Pemerintah sedang mempertimbangkan mengizinkan kebun sawit yang terlanjur di dalam kawasan hutan tetap dikelola dengan sistem agroforestri. Untuk itu, jangka waktu pemberian dispensasi akan diperpanjang, tidak lagi 12 tahun. Bagaimana dengan status lahannya?
Perkebunan sawit yang mencaplok kawasan hutan ternyata mencapai 3,1 juta hektare (ha) dan sampai kini belum memiliki izin pelepasan. Dari jumlah itu, sekitar 576.983 ha sedang dalam proses permohonan pelepasan kawasan hutan. Nah, sisanya yang tidak memproses pelepasan — sekitar 1,2-1,7 juta ha — terindikasi sebagai sawit rakyat.
Masalah ini yang membuat pusing pemerintah. Upaya “memutihkan” lahan ini pernah dilakukan lewat Peraturan Pemerintah (PP) No. 104 tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan dan Fungsi Kawasan Hutan. PP ini merupakan pengganti PP No. 10 tahun 2010 jo. PP No. 60 tahun 2012. Namun, peluang ini juga sedikit dimanfaatkan karena ada persyaratan berat menyediakan lahan pengganti dengan rasio 1:1.
Memidanakan rakyat juga bukan jalan keluar. Apalagi, banyak kebun yang dibangun karena regulasi saat itu memungkinkan. Kondisi “buntu” ini yang terus dibahas jalan keluarnya, salah satunya dengan memungkinkan sawit bisa dikelola dalam kawasan hutan dengan pola agroforestri. “Sedang kami diskusikan cukup intensif. Kita lihat (terbitnya regulasi) beberapa waktu ke depan,” ungkap Kepala Sub Direktorat Penyiapan Hutan Kemasyarakatan KLHK, Tuti Herawati di Jakarta, Rabu (30/10/2019).
Selama ini, berdasarkan Permen LHK No. P.83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial, sawit yang terlanjur di dalam hutan masih bisa dikelola selama 12 tahun sejak tanam. Hanya saja, rakyat menolak karena di usia 12 tahun tanaman sawit sedang sangat produktif. Itu sebabnya, kata Tuti, Permen LHK P.83/2016 akan direvisi, termasuk memperpanjang waktu dispensasi keberadaan sawit hingga satu daur atau sekitar 35 tahun.
Perpanjangan dispensasi satu daur ini dinilai positif oleh praktisi hukum kehutanan dan lingkungan, Dr Sadino, karena lebih logis dan bisa diterima masyarakat. Opsi tersebut juga memberi kepastian hukum ketimbang wacana soal land amnesty. “Land amnesty itu malah nggak ada dasar hukumnya,” kata dia di Jakarta, Sabtu (9/11/2019).
Hanya saja dia mengingatkan, jika kebijakan itu ditempuh, maka pemerintah harus berlaku adil. Aturan itu tidak boleh dibuat eksklusif pada sawit yang dikelola rakyat. Apalagi, mengacu pada PP 104/2015, klausul soal pemanfaatan sawit selama satu daur oleh perusahaan sudah diatur. “Dalam PP 104/2015, pemanfaatan selama satu daur bahkan diperbolehkan pada kawasan konservasi,” katanya. AI