Kisruh bawang putih mencerminkan gagalnya program kewajiban importir untuk menanam bawang putih yang ditetapkan Kementerian Pertanian. Pemerintah sebaiknya menghapus aturan main tersebut karena hanya menghasilkan para pemburu rente serta memicu inflasi.
Pandemi COVID-19 memicu perselisihan antaranggota kabinet Presiden Jokowi, ketika Kementerian Perdagangan mengeluarkan Permendag Nomor 27 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 44 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura. Impor bawang putih dan bawang bombay, yang harganya terbang, dibebaskan. Padahal, berdasarkan aturan Kementerian Pertanian, setiap impor bawang putih dan bombay, importir wajib memperoleh Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH).
Buntutnya panjang. Kementan tersinggung. Dirjen Hortikultura Kementan, Prihasto Setyanto menegaskan, RIPH untuk bawang putih dan bawang bombay tetap berlaku. Kewajiban itu sesuai UU No. 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura. “Sesuai arahan menteri pertanian, kita diimbau dalam membuat kebijakan harus taat kepada aturan yang berlaku,” kata Prihasto seperti dikutip Antara.
Importir pun terjepit. “Berdasarkan UU 13/2010, impor kan harus pegang RIPH dari Kementan. Kalau pun impor, yang bisa menentukan boleh-tidaknya produk pertanian masuk juga dari karantina pertanian,” keluh Ketua Asosiasi Hortikultura Nasional (AHN), Anton Muslim Arbi, Minggu (29/3/2020).
Untung kisruh tak berlarut. Mengingat ada arahan Presiden Jokowi agar penyediaan bahan pangan pokok tidak terjadi kelangkaan dan lonjakan harga, terutama dalam menghadapi wabah COVID-19 dan menjelang Ramadhan dan Indul Fitri, persetujuan impor (PI) dan laporan surveyor (LS) untuk bawang putih dan bawang bombay dibebaskan sampai 31 Mei 2020. Kementan pun surut. Kepala Badan Karantina Pertanian, Ali Jamil mengatakan RIPH tak diperlukan. Barantan hanya mencatat apakah importir yang memasukkan bawang putih sudah punya rekomendasi atau belum.
Namun, guru besar Fakultas Pertanian IPB, Dwi Andreas Santosa menilai pemerintah sebaiknya membebaskan saja impor bawang putih dan hapus program wajib tanam bawang putih. “Program wajib tanam kepada importir itu bullshit. Saya tidak paham logika teman-teman di pemerintahan, karena sudah lama saya bilang program wajib tanam bawang putih pasti gagal,” ujarnya.
Menurutnya, sistem kuota impor yang ditempuh hanya memelihara para pemburu rente (rent seeker). “Bayangkan, harga bawang putih sampai pelabuhan Rp8.000/kg, sementara di pasar dijual Rp40.000/kg. Kalau pemerintah mau membangun bawang putih, terapkan saja tarif bea masuk 50% bahkan 100%, dan uangnya bisa untuk membantu petani. Jadi, bukan gunakan kuota yang melahirkan pemburu rente,” tegasnya. Anton sependapat. Jika ingin swasembada bawang putih, pemerintah harusnya punya program khusus. “Tapi jangan mewajibkan importir. Karena menanam dan berdagang adalah dua hal yang berbeda,” tandasnya. AI
Selengkapnya baca: Tabloid Agro Indonesia, Edisi No. 760 (31 Maret-6 April 2020)