Harga Karbon Indonesia Terlalu Murah

Wakil Menteri LHK Alue Dohong (tengah) bersama Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Ruandha Agung Sugardiman (kanan), saat melakukan pertemuan dengan Duta Besar Norwegia untuk Indonesia Vegard Kaale, Rabu (27/5/2020).

Butuh waktu sampai 10 tahun hingga akhirnya Norwegia siap menyerahkan pembayaran berbasis kinerja (result based payment/RBP) untuk penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) yang dicapai Indonesia. Untuk setiap ton GRK setara karbondioksida (CO2eq) yang berhasil diturunkan Indonesia, Norwegia akan membayar sebesar 5 dolar AS. Sepadankah?

Norwegia menyatakan kesiapannya untuk segera menyalurkan dana kompensasi kepada Indonesia yang telah berhasil menurunkan emisi GRK dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+).  Dana kompensasi dengan skema RBP itu akan dibayarkan untuk 11,2 juta ton CO2eq emisi GRK yang berhasil diturunkan Indonesia pada periode 2016-2017. Penurunan emisi dihitung dengan baseline emisi GRK historis 10 tahun sejak periode 2006-2007 sampai 2015-2016.

Jika akhirnya cair, inilah pembayaran pertama Norwegia atas prestasi Indonesia dalam menurunkan emisi GRK sesuai kemitraan yang dibungkus dengan Letter of Intent (LoI) dan ditandatangani Mei 2010 silam. Berdasarkan LoI, Indonesia akan mengambil kebijakan untuk menurunkan emisi GRK, termasuk yang paling fenomenal penghentian izin baru di hutan primer dan lahan gambut. Sebagai kompensasi, Norwegia akan menyalurkan pendanaan sebesar 1 miliar dolar AS. Sejauh ini, Norwegia baru menyalurkan sekitar 200 juta dolar sebagai bagian dari fase persiapan.

Baca juga: Ternyata, Norwegia Sempat Minta Diskon

Untuk pembayaran periode 2016-2017, Indonesia semula dihitung akan menerima pembayaran untuk penurunan emisi GRK sebanyak 4,8 juta ton CO2eq. Namun setelah dilakukan verifikasi independen dan dilakukan perbaikan metodologi, penurunan emisi GRK Indonesia yang akan dikompensasi Norwegia sebanyak 11,2 juta ton CO2eq.

Nilainya sebesar 56 juta dolar AS atau sekitar Rp840 miliar (kurs Rp15.000/dolar). Menurut Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ruandha Agung Sugardiman, besar kompensasi per ton yang dibayarkan Norwegia sebesar 5 dolar AS per ton CO2eq. Itu mengacu harga yang berlaku pada Bank Dunia (World Bank) tentang REDD+.

“Kesepakataannya seperti itu,” kata ketika dihubungi, Jumat (12/6/2020).

Menurut Ruandha, dengan skema RBP, maka pembayaran dari Norwegia dipastikan akan bervariasi setiap tahunnya, tergantung emisi GRK yang berhasil dikurangi Indonesia. Menurut dia, dengan skema yang ada saat ini, maka butuh waktu hingga 10 tahun lagi sampai seluruh kompensasi yang dijanjikan Norwegia bisa dicairkan.

Untuk itu, perluasan kemitraan dengan mengamandemen LoI sedang disiapkan dengan memasukan isu mangrove dan gambut. Perluasan kemitraan ini diharapkan bisa memperbesar perhitungan capaian penurunan emisi GRK Indonesia sebagai dasar perhitungan RBP. Norwegia, kata Ruandha, juga siap jika RBP yang dibayarkan akhirnya lebih dari 1 miliar dolar AS.

Upaya Keras

Sementara itu Pakar Manajemen Risiko Iklim, Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim Profesor Rizaldi Boer menyatakan harga sebesar 5 dolar per ton CO2eq yang dibayar Norwegia sesungguhnya terlalu rendah melihat upaya keras yang telah dilakukan Indonesia.

“Norwegia seharusnya memberi harga lebih tinggi,” kata Guru besar klimatologi IPB yang juga Kepala Center for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia and Pacific (CCROM-SEAP) ketika dihubungi, Jumat (12/6/2020).

Rizaldi mengingatkan, luasnya wilayah yang dikelola Indonesia dan luasnya lahan gambut yang ada. Dengan tantangan yang ada, Indonesia berhasil menurunkan laju deforestasi dan degradasi hutan secara signifikan. Indonesia juga berhasil mengendalikan kebakaran hutan dan lahan.

Rizaldi meminta harga yang berlaku pada Bank Dunia tidak dijadikan rujukan. Apalagi, kenyatakan, Bank Dunia juga menjual karbon ke pasar dengan harga bisa mencapai 8 dolar AS per ton CO2eq.

Rizaldi mengakui, dalam sebuah kemitraan bilateral, penetapan harga memang tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Namun, dia mendorong agar harga per ton CO2eq yang dibayar Norwegia bisa dinegosiasi ulang. “Bisa dinegosiasikan lagi. Yang penting kita bisa memberikan argumentasi yang kuat bahwa 5 dolar terlalu kecil untuk konteks Indonesia,” katanya.

