Satu dekade jelas bukan jangka waktu yang sebentar. Itulah waktu yang dibutuhkan Norwegia untuk merealisasikan janji menyediakan kompensasi bagi Indonesia dalam pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dari deforestasi dan degradasi hutan.
Menandatangani Letter of Intent (LoI/surat niat) 26 Mei 2010, Indonesia dan Norwegia sepakat untuk bekerja sama dalam pengurangan emisi GRK dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+). Berdasarkan LoI, Indonesia akan mengambil langkah untuk menurunkan emisi GRK dari deforestasi dan degradasi hutan. Sebagai kompensasi, Norwegia akan menyalurkan kompensasi yang besarnya 1 miliar dolar AS.
Indonesia langsung beraksi untuk merealisasikan niat tersebut. Yang paling fenomenal tentu saja penghentian sementara penerbitan izin baru di hutan primer dan lahan gambut (moratorium). Kebijakan tersebut terus diperpanjang, bahkan dipermanenkan, meski dalam LoI moratorium hanya akan diberlakukan 2 tahun.
Baca juga: Harga Karbon Indonesia Terlalu Murah
Sesuai LoI, Norwegia seharusnya mulai menyalurkan pembayaran kompensasi kepada Indonesia mulai tahun 2014 berdasarkan penurunan emisi GRK yang dicapai tahun 2013. Namun, ternyata, realisasinya butuh waktu hingga 10 tahun sejak LoI diteken.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Rabu (20/5/2020), mengungkapkan, Norwegia diproyeksi mulai akan membayarkan dana kompensasi dalam skema result based payment (RBP/berbasis kinerja) pada Juni ini.
“Ini merupakan pembayaran pertama kalinya atas prestasi penurunan emisi karbon dari kehutanan tahun 2016/2017. Keberhasilan mengurangi emisi ini tidak terlepas dari komitmen, dukungan dan upaya korektif pemerintah secara kolektif di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi,” kata Siti.
Menteri Siti menjelaskan, dana dari Norwegia akan diserakan kepada Indonesia melalui Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Hal ini mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup dan Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup.
Duta Besar Norwegia untuk Indonesia, Vegard Kaale mengkonfirmasi soal pembayaran kompensasi tersebut. Menurut Kaale, setelah 10 tahun menjalin kemitraan, dirinya senang mendapati reformasi kebijakan Indonesia telah membuahkan hasil. Laju deforestasi Indonesia telah jauh berkurang dibandingkan 10 tahun lalu.
“Kemitraan kita memasuki fase ketiga, yang berarti kami akan mulai melakukan pembayaran,” kata Kaale usai bertemu Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Alue Dohong di kantor Kementerian LHK (KLHK), Jakarta, Rabu (27/5/2020).
Meski demikan, Kaale menyatakan, pembayaran kompensasi baru benar-benar akan disalurkan setelah Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) benar-benar telah beroperasi.
Verifikasi
Indonesia telah menyiapkan sejumlah dokumen dan laporan sebagai prasyarat pembayaran kompensasi dari Norwegia. Di antaranya dokumen measurement, reporting, and verification (MRV) sebagai basis panduan penghitungan RBP untuk kinerja REDD+ Indonesia sejak tahun 2016. Dokumen ini disepakati Februari 2019.
Indonesia juga sudah menyiapkan laporan penurunan emisi GRK sebagai dasar pengajuan pembayaran RBP pertama. Laporan ini memuat penurunan emisi GRK dari deforestasi dan degradasi hutan periode tahun 2016-2017, dengan data baseline tahun 2006-2007 sampai dengan 2015-2016.
Berdasarkan laporan awal penurunan emisi Indonesia 2016-2017, Norwegia akan membayar penurunan emisi GRK Indonesia sebanyak 4,8 juta ton setara karbon dioksida (CO2eq). Angka tersebut diperoleh dari total penurunan emisi GRK Indonesia dikurangi ‘set aside’, yaitu faktor risiko ketidakpastian (risk uncertainty) dan ambisi Indonesia sendiri dalam pengurangan emisi GRK masing-masing 20% dan 15%. Di sisi lain, penghitungan tersebut juga belum memasukan emisi GRK yang bersumber dari lahan gambut dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Pengajuan resmi kepada Norwegia untuk pembayaran sebanyak itu dilakukan Juni 2019 dan selanjutnya dilakukan verifikasi sesuai yang disepakati dalam dokumen MRV. Verifikasi dilakukan oleh Norwegia pada 1 November 2019 hingga Maret 2020.
