Menyusul keluarnya angka baru produksi beras nasional, yang menggunakan metodologi Kerangka Sampel Area (KSA) oleh Badan Pusat Statistik (BPS), wacana impor beras kembali menguat. Bahkan, surplus produksi beras 2,85 juta ton sampai akhir tahun dinilai riskan. Apalagi, tahun 2019 adalah tahun politik.
Pengumuman BPS mengenai luas panen dan produksi gabah nasional 2018 dengan menggunakan metode baru, yakni Kerangka Sampel Area (KSA), memang menohok Kementerian Pertanian (Kementan). Maklum, dengan KSA, terjadi selisih luas panen mencolok. Versi Kementan (angka ramalan I), luas panen 2018 mencapai 15,9 juta hektare (ha), sementara metode KSA hanya mencatat 10,9 juta ha.
Perbedaan itu berimbas serius terhadap produksi gabah kering giling (GKG). Jika memakai luasan Kementan, maka produksi GKG mencapai 83,037 juta ton atau setara dengan 48,29 juta ton beras. Sementara dengan luas panen KSA, maka produksi GKG hanya 49,65 juta ton atau setara 32,42 juta ton beras. Jadi, selisih produksi beras mencapai 15 juta ton lebih!
Tidak aneh jika pemerintah tahun ini memerintahkan Perum Bulog impor sebanyak 2 juta ton, meski yang terealisi 1,8 juta ton. Neraca produksi berdasarkan KSA sendiri memang tidak defisit, masih ada surplus sampai akhir tahun sebanyak 2,85 juta ton. Namun, jumlah itu dianggap riskan dan pemerintah perlu mempertimbangkan impor beras kembali. Penilaian itu disampaikan Ketua Perhimpunan Penggilingan Padi (Perpadi), Sutarto Alimuso. Menurut mantan Dirjen Tanaman Pangan Kementan ini, surplus yang ada hanya bertahan untuk dua bulan.
Namun, komentar itu disanggah keras Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP), Agung Hendriadi. Menurut dia, dengan stok yang ada di Bulog sekitar 2,4 juta ton, kebutuhan pangan beberapa bulan ke depan sudah tercukupi. “Stok Bulog ini belum ditambah stok yang ada di masyarakat, penggilingan padi, pedagang yang besarnya 2,8 juta ton. Jadi, dengan stok yang ada kita tidak perlu impor lagi,” tegasnya.
Dirut Perum Bulog Budi Waseso (Buwas) pun sependapat. Apalagi, stok beras Bulog mencapai 2,4 juta ton dan akan terus bertambah sampai akhir tahun. “Pemerintah tidak perlu melakukan impor beras karena stok yang ada di Perum Bulog cukup besar,” ujar Buwas, pekan lalu.
Percaya? Boleh saja. Tapi, simak dulu komentar Menko Perekonomian Darmin Nasution. Pejabat yang bakal memimpin rapat penentuan beras harus impor atau tidak ini belum bisa memastikan apakah tahun depan Indonesia memang bebas impor. “Kelebihan produksi (2,85 juta ton) tersebut masih jauh di bawah. Jadi, tunggu saja, jangan buru-buru menyimpulkan apa-apa,” ujarnya. Ya, apalagi 2019 adalah tahun politik. AI