Untuk memperkuat upaya renegosiasi harga, Rizaldi menyatakan perlunya memperkuat argumentasi yang diajukan. Perbaikan metodologi, akuntabilitas, dan pengurangan faktor uncertainty menjadi sebuah keharusan. “Effort kita akan tercermin dari berkurangnya uncertainty dari estimasi pengurangan emisi GRK yang kita ukur. Saya kira pemerintah sedang mengarah ke sana,” katanya.

Penyemangat

Sementara itu Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Muhammad Teguh Surya menyatakan, pembayaran pertama RBP dari Norwegia harus menjadi penyemangat bagi semua pihak untuk lebih serius lagi  mewujudkan pembangunan ekonomi Indonesia tanpa merusak hutan.

Dia juga menyatakan, arahan Presiden Joko Widodo agar dana tersebut digunakan untuk program-program pemulihan hutan dan lingkungan hidup berbasis masyarakat sangatlah tepat.

Program perhutanan sosial, misalnya, berpotensi berkontribusi hingga 34,6% terhadap pencapaian target penurunan emisi GRK Indonesia secara nasional dari pengurangan deforestasi jika difokuskan pada wilayah-wilayah dengan risiko deforestasi tinggi dan diberi pendampingan maksimal untuk pengembangan ekonomi lokal yang sejalan dengan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Norwegia menyatakan kesiapannya untuk segera menyalurkan dana kompensasi kepada Indonesia yang telah berhasil menurunkan emisi GRK dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+).  Dana kompensasi dengan skema RBP itu akan dibayarkan untuk 11,2 juta ton CO2eq emisi GRK yang berhasil diturunkan Indonesia pada periode 2016-2017. Penurunan emisi dihitung dengan baseline emisi GRK historis 10 tahun sejak periode 2006-2007 sampai 2015-2016.

Jika akhirnya cair, inilah pembayaran pertama Norwegia atas prestasi Indonesia dalam menurunkan emisi GRK sesuai kemitraan yang dibungkus dengan Letter of Intent (LoI) dan ditandatangani Mei 2010 silam. Berdasarkan LoI, Indonesia akan mengambil kebijakan untuk menurunkan emisi GRK, termasuk yang paling fenomenal penghentian izin baru di hutan primer dan lahan gambut. Sebagai kompensasi, Norwegia akan menyalurkan pendanaan sebesar 1 miliar dolar AS. Sejauh ini, Norwegia baru menyalurkan sekitar 200 juta dolar sebagai bagian dari fase persiapan.

Untuk pembayaran periode 2016-2017, Indonesia semula dihitung akan menerima pembayaran untuk penurunan emisi GRK sebanyak 4,8 juta ton CO2eq. Namun setelah dilakukan verifikasi independen dan dilakukan perbaikan metodologi, penurunan emisi GRK Indonesia yang akan dikompensasi Norwegia sebanyak 11,2 juta ton CO2eq.

Nilainya sebesar 56 juta dolar AS atau sekitar Rp840 miliar (kurs Rp15.000/dolar). Menurut Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ruandha Agung Sugardiman, besar kompensasi per ton yang dibayarkan Norwegia sebesar 5 dolar AS per ton CO2eq. Itu mengacu harga yang berlaku pada Bank Dunia (World Bank) tentang REDD+.

“Kesepakataannya seperti itu,” kata ketika dihubungi, Jumat (12/6/2020).

Menurut Ruandha, dengan skema RBP, maka pembayaran dari Norwegia dipastikan akan bervariasi setiap tahunnya, tergantung emisi GRK yang berhasil dikurangi Indonesia. Menurut dia, dengan skema yang ada saat ini, maka butuh waktu hingga 10 tahun lagi sampai seluruh kompensasi yang dijanjikan Norwegia bisa dicairkan.

Untuk itu, perluasan kemitraan dengan mengamandemen LoI sedang disiapkan dengan memasukan isu mangrove dan gambut. Perluasan kemitraan ini diharapkan bisa memperbesar perhitungan capaian penurunan emisi GRK Indonesia sebagai dasar perhitungan RBP. Norwegia, kata Ruandha, juga siap jika RBP yang dibayarkan akhirnya lebih dari 1 miliar dolar AS.

Upaya Keras

Sementara itu Pakar Manajemen Risiko Iklim, Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim Profesor Rizaldi Boer menyatakan harga sebesar 5 dolar per ton CO2eq yang dibayar Norwegia sesungguhnya terlalu rendah melihat upaya keras yang telah dilakukan Indonesia.

“Norwegia seharusnya memberi harga lebih tinggi,” kata Guru besar klimatologi IPB yang juga Kepala Center for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia and Pacific (CCROM-SEAP) ketika dihubungi, Jumat (12/6/2020).

Rizaldi mengingatkan, luasnya wilayah yang dikelola Indonesia dan luasnya lahan gambut yang ada. Dengan tantangan yang ada, Indonesia berhasil menurunkan laju deforestasi dan degradasi hutan secara signifikan. Indonesia juga berhasil mengendalikan kebakaran hutan dan lahan.

