MEBI ini?
Dalam operasinalisasinya MEBI didukung oleh berbagai unsur yang terdiri atas unsur Pemerintah (Kementerian & Lembaga), Organisasi Non-Pemerintah (Asosiasi, Perusahaan Swasta yang bergerak pada usaha berbasis biomassa), dan Perguruan Tinggi sehingga diharapkan organisasi ini dikelola secara profesional. Organisasi ini secara sungguh-sungguh akan membangun jejaring (network) para pemangku kepentingan agar terjadi interaksi yang sangat baik guna menumbuhkembangkan usahanya.
Langkah dan strategi apa yang akan dilakukan MEBI untuk dalam mendorong pemanfaatan biomassa untuk energi listrik di Tanah Air?
Kami akan mengoptimalkan peran organisasi dalam memberikan pertimbangan dan saran kebijakan dan penanganan isu srategis kepada pemerintah dan pemangku kepentingan. Kami juga akan melakukan aliansi (kerjasama) dengan organisasi dan/atau lembaga (institute) lain dalam upaya pengembangan dan pemanfaatan biomassa, termasuk mendiversifi-kasi kegiatannya terkait dengan pengembangan energi terbarukan;
Selain itu, MEBI juga akan aktif memberi saran dan pertimbangan terhadap berbagai upaya penekanan biaya operasional seefektif dan seefisien mungkin (cost efectiveness and cost efficiency) kepada produsen energi biomassa untuk peningkatan nilai tambah.
Dari sisi bisnis dan ekonomi, berapa besar potensi yang dapat dihasilkan pembangkit listrik berbasis biomassa bagi masyarakat?
Potensi bisnis dan ekonomi bagi masyarakat sangat potensial karena dapat dikembangkan dari skala kecil hingga besar. Masyarakat dapat menyediakan tanaman sebagai bahan baku (feed stock) energi listrik berbasis biomassa. Pilihan tanaman adalah yang berdaur pendek yang berkembang melalui trubusan (short rotation coppice/SRC) sehingga cepat dapat menghasilkan dan tidak perlu menanam ulang setelah kayu dipanen. Panenan dengan sistem trubusan ini dalam waktu rotasi 15 tahun dapat dipanen 7 kali (dua tahun sekali).
Diharapkan masyarakat bisa berkontribusi hingga 50% dari total kebutuhan feed stock. Jadi jika kebutuhan feed stock untuk energi listrik berbasis biomassa ini sekitar 12,78 juta ton atau setara luas 170.450 haktare, masyarakat dapat berkontribusi sebanyak 6,39 juta ton dengan luas areal 85.000 hektare tiap tahun hingga tahun 2025.
Ini merupakan jumlah yang cukup besar. Jika harga kayu hasil panenan sekitar Rp150.000 per ton, maka nilainya sudah mencapai Rp958,5 miliar. Jika jumlah kepala keluarga (KK) terlibat 42.500 KK, maka per KK akan mendapatkan penedapatan Rp22,8 juta per tahun atau sekitar Rp1,9 juta per KK per bulan.
Selain itu, masyarakat juga dapat mengembangkan energi listrik berbasis biomassa ini melalui pembuatan pellet kayu skala rumah tangga. Misalnya mampu menyediakan 5 ton pelet kayu per bulan, maka jika harga pellet kayu ini sebesar Rp1,2 juta per ton, maka sudah menghasilkan Rp6 juta per bulan. Suatu potensi yang cukup besar untuk skala rumah tangga.
Sugiharto