RUU Pertanahan Langgar TAP MPR

Rancangan Undang-undang (RUU) Pertanahan memicu kontroversi dan perdebatan sengit antar-kementerian. Bahkan, RUU ini seolah membangunkan perseteruan terpendam antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Tudingan panas pun melayang: RUU Pertanahan melanggar TAP MPR dan mereduksi kewenangan Presiden.

Itulah yang terjadi ketika RUU Pertanahan, yang merupakan inisiatif DPR, kembali dibahas dan masuk dalam Progam Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019. Atas permintaan Panitia Kerja DPR, dilakukan pembahasan antarpemerintah terutama terkait Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang disodorkan Kementerian ATR/BPN. “Pembahasan melibatkan kementerian terkait. DPR minta ada review untuk mempertajam RUU. Rencananya, akhir bulan ini (pemerintah) akan kembalikan ke DPR,” kata Kepala Bagian Humas ATR/BPN, Horison Mocodompis, Jumat (16/11/2018).

Namun, alih-alih terjadi kesepahaman antarpemerintah, sejauh ini, aroma pertentangan yang mencuat. Bahkan, berdasarkan penilaian KLHK, DIM versi ATR/BPN sarat dengan masalah, kalau bukan menabrak banyak aturan. “RUU Pertanahan bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi, yakni TAP MPR No. IX/MPR/2001,” tegas Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK, Sigit Hardwinarto saat Rapat Kerja Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Selasa (13/11/2018).

TAP MPR tentang Pembaruan Agraria dan Sumber Daya ini, kata Sigit, secara tegas membedakan hukum agraria (pertanahan) dengan sumber daya alam (kehutanan, pertanian, perikanan, pertambangan). Itu sebabnya, DIM usulan ATR/BPN tidak boleh mengatur sumber daya alam. Dengan kata lain, RUU Pertanahan harusnya melengkapi UU Pokok Agraria, bukan mengatur sumber daya alam yang punya aturan khusus. Jika dipaksakan? “Ini berpeluang adanya Contitusional Review di Mahkamah Konstitusi,” ujar Sigit.

Yang tak kalah kontroversinya, kewenangan Presiden juga dipangkas lewat RUU ini. Pasalnya, kewenangan Presiden selaku Kepala Negara bisa didelegasikan kepada menteri ATR/BPN. “Pendelegasian pelaksanaan hak menguasai tanah dari Presiden kepada Menteri tidak tepat,  karena akan mereduksi kewenangan Presiden,” papar Sigit.

Pandangan ini dibenarkan oleh Guru Besar Fakultas Hukum UGM, Maria SW Sumardjono. Pendelegasian wewenang kepada menteri jangan dimaknai berlebihan, tapi harus sebagai norma umum sesuai Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945. “Jadi, kalau urusan kehutanan, yang memiliki kewenangan tetap menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang kehutanan. Sesuai tugas dan fungsinya-masing-masing,” katanya, Sabtu (17/11/2018).

Pihak ATR/BPN, kata Horison, bisa memaklumi keberatan KLHK. Apalagi, sudah ada draft baru, yang jadi jalan tengah atas masukan yang diterima pihaknya. “Mudah-mudahan teman-teman KLHK sudah membaca draft terbaru dan meresponsnya,” katanya, seraya menyebut sudah mengakomodir keberatan KLHK, meski bukan menerimanya bulat-bulat. AI