Rizaldi meminta harga yang berlaku pada Bank Dunia tidak dijadikan rujukan. Apalagi, kenyatakan, Bank Dunia juga menjual karbon ke pasar dengan harga bisa mencapai 8 dolar AS per ton CO2eq.

Rizaldi mengakui, dalam sebuah kemitraan bilateral, penetapan harga memang tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Namun, dia mendorong agar harga per ton CO2eq yang dibayar Norwegia bisa dinegosiasi ulang. “Bisa dinegosiasikan lagi. Yang penting kita bisa memberikan argumentasi yang kuat bahwa 5 dolar terlalu kecil untuk konteks Indonesia,” katanya.

Untuk memperkuat upaya renegosiasi harga, Rizaldi menyatakan perlunya memperkuat argumentasi yang diajukan. Perbaikan metodologi, akuntabilitas, dan pengurangan faktor uncertainty menjadi sebuah keharusan. “Effort kita akan tercermin dari berkurangnya uncertainty dari estimasi pengurangan emisi GRK yang kita ukur. Saya kira pemerintah sedang mengarah ke sana,” katanya.

Penyemangat

Sementara itu Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Muhammad Teguh Surya menyatakan, pembayaran pertama RBP dari Norwegia harus menjadi penyemangat bagi semua pihak untuk lebih serius lagi  mewujudkan pembangunan ekonomi Indonesia tanpa merusak hutan.

Dia juga menyatakan, arahan Presiden Joko Widodo agar dana tersebut digunakan untuk program-program pemulihan hutan dan lingkungan hidup berbasis masyarakat sangatlah tepat.

Program perhutanan sosial, misalnya, berpotensi berkontribusi hingga 34,6% terhadap pencapaian target penurunan emisi GRK Indonesia secara nasional dari pengurangan deforestasi jika difokuskan pada wilayah-wilayah dengan risiko deforestasi tinggi dan diberi pendampingan maksimal untuk pengembangan ekonomi lokal yang sejalan dengan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

“BPDLH yang diberi mandat untuk mengelola dana tersebut pun harus segera memastikan adanya perwakilan multi pihak dalam struktur tata kelolanya agar program-program pengurangan deforestasi dan degradasi yang dijalankan betul-betul tepat sasaran dan bermanfaat bagi komunitas,” katanya. Sugiharto

“BPDLH yang diberi mandat untuk mengelola dana tersebut pun harus segera memastikan adanya perwakilan multi pihak dalam struktur tata kelolanya agar program-program pengurangan deforestasi dan degradasi yang dijalankan betul-betul tepat sasaran dan bermanfaat bagi komunitas,” katanya. Sugiharto

Melongok Kembali LoI Indonesia-Norwegia

Jika kompensasi dari Norwegia untuk pengurangan emisi GRK mengucur kepada Indonesia, itu berarti Letter of Intent yang pernah diteken kedua negara tahun 2010 resmi memasuki tahap ketiga. Molor enam tahun dari yang diniatkan, yaitu pada tahun 2014.

LoI Indonesia-Norwegia diteken 26 Mei 2010 antara Menteri Lingkungan Hidup dan Kerja Sama Internasional Norwegia Erik Solheim dan Menteri Luar Negeri Indonesia Marti Natalegawa. LoI diteken usai pertemuan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dan PM Norwegia Jens Stoltenberg di sela konferensi iklim dan hutan di New York.

Ada tiga fase yang diatur dalam LoI. Pertama adalah fase persiapan yang salah satunya membentuk badan yang mengoordinasikan pengembangan dan implementasi Reducing Emision Form Deforestation and Degradation (REDD) Plus. Maka terbentuklah Badan Pengelola REDD plus yang belakangan dilebur fungsinya usai pembentukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Lewat masa persiapan, masuk ke fase kedua (transformasi) yang berfokus pada pembangunan kapasitas (capacity building) untuk penyusunan dan implementasi kebijakan, dan membuat bangunan MRV (Measuring, Reporting, and Verification) tier 2 sesuai dengan standar IPCC. Indonesia mengklaim sejumlah capaian pada fase kedua.

Hal lain yang diimplementasikan pada fase kedua adalah menghentikan semua konsesi baru yang mengkonversi lahan gambut dan hutan alam. Moratorium gambut dan hutan alam pertama kali diimplementasikan lewat Inpres No. 10 Tahun 2011 pada 20 Mei 2011. Meski dalam LoI moratorium disepakati hanya dua tahun, namun nyatanya Indonesia terus memperpanjang kebijakan tersebut. Perpanjangan pertama lewat Inpres No. 6/2013 pada 13 Mei 2013.

Tahun 2015, terbit perpanjangan moratorium ketiga lewat Inpres No. 8 tahun 2015. Sementara perpanjangan moratorium keempat terbit pada 17 Juli 2017 lewat Inpres No. 6 tahun 2017. Luas areal hutan dan gambut yang diverboden berdasarkan keputusan termutakhir yang dituangkan pada Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB) revisi XIV mencapai 66.287.067 hektare (ha).

Belakangan, penghentian izin baru di hutan primer dan lahan gambut ditetapkan secara permanen. Sugiharto