Energi Terbarukan Terhambat Regulasi

Ketua Umum Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air (APPLTA) M Riza Husni

Indonesia memiliki banyak potensi energi terbarukan. Salah satunya adalah tenaga air. Diperkirakan, potensi tenaga air di Indonesia bisa untuk membangkitkan listrik hingga 75.000 Mega Watt (MW).

Potensi yang luar biasa yang harus dimanfaatkan, tentu saja. Apalagi, pemanfaatan tenaga air akan berdampak baik pada upaya penurunan emisi gas rumah (GRK) untuk pengendalian bencana perubahan iklim.

Namun sayangnya, potensi yang besar tersebut belum termanfaatkan. Saat ini, utilissasi pemanfaatan tenaga air untuk pembangkit listrik baru diperkirakan baru sekitar 7% saja.

Ketua Umum Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air (APPLTA) M Riza Husni menuturkan, hambatan terbesar dalam pengembangan PLTA sebagai energi terbarukan adalah regulasi yang tidak mendukung. Riza menegaskan kebijakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan saat ini tidak berpihak pada pegembangan energi terbarukan.

“Tiga tahun terakhir adalah masa suram bagi energi terbarukan,” katanya saat diskusi Pojok Iklim, di Jakarta, Rabu (28/8/2019).

Dia menuturkan, akibat regulasi yang tidak mendukung, dalam tiga tahun terakhir tidak ada proyek baru energi terbarukan yang dibangun. Kalaupun ada yang dibangun, itu merupakan warisan dari pemerintahan sebelumnya.

Regulasi yang menghambat diantaranya adalah soal pangaturan tarif yang bisa dibayar PLN untuk listrik dari energi terbarukan maksimal sebesar 85 dari Biaya Pokok Produksi (BPP) pembangkitan listrik setempat. Regulasi lain adalah soal skema Build, Own, Operate,Transfer (BOOT) dimana proyek listrik yang dibangun harus diserahkan kepada pemerintah setelah masa kontrak penjualan berakhir. Skema BOOT selain menjadikan investasi pembangkit PLTA tidak bankable juga menjadikannya tidak menarik.

Untuk tahu lebih banyak pemikiran Riza, berikut petikan wwancara dengan Agro Indonesia:

Kalangan praktisi dan pemerhati energi terbarukan terus mengajukan keberatan soal ketentuan tarif maksimum 85% dari BPP. Bagaimana pada pengembangan PLTA?

Situasinya sebenarnya hampir sama. Dengan pembatasan tarif 85% dari BPP membuat harga listrik energi terbarukan tidak menarik. Bahkan situasi ini berarti kita malah mensubsidi energi yang berbasis fosil. Padahal di banyak negara, listrik dari energi terbarukan malah mendapat feed in tarif. Disubsidi. Di sini terbalik.

Khusus untuk PLTA, kalaupun tarifnya seperti itu, sebenarnya masih memungkinkan untuk dikembangkan. Sebab skala keekonomiannya sudah tercapai secara absolut.

Ini karena banyak dukungan dari berbagai pihak. Ada insentif pajak dari Kementerian Keuangan, ada dukungan pembiayaan dari SMI (Sarana Multi Infrastuktur). Dukungan dari lembaga internasional juga ada seperti dari Joint Crediting Mechanism (JCM) Indonesia-Jepang yang memungkinkan pengembang PLTA membeli  turbin berkualitas dengan harga yang lebih hemat. Dulu, tahun 2009, beli turbin untuk PLTA 9 MW harganya 1,6 juta dolar AS. Itupun buatan Indonesia. Dengan JCM kita bisa dapat turbin buatan Jepang seharga 900.000 dolar AS saja.

Kalau begitu, lantas kenapa investasi PLTA tidak berkembang? Apa hambatannya?

Karena regulasi dari Menteri ESDM tidak mendukung. Sedih juga. Ada pengembang yang siap untuk menjual listrik dari PLTA seharga Rp800 per Kilo Watt Hour (kwh). Tapi akhirnya tidak pernah benar-benar terbangun karena regulasinya tidak mendukung.

Pertama tarif dasar yang tidak mendukung. Di negara-negara lain, pembangunan listrik energi terbarukan disubsidi. Di sini tidak, malah tarifnya dibatasi. Nah setelah dibangun dengan pembiayaan yang hrus dicari sendiri, bunga pasar, upayakan pencarian lokasi sendiri, dan lain-lain dilakukan sendiri, setelah 25 tahun, sesuai skema BOOT harus diserahkan kepada negara. Ini aturan yang semena-mena.

Mending investasi ke supermarket, bisa diwariskan.

Menteri (ESDM) beralasan kebijakan itu sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi bahwa yang berkaitan dengan produksi listrik dikuasai negara. Ini tidak tepat, sebab dikuasai negara tidak berarti harus dimiliki.

Regulasi kedua yang menghambat adalah soal kebijakan pengadaan listrik. Jika mengacu kepada undang-undang dan peraturan pemerintah, maka pengadaan listrik dari pengembang dapat dilakukan dengan pola penunjukan. Tapi yang kemudian diatur dalam peraturan menteri, hal itu kemudian tidak dipilih menjadi prioritas. Alasannya, dapat itu tidak berarti tidak harus. Mengapa sih selalu berpihak pada hal-hal yang menyulitkan?

Regulasi ketiga adalah soal penentuan tarif pembelian listrik yang ditetapkan melalui negosiasi, bukan fix feed in tarrif. Ini membuat banyak pejabat PLN khawatir, jika ada perbedaan tarif yang yang disepakati akan berurusan dengan KPK atau kejaksaan.

Sebagai contoh, di Toli-Toli, BPP listrik sebesar Rp2.200 per kwh. Jika tarif pembelian listrik dari energi terbarukan ditetapkan 85% itu berarti sekitar Rp1.800 per kwh. Harga tersebut sesungguhnya masih sangat layak. Kami malah bisa pesta 7 hari 7 malam dengan harga Rp1.800 per kwh. Masalahnya, jika dalam proses negosasi di daerah ternyata dicapai harga yang lebih rendah, maka pejabat yang menendatangi kontrak pembelian khawatir dicurigai KPK dan kejaksaan. Mereka akhirnya malah takut

Apakah persoalan ini belum pernah dikomunikasikan dengan Pak Menteri ESDM?

Sudah bukan cuma kami atau Masyarakat Energi Terbarukan yang menyampaikan keluhan. Bahkan Kementerian Koordinator bidang Perekonomian pernah menyampaikan kritik khusus soal kebijakan pengembangan listrik energi terbarukan. Kemenko Perekonomian sempat membuat kertas kebijakan yang dikaji oleh akademisi, masyarakat sipil, pakar hukum dan para pihak lain, yang isinya meminta agar Peraturan Menteri yang mengatur hal ini direvisi. Itupun tidak digubris.

Lalu apa yang harus kita dilakukan agar pengembangan energi terbarukan bisa terus dilakukan?

Energi terbarukan ini seperti teknologi selular di telekomunikasi beberapa tahun lalu. Kalau Telkom pada saat itu ngotot untuk tetap menggunakan land line (jaringan kabel), mungkin sekarang dia sudah almarhum. Begitu juga energi terbarukan.

Harusnya negara, Kementerian ESDM, tidak boleh takut. Dulu teknologi seluler mahal, tetap dikerjakan. Mudah-mudahan Dewan Nasional Pertimbangan Perubahan Iklim bisa ikut memberi presure agar kebijakan tentang listrik energi terbarukan bisa berubah.

Sugiharto