Hasilnya, kinerja Indonesia dalam menurunkan emisi pada 2016-2017 ternyata mencapai 11,2 juta ton CO2eq, jauh lebih besar dari laporan awal yang 4,8 juta ton CO2eq. Dengan harga per ton CO2 dibandrol 5 dolar AS, maka pembayaran RBP tahap pertama dari Norwegia diperkirakan mencapai 56 juta dolar AS atau sekitar Rp840 miliar (kurs Rp15.000/dolar).
Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Ruandha Agung Sugardiman menjelaskan, melonjaknya angka penurunan emisi Indonesia yang akan dibayarkan Norwegia tak lepas dari proses verifikasi yang dilakukan oleh pihak Norwegia. Sesuai dokumen MRV yang telah disepakati, Norwegia menunjukan lembaga independen untuk melakukan verifikasi. Norwegia menunjuk sebuah lembaga yang berbasis di Spanyol.
Lembaga tersebut, kata Ruandha, menyatakan perlunya perbaikan metodologi perhitungan penurunan emisi GRK. Termasuk dengan memasukan faktor penurunan emisi GRK dari gambut dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). “Verifikator bilang faktor kebakaran hutan gambut harusnya juga dimasukkan, maka angkanya jadi naik,” kata Ruandha, ketika dihubungi Jumat (12/6/2020).
Menurut dia, metodologi yang telah diperbarui itu nantinya akan digunakan untuk dijadikan rujukan untuk perbaikan dokumen MRV dan menjadi basis untuk penghitungan penurunan emisi GRK di tahun-tahun berikut.
Negosiasi Alot
Ruandha menyatakan, penyaluran dana dari Norwegia ke Indonesia dalam waktu dekat akan menjadi yang pertama dengan skema RBP dalam kerangka LoI. Sebelumnya, Norwegia sudah menyalurkan sekitar 200 juta dolar AS sebagai fase persiapan. Nantinya, seluruh dana kompensasi yang tersisa akan disalurkan dengan skema RBP.
Panjangnya waktu yang diperlukan sampai akhirnya Norwegia mau membayar kompensasi yang dijanjikan tak lepas dari banyaknya persyaratan yang diajukan negara itu, terutama dalam dokumen MRV.
Menurut Ruandha, pembahasan dokumen MRV berlangsung alot, tarik-ulur. Bahkan, pernah tertunda-tunda hingga sekitar setahun. Namun, arahan tegas dari Menteri Siti Nurbaya agar negosiasi dokumen MRV bisa dituntaskan membuahkan hasil. “Dengan negosiasi yang cukup keras, akhirnya bisa disepakati,” katanya.
Ruandha menuturkan, salah satu isu yang bikin negosiasi dokumen MRV alot adalah sikap ngotot Norwegia meminta ‘diskon’ atas capaian penurunan emisi GRK Indonesia. Norwegia beralasan akurasi data Indonesia rendah.
“Saya yakinkan bahwa metodologi yang digunakan Indonesia bisa diuji. Kita juga punya sistem monitoring yang bagus. Akhirnya mereka yakin juga,” katanya.
Asal tahu, Norwegia mengajukan hingga 30 persyaratan yang harus diselesaikan Indonesia sebelum dana RBP cair. Indonesia, kata Ruandha, sudah mampu memenuhi persyaratan tersebut tinggal dokumen investment plan untuk pemanfaatan dana RBP dan SOP BPDLH.
Dubes Vegard Kaale menjelaskan betapa kompleksnya isu yang dihadapi untuk menjalankan LoI. Menurut dia, dari data yang ditunjukan pada periode 2016-2017, dia yakin hal itu bisa dilanjutkan untuk periode berikutnya. “Kita sedang berhadapan dengan masalah yang sangat kompleks sehingga butuh waktu untuk menjalankannya,” kata dia. Kaale menuturkan, selain dengan Indonesia, Norwegia juga menjalin kemitraan dengan negara-negara lain pemilik hutan hujan, seperti Brasil, Guyana, Kolombia, dan Republik Demokratik Kongo. Kemitraan tersebut, katanya, juga harus dilihat dan menjadi pertimbangan. Sugiharto